Judul Buku : Filosofi Teras
Penulis Buku : Henry Manampiring
Penerbit Buku : PT Kompas Media Nusantara
Kota Terbit : Jakarta
Tebal Buku : xxiv + 320 halaman
ISBN : 978-602-412-518-9
“If you live according to what others think, you will never be rich.”– Seneca (Letters)
Buku “Filosofi Teras” adalah karya dari Henry Manampiring. Henry menulis buku ini karena dirinya pernah didiagnosis menderita Major Depressive Disorder atau depresi pada tahun 2017. Pada masa pemulihan, Henry menemukan dan membaca sebuah buku yang berjudul How to Be a Stoic karya Massimo Pigliucci yang berisikan ajaran stoisisme atau filsafat stoa. Dengan membaca dan mempraktikkan ajaran yang terdapat pada buku itulah Henry merasa menjadi lebih tenang dan dapat mengendalikan emosi negatifnya. Hal itulah yang melatarbelakangi Henry Manampiring untuk menulis buku ini. Dengan menciptakan buku ini, Henry berharap bukunya dapat meningkatkan minat baik pembaca sehingga pembaca dapat memperoleh hidup yang lebih tenang. Henry menulis bukunya dengan membagi bahasan buku menjadi dua belas bab yang menarik dan dibarengi dengan ilustrasi di beberapa sub bab. Isi buku dirancang dengan perpaduan warna yang menarik di mata dan tentu tidak membosankan untuk dilihat.
Filsafat. Kalian memikirkan apa ketika mendengar kata tersebut? Banyak asumsi buruk yang seringkali orang lain pikirkan mengenai kata ini. Namun, dalam buku ini, Henry tidak sedang membahas mengenai pikiran buruk orang-orang tentang filsafat. Filsafat stoisisme atau yang sering disingkat dengan filsafat stoa merupakan filsafat yang dibahas oleh Henry dalam bukunya. Filosofi teras sendiri merupakan terjemahan langsung dari filsafat stoa tersebut. Henry menganggap bahwa filsafat stoa adalah sebuah way of life, jalan hidup. Filsafat seringkali dinilai sebagai cara berpikir yang ruwet dan menjelmit namun, filsafat stoa justru berbeda. Filsafat stoa berisi ajaran untuk kita dapat berpikir lebih simpel.
Filsafat stoa dapat memberikan banyak pelajaran-pelajaran mengenai kehidupan bagi setiap kalangan tanpa memandang latar belakangnya apa. Stoisisme bersifat “dogmatis” karena filsafat ini bukan agama yang memiliki aturan mutlak yang tidak boleh dilanggar, atau terdapat ancaman masuk neraka ketika dilanggar. Filsafat ini tidak menjamin kita agar selalu hidup dalam kebahagiaan tetapi hidup dengan ketenangan hati dan pikiran. Hal tersebut selaras dengan tujuan dari filsafat stoa yaitu hidup bebas dari emosi negatif dan hidup mengasah kebajikan.
Dalam buku “Filosofi Teras” ini, dijelaskan mengenai prinsip utama dari stoisisme adalah in accordance with nature, yang berarti hidup selaras dengan alam. Manusia yang hidup selaras dengan alam adalah manusia yang hidup sesuai dengan desainnya, yaitu makhluk bernalar. Sederhananya, hidup selaras dengan alam berarti sebisa mungkin di setiap situasi hidup kita tidak kehilangan nalar kita dan berlaku seperti binatang. Kehilangan nalar tersebut pada akhirnya berujung pada ketidakbahagiaan.
Henry Manampiring dalam bukunya menuliskan bahwa terdapat beberapa prinsip dalam filsafat stoa. Dikotomi kendali dan trikotomi kendali. Dikotomi kendali adalah memisahkan hal-hal yang bisa dikendalikan dan yang tidak. Jika dikotomi kendali membagi bagian menjadi dua, maka trikotomi kendali membagi bagian menjadi tiga. Trikotomi kendali berarti memisahkan hal-hal yang bisa kita kendalikan, yang tidak bisa kita kendalikan, dan yang sebagian bisa kita kendalikan.
Tujuannya hal-hal tersebut harus dipisahkan adalah agar kita dapat terfokus pada internal goal yang masih ada dibawah kendali kita. Sisi lain yang dapat kita rasakan adalah kita dapat lebih siap untuk menerima hasil/outcome yang berada di luar kendali kita. Hal ini menjadi fondasi yang penting dalam penerapan filosofi teras. Bukan hanya karena dapat menjadi fondasi, tetapi pemisahan-pemisahan tersebut juga sangat relevan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhananya, berfokus pada sesuatu yang berada di dalam kendali kita dapat mengurangi rasa khawatir yang kerap kali berada di dalam diri manusia.
We suffer more in imagination than in reality. Kutipan ini mungkin akan sangat relevan bagi orang-orang yang sering overthinking seperti yang sering dialami oleh anak-anak millenial di masa sekarang. “Filosofi Teras” memiliki tips dan trik untuk membantu kita agar menghindari pikiran-pikiran negatif tersebut. Dengan tetap mengantisipasi kejadian-kejadian buruk yang ‘mungkin’ akan terjadi. Namun, tetap berfokus pada hal-hal baik yang ‘mungkin’ juga akan terjadi. Dengan begitu, kita akan lebih siap dengan kejadian apa yang akan terjadi kedepannya tanpa rasa khawatir yang berlebihan yang justru akan membuat kita merasa lelah dan tersiksa dengan pikiran buruk kita sendiri.
Dalam perspektif ini, kita bukan disarankan untuk bersikap ‘pasrah’ begitu saja pada keadaan. Tetapi, kita dituntut untuk berpikir lebih simpel dan lebih siap. Lebih jauh lagi, kita juga dituntut untuk mengenali lebih dalam bahwa pikiran buruk yang berlebihan akan menyiksa diri sendiri. Bahkan seringkali, kejadian yang kita lukiskan dalam pikiran kita sendiri akan lebih menyiksa dari kejadian sebenarnya yang akan terjadi.
Di mata Stoisisme, pikiran-pikiran menginginkan alternatif dari situasi hidup kita sekarang adalah tirani. Setiap detik kita menginginkan sedang berada di tempat lain, situasi lain, dan segala wishful thinking lainnya, maka kita telah dirampok dari kesempatan untuk menikmati dan mensyukuri masa kini, detik ini.
Dalam menjalani hidup, tidak ada yang perlu disesali. Semua terjadi mengikuti keteraturan dan hukum alam (Nature). Kita harus selalu belajar mencintai masa lalu karena masa lalu tentu bukan berada di dalam kendali kita lagi. Jika kita memilih untuk menyesalinya, hal tersebut menjadi sangat irasional, tidak masuk akal, dan tidak didukung oleh filosofi teras. Kita mungkin dapat belajar dari masa lalu tetapi tidak dapat stuck di sana.
Henry Manampiring mengemas buku ini dengan uraian-uraian yang begitu mudah dimengerti dengan memberikan contoh-contoh realistis dalam kehidupan sehari-hari kita. Buku ini disertai juga dengan ilustrasi-ilustrasi di beberapa bagian tertentu sehingga pembaca dapat lebih memahami gambaran terkait hal yang sedang dibahas. Semakin kita membaca lembaran demi lembaran bukunya, kita akan semakin banyak mengerti bagaimana kita harus bersikap agar kita dapat hidup dengan pikiran yang tenang tanpa diikat dengan pikiran-pikiran yang menyiksa diri. Seluruh isi buku dikemas dengan bahasa yang memang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya hal ini sangat jarang ditemukan pada pembahasan buku mengenai filsafat pada umumnya. Setiap kutipan-kutipan yang disuguhkan dalam buku ini diberi terjemahan dengan pemaparan arti yang jelas dan tentunya relate dengan kehidupan sehari-hari.
Seringkali pembahasan mengenai filsafat dianggap menjadi suatu hal yang rumit untuk dipelajari, namun berbeda pada buku “Filosofi Teras”. Henry Manampiring benar-benar menyederhanakan pembahasan tentang filsafat stoa dalam buku ini. Buku ini sangat saya rekomendasikan bagi orang-orang yang mungkin sering mengalami kekhawatiran yang berlebihan dan sering overthinking. Ketika kamu membaca buku ini, kamu akan dibantu untuk menemukan jalan terang agar keluar dari fase tersebut.
Namun, isi dan beberapa bahasan dari buku ini diulang-ulang sehingga dapat membuat pembaca menjadi bosan. Terlepas dari kekurangan yang dimilikinya, tentunya ada banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Oleh karena itulah buku ini telah sangat banyak dibaca dan mendapatkan penghargaan sebagai buku mega best seller. Pelajaran yang paling saya ingat sepanjang membaca buku tulisan Henry Manampiring ini adalah berasal dari salah satu kutipan dari Epictetus yaitu salah satu filsuf yang mempelopori filsafat stoa. Kutipannya adalah “some things are up to us, some things are not up to us.” Artinya, ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, dan ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Dengan selalu mengingat kutipan ini kita dapat dibantu untuk selalu berfokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan saja. Dengan begitu, kebahagiaan akan selalu menghampiri kita karena, kebahagiaan sejatinya hanya bisa datang dari “things we can control”, hal-hal yang di bawah kendali kita.
Penulis: Melky Lelyta
Editor: Jodi Alfrino, Nadya Rajagukguk