Gerakan Perempuan Bersama Rakyat (Gempur) mengadakan aksi momentual saat peringatan International Women’s Day (IWD) di Malang (08/03). Mengusung tema “Hancurkan Kapitalisme! Sahkan RUU-PKS & Wujudkan Kesejahteraan Sosial Berbasis Gender,” aksi ini berencana melakukan long march dan mimbar bebas. Aksi dimulai dengan berjalan dari titik kumpul di Stadion Gajayana dan berakhir di Balai Kota. Namun, aksi tersebut dipaksa bubar oleh aparat saat masih berada di Stadion Gajayana.
Is, peserta aksi, menjelaskan aksi berlangsung selama 15 menit. Kemudian, massa aksi dipaksa bubar oleh aparat. “Kami dipukul mundur oleh mereka dengan alasan tidak mengirim surat pemberitahuan dan menerapkan protokol covid saat aksi, padahal kami sudah mengirimnya,” terangnya.
Hal senada diungkapkan oleh Icha, humas Gempur. Ia menyatakan massa aksi dipaksa membubarkan diri sebelum membentuk barisan. Meski sempat bernegoisasi terkait tujuan aksi dengan aparat, massa aksi malah diangkut kedalam mobil dalmas.
“Mereka (red, massa aksi) tetap dipaksa untuk membubarkan diri. Bahkan aparat melakukan tindakan represif terhadap massa aksi, hingga beberapa massa aksi diangkut oleh mobil aparat,” tandas Icha.
Keterangan lebih lanjut tentang pengangkutan massa aksi disampaikan oleh Naren, peserta aksi yang diangkut kedalam mobil dalmas. Naren menceritakan pemukulan dan penginjakan oleh tiga aparat terhadapnya. Kejadian itu berawal saat akan diangkut ke dalam mobil dalmas. “Mereka kasih tubuh saya di aspal, terus ada yang injak-injak saya,” terang Naren.
Selaras dengan Naren, Is mengalami perlakuan yang sama saat diinterogasi dalam Polresta. Ia dipukul di dalam sebuah ruangan di Polresta. Menurutnya, saat pemukulan terjadi, ia berada di ruangan yang berbeda dengan massa aksi. “Kondisi di dalam beda-beda yah soalnya dipisah-pisah kawan-kawan. Kalo saya sendiri dibawa ke ruangan yang terpisah dan dipukul juga di dalam,” jelasnya.
Di lain pihak, Polisi menganggap demonstrasi peringatan IWD di Malang merupakan kedok untuk menolak otonomi khusus dan meminta kemerdekaan Papua. Melalui Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Leonardus Simarmata, pernyataan itu dibenarkan. “Sebenarnya niatnya mulia, tetapi di masa pandemi dan PPKM Mikro kerumunan massa dilarang. Dan juga aksi hanya dijadikan kedok untuk menyuarakan Papua Barat Merdeka oleh AMP dan IPMAPA,” terangnya seperti dilansir dari detik.com.
Menanggapi hal tersebut, Icha menampiknya. Dalam kesepakatan yang telah ditetapkan, massa aksi telah mempunyai 15 poin tuntutan dan ditulis dalam press releasenya. Icha menegaskan bahwa tujuan aksi sepenuhnya untuk mengedukasi masyarakat. “Tidak ada sama sekali kedok untuk menolak otsus dan kemerdekaan Papua. Gempur tetap mengawal isu yang dibawa oleh aliansi mengenai peringatan IWD,” tandasnya.
Sisi lain, Icha mengecam pembubaran dan pengangkutan paksa massa aksi oleh aparat. Menurutnya kedua hal itu tidak dapat dibenarkan. Sebab, tugas aparat kepolisian ialah mengayomi, menjaga ketertiban, dan melindungi. “Dalam penanganan aksi pun harus ada tahapannya terlebih dahulu. Tidak langsung merepresif penyampaian pendapat kami ini. Ini telah melanggar ketentuan yang berlaku untuk kepolisian,” jelasnya.
Alam, peserta aksi, menyorot tindakan represi aparat. Menurutnya aparat seharusnya melindungi, bukan memukul dan bahkan mengangkut massa aksi secara paksa. Alam juga menerangkan saat pembubaran massa aksi. Massa aksi meminta dengan baik kepada aparat agar mereka diberi ruang yang aman. Namun aparat tetap memukul mundur dengan memaksa dan menangkapi massa aksi.
Total terdapat 28 massa aksi yang ditangkap berdasar data yang dimiliki oleh Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang. Hingga berita ini terbit, masih ada satu peserta aksi (Hariminus Loho) yang ditahan. Pihak LBH Surabaya Pos Malang sedang mengupayakan penangguhan penahanan terhadap Hariminus Loho.
Reporter: Anggita Sasmita dan Bunga Heryana
Editor: Rama Yusuf
Foto: Siar/Fakhri