Isu kekerasan seksual terhadap perempuan selama pandemi semakin meningkat. Berdasar data Women’s Crisis Centre (WCC) terdapat 121 orang yang mengalaminya. Rinciannya: 50 orang lebih mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga dan 40 orang lebih mengalami Kekerasan dalam Pacaran. Hal itu diungkapkan oleh Sri Wahyuni dalam webinar bertajuk “Maintain Women’s Power Against Violence and Sexual Harassment” yang diadakan oleh Medical Students Committee for International Affairs (28/02).
“Ini (red, pelaporan kasus kekerasan seksual pada tahun ini) menjadi sebuah perkembangan dua kali lipat kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” jelasnya.
Adanya peningkatan jumlah pelaporan kekerasan seksual tidak hanya dicatat oleh WCC. Hal serupa terjadi pada Komnas Perempuan. Dalam datanya, selama periode Januari – Mei 2020, Komnas Perempuan menerima 903 pengaduan kekerasan seksual secara langsung.
Retty Ratnawati, Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan, menyatakan bahwa akar permasalahan kekerasan seksual adalah relasi yang timpang. Misalnya pada kasus kekerasan seksual di kampus, mayoritas korban merupakan mahasiswi. Sisi lain, mayoritas pelaku adalah dosen dan mahasiswa. Lebih lanjut, menurut Retty korban juga mengalami viktimisasi ganda oleh pelaku. “Nanti dilaporkan loh kalo tidak mau, wong gitu aja kok tidak mau, apalagi kalau yang ngajak itu profesor doktornya,” terangnya.
Persoalan lain dalam isu kekerasan seksual yakni sulitnya pengadvokasian bagi korban. Penyebabnya adalah tidak ada payung hukum yang berpihak kepada korban. Retty menegaskan bahwa perlindungan bagi korban minim bahkan masih marak budaya menyangkal—victim blaming. Oleh karena itu, Retty menjelaskan bahwa pengadvokasian kekerasan seksual mestinya mengutamakan pemberikan ruang aman kepada korban. “Hal yang perlu kita lakukan kalau kita sebagai pendamping korban: percaya pada mereka, dengarkan, empati. Karena apa? Supporting system bagi korban kekerasan seksual adalah utama,” tegasnya.
Dalam webinar tersebut, Retty turut mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU PKS memuat enam elemen kunci yang sangat penting bagi perlindungan korban. Diantaranya yaitu: pertama, pencegahan kekerasan seksual. Kedua, bentuk tindak pidana kepada pelaku kekerasan seksual. Ketiga, pemulihan korban. Keempat, hukum acara pidana. Kelima, pengedukasian masyarakat soal kekerasan seksual. Dan keenam, pemantauan UU PKS jika telah disahkan. “Kita melakukan semuanya berbasis pembelaan terhadap korban, itu utama,” tandasnya.
Di lain sisi, Komnas Perempuan juga mengumpulkan data mengenai respon terhadap kekerasan dan perilaku menyimpan kontak layanan pada perempuan. Data tersebut dikumpulkan melalui google form. Hasilnya cukup memprihatinkan. Retty mengungkapkan rendahnya kesadaran perempuan terhadap kekerasan. “Awareness dari perempuan terhadap kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan kekerasan masih sangat rendah, tidak sampai 30 persen, lho,” jelasnya. Menanggapi fenomena tersebut, Retty menambahkan bahwa Komnas Perempuan akan membuat sebuah direktori. Hal ini berguna bagi masyarakat untuk memperoleh kontak layanan bantuan kekerasan seksual. “Kami kumpulkan seluruh Indonesia. Insyaallah, dalam tahun ini akan dikeluarkan sehingga nanti masyarakat lebih mudah untuk kontak di direktori itu,” jelasnya.
Peliput: Dwi Mauliddia dan Dewi Fitriah
Editor: Rama Yusuf