Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ManifesT Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) berkolaborasi bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Surabaya Pos Malang mengadakan nonton bareng (nobar) dan diskusi publik, yang bertempat di Mimbar Demokrasi Gedung C FH UB. Nobar dan diskusi publik yang diadakan pada Rabu (07/09/2022) mengangkat tema “Titik Nadir Menggugat Negara Menetapkan Kasus Pembunuhan Munir Sebagai Pelanggaran HAM Berat.” Diskusi publik ini menghadirkan empat narasumber yakni Dr. Dhia Al-Uyun, S.H., M.H. (akademisi FH UB), Daniel Alexander Siagian (Koordinator YLBHI Surabaya Pos Malang), Moh Badar Risqullah (Aliansi Jurnalis Independen Malang) dan Al Ghozali (relawan Aksi Kamisan Malang), serta dimoderatori oleh Ken Swastyastu P.
Acara diawali dengan penayangan film dokumenter mengenai kasus Munir. Lalu, acara dilanjutkan dengan pembawaan materi oleh keempat narasumber. Dimulai dari pemateri pertama yaitu, Dhia. Baginya, kasus Munir sangat penting dan harus diungkap karena hal ini akan menjadi pintu masuk penyelesaian kasus HAM yang lain. “Pembunuh Munir ini adalah preman negara,” ungkapnya. Ia juga mengatakan bahwa pemerintah harus mengadakan revisi pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Alasannya jika RKUHP itu sampai disahkan, maka akan sangat membuka kemungkinan kasus kehilangan terjadi lagi.
Dhia juga menerangkan, bahwa kasus Munir tidak bisa kadaluarsa, karena termasuk dalam pelanggaran HAM berat. Namun, menurut penjelasannya, akan sangat alot untuk membawa kasus ini ke pelanggaran HAM berat. Dikarenakan ada beberapa keanehan yang terdapat dalam kasus tersebut. Beberapa diantaranya adalah berkas yang tidak ditindaklanjuti, Komnas HAM membentuk tim Ad Hoc untuk mengulur waktu, dan yang terakhir adalah Pollycarpus. Ia (baca :Pollycarpus) mengaku hanya menjadi kru tambahan dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan dengan memasukkan racun arsenik pada tubuh Munir.
Senada dengan pemateri sebelumnya, Daniel memandang bahwa kasus Munir ini tidak bisa hanya dipandang sebagai kasus pidana biasa. “Kasus Munir harus menjadi kasus pelanggaran HAM berat, dikarenakan kasus ini terjadi secara sistematis dan ada dugaan keterlibatan negara dalam kasus ini,” tegasnya. “Munir saja bisa dibunuh, apalagi kita yang bergerak dalam perlindungan hak asasi manusia,” tambahnya.
Badar juga mengungkapkan bahwa kasus ini harus diangkat kembali ke permukaan melalui kita (baca : mahasiswa). Baginya, masyarakat yang paham hukum dapat memahami caranya kasus Munir dan kasus-kasus pelanggaran HAM lain bisa terus menjadi desakan kepada pemerintah untuk diusut tuntas. “Jangan sampai isu-isu seperti ini sampai tenggelam begitu saja,” ungkapnya. Tetapi Badar juga tidak bisa mengelak bahwa media hari ini hanya mengangkat isu yang sedang ramai saja. “Kalau dari peran media sendiri memang autokritiknya begini, di media itu jika mengangkat isu ya kalau rame saja,” tegasnya.
Menurut Badar, hal ini bisa terjadi karena isu tersebut sudah tidak dibahas lagi oleh masyarakat. “Namun ada satu isu yang sampai saat ini masih terus dibahas dan disuarakan. Aksi Kamisan ya walaupun hanya beberapa wilayah saja yang konsisten melakukannya tetapi itu sudah sangat berguna,” tutupnya.
Selaras dengan Dhia, Al Ghozali berpendapat bahwa tidak ada penjelasan yang tegas untuk kasus Munir ini setelah 18 tahun lamanya. Diantaranya, klaim bahwa dokumen Tim Pencarian Fakta (TPF) hilang dan tidak diangkatnya kasus Munir ini sebagai pelanggaran HAM berat. “Kita harus mengawasi itikad baik negara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat,” jelas Ghozali. “Negara saja abai terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bagaimana selanjutnya?” tanyanya.
Ghozali juga mengungkapkan bahwa pembunuhan Munir bukan semata-mata pembunuhan sebagai individu tetapi bentuk pembungkaman terhadap gerakan masyarakat sipil di Indonesia. “Kita juga dapat menunjukkan bentuk kepedulian kita terhadap kasus Munir ini sebagai masyarakat sipil dengan turut bersolidaritas,” ungkapnya lagi.
Pemberian materi ditutup dengan membuka sesi pertanyaan, terdapat dua pertanyaan yang masuk. Pertama terkait peran komnas HAM yang masih belum bisa menyelesaikan kasus Munir yang ditanggapi oleh Dhia. “Komnas HAM di Indonesia tidak terlalu lincah karena tidak memiliki mekanisme penyelidikan, penyidikan, dan yang bekerja secara langsung” Pernyataan ini juga didukung dengan asumsi Daniel bahwa Komnas HAM masih memiliki keterkaitan dengan partai politik.
Kedua, terkait esensi anak muda yang harus concern dengan kasus Munir, yang ditanggapi oleh Badar. Baginya, pembelaan kematian itu penting dan kasus HAM lainnya perlu disampaikan secara luas agar tidak terkotak kotak lagi. Harapannya, ketika Kasus Munir ini terungkap, kasus-kasus lain pun demikian. Ditambahkan oleh Ghozali bahwa terdapat 700 surat yang dilayangkan kepada pemerintah, namun hanya ditanggapi sekali saja. Bahkan, sewaktu di follow up, tak ada tindak lanjut lagi. “Jika kita diam, kita juga sama dengan orang orang yang melakukan kejahatan itu,” tutup Ghozali.
Penulis: Melky Lelyta
Editor: Jodi Alfrino Tarigan
Foto: TEMPO/Bernard Chaniago