[Riset]
Seakan melenceng dari tujuan awal, UU ITE yang seharusnya melindungi hak bersuara diruang maya justru malah menjadi tameng yang menciderai hak kebebasan bersuara. Masalah UU ITE yang terus-menerus bermunculan menyebabkan banyaknya usulan agar pasal-pasal yang dinilai multitafsir direvisi, karena hanya mengantarkan korbannya menuju jeruji besi.
Sedikit Lebih Dekat dengan UU ITE
Berdasarkan kumparan.com, gagasan adanya UU ITE bermula sekitar awal tahun 2000 saat era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika itu, masih terjadi kekosongan hukum di ranah dunia maya atau cyber. Sehingga 2 perguruan tinggi negeri, Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, masing-masing menyusun konsep RUU cyberlaw.
Unpad yang dipimpin Prof. Mieke Komar Kantaatmadja, menyusun RUU cyberlaw sebagai UU yang memayungi seluruh aturan teknologi informasi. RUU cyberlaw versi Unpad bersifat umum yang dinamakan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI). Adapun Konsep RUU cyberlaw versi UI bersifat spesifik, hanya mengatur yang berkaitan dengan transaksi elektronik, semisal tanda tangan digital yang dinamakan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (IETE).
Masih dilansir dari kumparan.com, setelah melalui pembahasan di DPR yang berlangsung sejak 2003, UU ITE akhirnya disahkan DPR pada 25 Maret 2008. UU ITE kemudian diteken Presiden SBY pada 21 April 2008 dan diundangkan di hari yang sama. Nando menyebut bagian pertama UU ITE mengatur persoalan e-commerce seperti market place, nama domain, tanda tangan elektronik baik yang digital (mengandung algoritma privat dan public key infrastructure) maupun non digital (scan tanda tangan, password, pin, dan sidik jari).
Bagian kedua UU ITE terkait tindak pidana teknologi informasi memuat banyak sub bagian. Sub bagian satu adalah ilegal konten seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan online, pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik. Sub bagian dua adalah akses ilegal seperti hacking. Sub bagian tiga mengenai illegal interception seperti penyadapan, dan sub bagian empat mengenai data interference seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal yang tertuang.
Polemik UU ITE : Melindungi Dunia Maya atau Membungkam Suara
Sejak kemunculannya, UU ITE memang kerap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Disatu sisi UU ITE dianggap dapat melindungi dunia maya namun disisi lain justru membungkam suara-suara kritis diruang maya. dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Sejak diberlakukan, beberapa butir dalam undang-undang tersebut dianggap membatasi kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapat di ruang maya. Berdasarkan kumparan.com, tak lama usai disahkan, UU ITE ketika itu sudah mendapat berbagai kritik. Ancaman kriminalisasi menggunakan UU ITE sudah lama disuarakan berbagai pihak, secara khusus terhadap berlakunya Pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian/SARA.
“Pasal Karet” dalam UU ITE
Dilansir dari suara.com, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menyatakan ada 9 pasal UU ITE yang harus di revisi karena rumusannya dinilai karet dan multitafsir. Sembilan pasal tersebut diantaranya:
Pasal 26 Ayat 3 (Penghapusan Informasi Tidak Relevan) “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”. Masalah pasal ini terkait sensor informasi.
Pasal 27 Ayat 1 (Asusila) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Pasal ini bermasalah karena digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.
Pasal 27 ayat 3 (Defamasi) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pasal ini dinilai represi bagi masyarakat yang mengkritik pemerintah hingga aparat polisi.
Pasal 28 Ayat 2 (Ujaran Kebencian) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Pasal ini dinilai bermasalah karena mengekang pendapat masyarakat kepada aparat polisi dan pemerintah.
Pasal 29 (Ancaman Kekerasan) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”. pasal ini bermasalah karena dipakai untuk memidana orang yang mau melapor ke polisi.
Pasal 36 (Kerugian)“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”. Pasal ini dianggap bermasalah karena dipakai untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
Pasal 40 Ayat 2 (a) (Muatan yang Dilarang) “Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal ini dinilai bermasalah karena hoax menjadi muatan yang digunakan digunakan dasar internet shutdown.
Pasal 40 Ayat 2 (b) (Pemutusan Akses) “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”. Pasal ini dinilai bermasalah karena penegasan pemerintah lebih diutamakan dibanding putusan pengadilan untuk internet shutdown.
Pasal 45 Ayat 3 (Ancaman Penjara tindakan defamasi) “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”. Pasal ini bermasalah karena dapat melakukan penahanan pada pelanggar UU saat masih dalam proses penyidikan.
Bagaimana kebebasan bersuara ala penguasa di negeri ini ?
Terdapat dilema antara pernyataan dan sikap Pemerintah yang tertuang dalam produk hukum terhadap kritik di negeri ini. Dilansir dari cnnindonesia.com Presiden Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik. Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun berpendapat pernyataan Jokowi dan pihak Istana yang minta dikritik menunjukkan praktik politik berwajah ganda dari kekuasaan. Hal ini dinilai berlawanan dengan kondisi yang terjadi diruang maya ketika publik mulai ingin membuka suara.
Ubed menilai di satu sisi Jokowi menunjukkan pesan yang positif untuk bersedia mendapat kritik. Di sisi lain, menunjukkan tindakan kontradiktif dengan terus menangkap atau menghantam para aktivis yang lantang mengkritik kekuasaan. Ketika Jokowi minta publik aktif mengkritik, Ubed mengatakan warga terus dibayangi oleh ulah para pendengung (buzzer) yang menjadi pembela pemerintah maupun ancaman UU ITE. Alhasil, sudah banyak orang-orang kritis terhadap pemerintah yang terjerat pada dua instrumen tersebut. Di nilai bukan mengawal dan mengedukasi masyarakat, kebalikannya UU ITE justru terkesan membungkam aspirasi dan kritik masyarakat terutama yang opininya bersebrangan dengan pemerintah yang berakhir di jeruji besi.
Ada banyak tokoh yang menyoroti pernyataan jokowi tersebut. Salah satunya pengamat politik dan filsuf Rocky Gerung. Dilansir dari kabar24.bisnis.com, Rocky Gerung menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sekedar tes ombak untuk melihat keseriusan tanggapan publik. Selama bertahun-tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, kata dia, masyarakat hidup dalam gelombang ketidakpercayan karena yang diucapkan dan yang terjadi tidak seirama.
“Jadi kalau tiba-tiba punya ide untuk membatalkan UU ITE ya itu juga gelombang baru yang mau diciptakan untuk menutupi gelombang sebelumnya yang juga sama, yaitu harapan palsu,” ungkap Rocky.
Historis kelam implementasi UU ITE di tanah air
Berdasarkan bbc.com, hampir 700 orang dipenjara karena terjerat pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sepanjang 2016-2020,menurut kajian lembaga reformasi hukum. Atas dasar itulah, Presiden Jokowi dan DPR didesak mencabut semua pasal karet dalam UU ITE yang kerap kali menjadi alat mengkriminalisasi ekspresi dan pendapat masyarakat. Dalam kurun 2016-2020 saja, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara), menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil.
Laporan perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) juga menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Berdasar pemantauan yang dilakukan oleh LBH Pers, selama 2020 setidaknya terdapat 10 jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal – pasal dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Kebebebasan bersuara harus ditegakkan
Presiden sangat diharapkan menindaklanjuti usulan revisi UU ITE dan tidak perlu menunggu terlalu lama melakukan kajian tentang kemudaratan dari penerapan UU ITE di masyarakat. Sebab pada prakteknya, banyak sekali aparatur negara yang justeru menggunakan UU ITE sebagai tameng untuk melindungi dirinya dari kontrol pers dan memilih melaporkan wartawan dan media ke polisi dengan rujukan UU ITE bukan UU Pers ketika dirinya diberitakan terlibat dugaan korupsi atau penyimpangan anggaran dan banyak juga masyarakat sipil yang menjadi korban mendekam di jeruji besi karena terjerat pasal karet UU ITE ini.
Dalam berbangsa dan bernegara, pemerintah hanyalah sebagai perpanjangan tangan rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Tidak baik rasanya menciderai kepercayaan masyarakat dengan membungkam hak berpendapat. UU diciptakan untuk melindungi dan memperjelas aturan yang berlaku. Pemerintah dan masyarakat memiliki hak yang sama untuk dikritik dan mengkritisi jalannya pemerintahan demi tercapainya demokrasi yang lebih baik.
Penulis: Meisa Dwi Lieni
Editor: Nadya Rajagukguk
Infografis: Ilham Laila