Awal bulan Agustus 2020, ketika keluar rumah (setelah sekian lama menghabiskan waktu di rumah) saya melihat masyarakat sedang antusias menyambut bulan ini dengan memasang bendera merah putih didepan rumah masing-masing atau di sepanjang jalan umum. Di rumah saya sendiri tidak pernah memasang bendera merah putih ketika memasuki bulan Agustus, kecuali putra tertua keluarga (yang saat ini sedang tidak ada dirumah) yang sangat fanatik terhadap kesakralan bendera merah putih. Saya pun baru teringat bahwa Agustus adalah bulan yang sangat penting bagi sejarah bangsa Indonesia, karena di bulan inilah Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Sebenarnya hanya dengan melihat bendera merah putih, saya jadi tersadar betapa susahnya bangsa ini menggapai kemerdekaan. Ditambah dengan perjuangan dan pengorbanan yang telah dilalui oleh seluruh rakyat Indonesia pada masa lampau untuk mempertahankan kemerdekaan dan membangun negeri ini hingga sekarang. Tapi entah mengapa, di rumah sendiri tidak memedulikan Agustus sebagai bulan yang spesial karena tidak ada kegiatan khusus yang dilakukan, bahkan hanya sekedar memasang bendera merah putih didepan rumah.

Kekaguman terhadap bendera merah putih

Sejauh yang saya ingat, ketika masih SD kelas 6 atau SMP, setelah bangun pagi untuk ibadah lalu bersiap-siap sekolah, saya langsung menghidupkan televisi untuk melihat berita. Momen yang paling menarik dari menonton televisi adalah menjelang pukul 6 pagi, hampir seluruh stasiun tv nasional memutarkan lagu Indonesia Raya dengan latar alam, suku, seni-budaya dan apapun yang berhubungan dengan Indonesia. Pada momen inilah saya begitu terpesona dengan Indonesia dan bangga menjadi bagian darinya.

Setelah mencari tahu lebih banyak lagi mengenai apapun yang berhubungan dengan Indonesia, saya sampai pada titik bahwa Indonesia bukan hanya tentang kekayaan alam maupun keragaman suku, seni dan kebudayaannya. Tapi kekayaan sejarah sebelum bangsa ini merdeka hingga memproklamasikan kemerdekaannya yang penuh dengan drama, serta kekayaan mengenai peristiwa-peristiwa unik, aneh dan mengerikan yang mengiringi perjalanan Indonesia hingga sekarang.

Dari hal kecil tersebut, saya pun sangat kagum dengan bangsa Indonesia hanya dengan melihat bendera merah putih. Karena menurut saya, bendera merah putih merepresentasikan semua yang berhubungan dengan Indonesia. Tapi kekaguman tersebut ternodai oleh kacaunya pemaknaan bangsa ini terhadap kemerdekaan.

Membatasi kemerdekaan berkeyakinan

Hari kemerdekaan tidak pernah menghadirkan semangat atau antusiasme dari dalam diri saya ketika menyambutnya. Kemerdekaan tentu saja berbeda dengan semua kekayaan yang dimiliki Indonesia. Bagi saya kemerdekaan bukan hanya sekedar proklamasi tahun 1945 dulu, tapi sebuah keadaan dimana seseorang bisa bebas memutuskan dan melakukan sesuatu dengan bijak tanpa ada tekanan ataupun paksaan dari luar dirinya. Hal inilah yang sulit saya lihat dan rasakan selama hidup di Indonesia. Sehingga 17 Agustus hanya menjadi hari formalitas untuk melihat ditariknya merah putih menuju puncak tiang bendera.

Sesuatu yang sangat substansial tidak pernah hadir dalam perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia. Penjajahan masih tetap ada dalam kehidupan sehari-hari. Prakteknya tidak hanya terjadi dalam skala makro seperti urusan kekayaan alam Indonesia yang dikuasai oleh segelintir orang saja, tapi sudah hadir dalam skala mikro berupa paksaan untuk meyakini atau mengikuti golongan tertentu.

Urusan keyakinan yang terdapat pada sila pertama Pancasila, seringkali terjadi paksaan untuk mengikuti salah satu golongan ataupun menyesatkan yang lain. Kejadian ini sangat mengganggu saya, karena pada tahun 2016 lalu, ketika ibu saya sedang mengikuti pengajian di Bangil untuk menyambut kelahiran putri Nabi Muhammad SAW malah dibubarkan secara paksa oleh segerombolan orang. Setelah dibubarkan pun, mereka masih melakukan intimidasi, hinaan dan ujaran kebencian. Padahal acara tersebut hanya dihadiri oleh perempuan dan anak-anak. Lebih memprihatinkannya lagi, koordinator dari pembubaran tersebut adalah salah satu anggota DPRD Kabupaten Pasuruan.

Hingga hari ini pun, ancaman, intimidasi, hinaan dan ujaran kebencian hingga pembatasan maupun larangan mengadakan acara keagamaan seringkali diterima oleh salah satu kelompok Islam yang saya yakini. Beberapa waktu lalu juga terjadi penganiayaan dan pembubaran acara midoderani (serangkaian upacara adat jawa bagi pengantin perempuan pada malam menjelang ijab kabul atau pesta pernikahan) di kota Solo yang dilakukan oleh sekelompok orang . Hanya karena keluarga tersebut berbeda keyakinan dengan mereka, bukan berarti tidak boleh mengadakan sebuah kegiatan. Apalagi kegiatan tersebut hanyalah bagian dari sebuah rangkaian pernikahan.

Apapun alasan mereka membubarkan acara keagamaan, itu tidak bisa dibenarkan. Perbedaan keyakinan tidak pernah menjadi ancaman, apalagi soal agama. Katanya “agamaku agamaku, agamamu agamamu”, kok ini malah menutup kesempatan orang lain untuk memilih agama maupun keyakinan. Padahal manusia diciptakan berbeda-beda. Tuhan pun tidak pernah memaksa hambanya melakukan atau mempercayai sesuatu. Tuhan hanya memberi peringatan. Lah ini, manusia yang sudah dimerdekakan Tuhan malah memaksakan diri menjadi sosok yang berkuasa terhadap sesuatu yang sudah dimerdekakan.

Kejadian tersebut menjadi bukti, kalau merdeka dalam konteks kehidupan sehari-hari masih sulit digapai di Indonesia. Keresahan ini selalu hadir, semenjak mencari tahu lebih dalam lagi mengenai apapun yang berhubungan dengan Indonesia. Dari sebelumnya yang kagum dengan Indonesia hanya dengan menonton tv, berkembang menjadi kepedulian terhadap kemerdekaan yang dianggap sudah digapai. Dengan kemerdekaan yang selalu dibanggakan tanpa melihat aspek lain secara substansial, bagaimana bisa saya merasa bangsa ini merdeka? Kalau hanya urusan memilih sesuatu yang diinginkan, dipercaya dan diyakini masih dipaksakan?

 

Penulis: Ali Ridho

Editor: Aulia Nurul Qistie

Ilustrator: Dwi Mauliddia