Judul : Laut Bercerita

Penulis : Leila S. Chudori

Penerbit : KPG

Tahun terbit : November 2018 (cetakan kelima)

Halaman : 379 halaman

 

Pada halaman pertama prolog, saya sudah disuguhi kegelapan sekaligus kekelaman. Laut bercerita mengisahkan orang-orang yang hilang atau lebih tepat, sengaja dihilangkan. Berkisar pada Orde Baru (tahun 1991-1998) dengan rezim otoriternya yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dan Pasca Orde Baru (tahun 2000-2007).

Seperti judulnya, yang menjadi tokoh utama sekaligus pencerita adalah Biru Laut Wibisana. Bagian pertama dimulai tahun 1991 di Seyegan, kala itu gerakan mahasiswa Winatra dideklarasikan. Laut tergabung dalam Winatra bersama beberapa kawannya. Laut membagikan kisah pertemuan pertamanya dengan Kasih Kinanti, mereka bertemu saat sedang melakukan penggandaan buku-buku terlarang (mis. Buku Pramoedya, dsb). Kemudian, Alex Perazon si Putra Flores yang hobi fotografi. Sama dengan Alex, Gusti Suroso memiliki hobi yang sama. Sayangnya, Alex dan Gusti memiliki pandangan berbeda mengenai foto sehingga mereka sering cekcok. Sunu Dyantoro, yang suka membantu menangani Daniel kala ia mengeluh, Mas Gala—sang penyair, Arifin Bramantyo, Naratama, dan lainnya.

 

Kisah Nyata dibalut Fiksi

Aksi Tanam Jagung Blangguan 1993

Winatra bersolidaritas bersama petani Blangguan untuk melakukan aksi tanam jagung sebagai bentuk penolakan terhadap tanah lahan jagung yang dijadikan area latihan tentara. Niat itu terhenti saat aparat mulai memeriksa satu per satu rumah warga. Karenanya Winatra memutuskan keluar dari Blangguan dengan merangkak sepanjang lahan jagung menuju jalan raya. Sebagai gantinya, mereka menaiki bus ke Surabaya untuk melakukan aksi di depan Kantor DPRD Jawa Timur. Setelahnya, semua berpencar untuk kembali ke Yogyakarta. Laut bersama kawan lain menuju ke terminal Bungurasih, di sanalah mereka ditangkap untuk kemudian diinterogasi dan disiksa. Sejak saat itu mereka menjadi perhatian intel dan aparat.

 

Suara yang dibungkam

Aksi unjuk rasa atas orde baru selalu berujung kerusuhan hingga akhirnya pada tahun 1996, wirasena dan winatra dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Semenjak itu para anggota wirasena dan winatra berpencar dan berpindah-pindah lokasi. Kisah itu nyata adanya, seperti yang dituturkan Nezar Patria dalam artikel Tempo tahun 2008 berjudul “Di Kuil Penyiksaan Orde Baru.” Nezar adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). SMID bersama organisasi lain yang berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 lalu dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Kondisi tersebut menjadikan gerakan beralih ke bawah tanah. 13 Maret 1998—Nezar Patria yang saat itu bersama Aan Rusdianto di Rusun Klender, ditangkap paksa oleh sejumlah orang berseibo. Sejam kemudian, Mugiyanto menyusul Nezar dan Aan. Nama mereka bertiga masuk dalam daftar prioritas untuk ditangkap.

Satgas Merpati berada di bawah komando Mayor Bambang Kristiono, bertugas mengumpulkan data mengenai PRD. Mayor Bambang membentuk tiga tim lagi dan salah satu tim yang dinamakan Tim Mawar menjadi latar belakang penangkapan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi. Berdasarkan kronik kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 kontras, total berjumlah 23 penduduk sipil (sebagian aktivis) yang ditangkap sekitar tahun tersebut. Sembilan dikembalikan (Aan, Andi Arief, Demon, Faisol Reza, Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, dan Raharja), menyisakan 13 orang yang belum kembali dan tidak diketahui keberadaannya hingga sekarang, diantaranya; Dedy Hamdun, Hermawan Hendrawan, Hendra Hambali, Ismail, M Yusuf, Nova Al Katiri, Petrus Bima Anugrah, Sony, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Yani Afri, dan sang penyair—Wiji Thukul.

 

Kepada yang ditinggalkan

Emosi saya terombang-ambing tatkala pergantian bab. Leila menggunakan alur campuran (maju-mundur) dalam Laut Bercerita. Bab-bab yang mengiris hati ketika mendeskripsikan penyiksaan kepada laut dan kawan-kawannya (secara tetap diberi judul Di sebuah tempat, di dalam gelap, 1998), kemudian diselingi dengan bab-bab menegangkan yang memuat perjalanan mereka sebagai aktivis, hingga akhirnya menjadi buronan dan ditangkap. Meski disisipkan beberapa adegan yang mungkin terdengar lucu dan manis (misal kisah asmara antara Laut yang awalnya gugup dengan Anjani hingga mereka menjalin kasih) atau gumaman Sunu saat merayapi lahan jagung, “Wis film Hollywood kalah iki.” Laut Bercerita bagi saya banyak menegangkannya, juga membuat marah dan sedih bersamaan.

Dua tahun awal pasca hilangnya Laut dan beberapa kawan lain yang tidak kembali, Leila memberi gambaran keluarga yang ditinggalkan melalui sudut pandang adik perempuan Laut, Asmara Jati. Persis seperti cerpen Mirah Mahardika (nama samaran Laut) yang dimuat pada halaman sastra Harian Demokrasi Minggu. Bercerita tentang seorang bapak yang menunggu kepulangan anak sulungnya dengan selalu meletakkan empat buah piring di meja makan. Hal itu mengingatkan pada kebiasaan keluarga Laut yang setiap minggu memasak dan makan bersama berempat. Bu Arum—ibunda Sunu, mengalami satu kejadian. Kain batik yang ia tinggalkan setengah jadi dan direncanakan untuk dilukis kupu-kupu, keesokaannya sudah terlukis kupu-kupu kuning biru dengan sendirinya. Ibunda Sunu meyakini bahwa Sunu telah mampir ke rumah. Adapun Anjani yang digambarkan sudah tidak merawat dirinya sendiri; “Anjani memperlihatkan foto pertama dengan telunjuknya yang berkuku hitam—jelas dia sudah tak merawat lagi dirinya—.“

 

Usut dan Tuntut Hingga Tuntas

Cerita tidak berakhir pada hilangnya Laut dan kawan-kawan. Pencarian atas hilangnya mereka, tak henti dilakukan Asmara Jati. Upaya tersebut tak luput dari bantuan keluarga korban, relawan yang juga kawan-kawan Laut yang dikembalikan, Anjani sang kekasih, serta dukungan dari yang lainnya. Kemudian, Asmara diajak Aswin Pradana dari LBH, untuk bergabung mendirikan Komisi Orang Hilang. Kasus Pelanggaran HAM itu terus disuarakan dalam setiap kesempatan.

Sependek saya membaca, novel Laut Bercerita terlampau jujur, setiap kalimat ditulis apa adanya. Leila Chudori memberikan banyak ruang untuk mengembalikan memori kolektif tentang kejinya orde baru yang represif dan anti-kritik, kasus pelanggaran HAM, serta dampak lanjutan yang menyertainya.

Representasi perlawanan oleh gerakan mahasiswa dalam Laut Bercerita juga dapat menjadi refleksi kembali untuk gerakan-gerakan di masa kini. Satu aksi besar tidak akan cukup untuk merubah keadaan, jangan sampai terbalut dalam euforia perlawanan yang fana. Tuntutan atas kasus pelanggaran HAM berat tetap berlanjut, salah satunya melalui Aksi Kamisan yang rutin diselenggarakan setiap hari kamis di depan Istana Negara. Sebagai penutup, kutipan potongan larik puisi Sutardji Calzoum Bachri pada prolog Laut Bercerita saya taruh untuk mengakhiri tulisan ini.

Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali….

 

Penulis: wadimor

Editor: Sekarwati

Foto: wadimor