Penulis: Helmi Naufal Z.
Judul Buku : Cendekiawan dan Politik
Penyunting : Aswab Mahasin dan Ismed Natsir
Penerbit : LP3ES
“Semakin ia cinta kepada rakyat dan masyarakatnya yang dianggap ‘ketinggalan’, semakin pedih pula penderitaannya.” – Y.B. Mangunwijaya.
Awal-awal saya belum begitu tertarik membaca buku ‘Cendekiawan dan Politik’. Menurut saya, dari judulnya pun kurang merangsang selera membaca. Dalam banyak kekurangan saya, pelan-pelan saya coba menerawang isi dari buku ini, yang menurut hemat saya, tidak akan jauh-jauh dari pembahasan kaum elit dengan gaya bahasa sulit dicerna. Akhirnya saya beranikan diri membaca sekaligus menulis ulang buku ini setelah melihat dan merasakan wujud rupanya! Buku ini kecil, mudah dibawa kemanamana, termasuk di dalam kantong celana. Memang kurang etis, tapi ini kenyataannya.
Buku ini menghimpun karangan dari beberapa tokoh yang menuangkan ide dan perasaan mengenai kaitan cendekiawan dan politik, peran cendekiawan, peran intelektual di Barat maupun di Timur. Karangan yang diambil untuk menghiasi buku ini diambil dari tokoh-tokoh berikut ini: Mohammad Hatta, Soedjatmoko, Selo Soemardjan, Harsja W. Bachtiar, Y.B. Mangunwijaya, Alfian, Arief Budiman, Wiratmo Soekito, Dorodjatun KuntjoroJakti, dan Edawrd Shils. Buku ini juga memberikan beberapa halaman kepada filsuf sekaligus pengarang Perancis, Harry Julien Benda yang menulis pandangannya tentang (Kaum Inteligensia Timur sebagai Golongan Elit Politik).
Dalam karangannya, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Romo Mangun) memberikan pertanyaan mendasar, sederhana, tapi tajam. Romo Mangun mempertanyakan, apa dan siapa cendekiawan itu? Apakah seorang ilmuwan yang menemukan metode baru pemetaan galaksi-galaksi angkasa itu tergolong cendekiawan? Di sisi lain, negaranya belum bisa memproduksi sendiri pensil atau ballpoint. Atau pejabat negara yang memberikan konsesi minyak dan mengalirkan uang ke kas negara sekaligus ke kas pribadi bisa disebut kaum intelektual?
Pertanyaan-pertanyaan Romo Mangun tentang makna cendekiawan berkisar diantaranya. Banyak hal belum jelas, bahkan tidak akan pernah jelas. Karena pengertian, makna, istilah cendekiawan selalu sudah mengandung tafsiran tertentu.
Tulisan ini di awali dengan kutipan dari Romo Mangun yang saya ambil dari buku. Kata “Ia” dalam kalimat itu merujuk kepada kaum cendekiawan. Baginya, kaum cendekiawan harus terus menerus diilhami oleh keprihatinan terhadap manusia. Keprihatinan itu tidak hanya sebatas mereka sadar akan nasib manusia. Lebih jauh dari itu, keprihatinan harus diamalkan melalui pengetahuan yang dimiliki kaum cendekiawan. Melibatkan diri dalam masyarakat secara khusus dan manusia secara umum. Melibatkan diri diartikan sebagai upaya aktif meleburkan dirinya dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan Romo Mangun bukan tanpa alasan. Romo Mangun menilai pelibatan itu wajar, dan memang suatu keharusan dari kaum cendekiawan. Ia melihat banyaknya dimensi kehidupan dan kenyataan terselubung sudah diketahui cendekiawan sebelum massa mengetahuinya. Sampai sini, gagasan Romo Mangun diungkapkan tegas, tanpa ‘tedheng aling-aling’.
Selain itu, Romo Mangun juga menjelaskan keadaan kaum cendekiawan yang tidak disenangi oleh para penguasa. Kaum cendekiawan pada umumnya tidak mengabdi pada kekuasaan, melainkan pada kebenaran. Mereka tidak mengenal struktur hirarkis, tidak mengenal hubungan sesama rekan, pergaulan yang jujur dan terbuka ialah pijakannya. Jujur dan terbuka juga berlaku pada diri mereka sendiri. Salah satunya sikap kritis terhadap kemampuannya yang terbatas. Sikap yang dimiliki kaum cendekiawan bermuara pada titik kewasapadaan dalam pemahaman yang benar. Keadaan semacam itu lekas berbentrokan dengan orang lalim dan kaum bandit bertopeng penguasa.
Pandangan serupa juga diungkapkan Edward Shils yang dikutip Arief Budiman dalam tulisannya “Peranan Mahasiswa sebagai Inteligensia”. Edward Shils merumuskan corak yang ada dalam diri kaum cendekiawan. Corak itu berkisar pada kegairahan mereka terhadap kebenaran. Hanya kebenaran dan keberanian mengutarakan kebenaran. Mereka tidak mempunyai kepentingan duniawi, tidak menarik keuntungan sosial maupun politis. Keberanian mengutarakan kebenaran di muka umum jadi ciri pembeda kaum cendekiawan. Kebenaran yang diungkapkan langsung berbatasan dengan konsekuensi yang harus diambil. Mereka tidak segan, takut, minder untuk mengungkapkannya, sekalipun terasa pait bagi penguasa. Tujuan mereka hanya satu, kebenaran. “Bukankah mereka harus matang dulu dalam penghayatannya akan sesuatu, supaya berhak mempersaksikannya secara bertanggung jawab?” begitu kata Romo Mangun.
Kata pengantar buku ini ditulis Wiratmo Soekito, dia mengutip Julian Benda yang berbicara mengenai pengkhianatan kaum cendekiawan pada awal abad 20, ketika kaum cendekiawan terlibat dalam politik praktis. Menurutnya, kaum cendekiawan ialah orangorang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan praktis. Cendekiawan itu unterscheidend innewerden, memisah-uraikan sambil mengendapkan dalam batin. Mereka dapat dipahami sebagai orang-orang yang ‘dalam’ dan intens memikirkan atau menghayati sesuatu. Secara tersirat, pandangan ini sudah menggambarkan segi-segi etos dan moralitas. Mereka hanya mengabdi kepada kemanusiaan, bersetubuh dengan nasib manusia.
Mahasiswa Tidak Selalu Intelektual, Apalagi Cendekiawan
Mahasiswa dapat digolongkan sebagai kaum cendekiawan. Tetapi berlainan dengan makna cendekiawan yang berkaitan dengan status sosial dalam masyarakat. Situasi mahasiswa selalu bercorak sementara, ini sifat khas yang melekat pada mahasiswa. Penggolongan status mahasiswa dalam masyarakat, mau tidak mau harus menyertakan asal-usul mereka, situasi mereka, serta arah sosial mereka sebagai mahasiswa. Nilainilai subkultur dan kebudayaan yang melekat pada mahasiswa bukanlah berasal dari kelompok borjuis dan bukan dari golongan proletar, apalagi cendekiawan. Namun, pembenaran mahasiswa sebagai kaum cendekiawan dapat dilihat dari peran dan fungsinya dalam konteks perubahan sosial di masyarakat. Mahasiswa yang menggunakan ilmunya untuk menyatakan kebenaran. Hal ini pernah terjadi beberapa tahun belakangan, tidak hanya di Indonesia.
Merujuk sejarah, akhirakhir ini, cukup besar peran mahasiswa selaku pencetus perubahan sosial dan politik. Mahasiswa sekarang dapat belajar dari kekuatan mahasiswa dalam peristiwa penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1995, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, penggulingan Sukarno tahun 1966, jatuhnya Ayub Khan di Pakistan tahun 1969, dan banyak lagi yang lain. Titik poinnya, bukan kelompok mahasiswa yang beraksi sampai akhirnya terlaksana gerakan revolusioner. Mereka hanya katalisator yang penting dalam aksi yang bersifat politis. Kira-kira begitu menurut Arief Budiman.
Cita-cita Bung Hatta
Tulisan Bung Hatta dalam buku ini menggambarkan bentuk ideal dari universitas. Universitas diharapkan memberikan sumbangan yang nyata terhadap perkembangan ilmu. Sisi lain, universitas juga harus insyaf akan tugasnya sebagai abdi masyarakat. Mahasiswa digambarkan Bung Hatta sebagai intelektual muda. Setelah menyelesaikan studinya, diharapkan dapat memakai ilmunya untuk penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, guru besar yang mendidik mahasiswa, tugasnya harus diringankan. Seluruh perhatian harus dipusatkan kepada mereka yang memerlukan didikan itu. Tapi, Bung Hatta juga menulis, bahwa universitas tidak bisa memberikan secukup-cukupnya pengetahuan. Universitas melalui guru besar hanya mendidik mahasiswa untuk pandai berdiri sendiri dalam mempelajari ilmu, cara bagaimana ia membahas masalah yang dihadapinya. Lalu, universitas harus menjadi tempat pendidikan manusia yang bertanggungjawab kepada masyarakat.
Bung Hatta berpendapat mengenai titik berat universitas. Menurutnya harus ditekankan kepada pembentukan karakter. “Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar”. Demikian katanya. Cita-cita itu tidak akan terwujud jika hanya satu arah. Artinya, mahasiswa sendiri harus ikut serta mendidik dirinya sendiri, dengan berpedoman cinta akan kebenaran. Jelas itu tidak gampang. Untuk menemukan kebenaran, ia harus menghayati betul persoalan yang ada, sembari memikirkan secara intens.
Kondisi ini bertentangan dengan sistem universitas yang digambarkan Romo Mangun. Pada akhir abad 20, bisa jadi sampai sekarang, masyarakat industri tidak menghendaki mahasiswa yang intelektual dalam artian Bung Hatta. Yang dibutuhkan adalah ahli-ahli terampil dan berdisplin taat mutlak, tetapi hanya ahli dalam bidangnya dan bisa disetir menurut kemauan industri. Ahli-ahli terampil dibuktikan hanya dengan keberadaan ijazah. Ijazah sebagai jembatan mahasiswa memasuki pasar industri.
Intelektual dalam artinya yang asli tidak ada sangkut pautnya dengan ijazah, status sosial dalam masyarakat, formalitas resmi dan sebagainya. Ini dibawa oleh tabiat ilmu itu sendiri yang wujudnya tidak sekedar mencari kebenaran, tapi membela dan memperjuangkan kebenaran.
Seandainya mahasiswa “sekolah sekenanya, yang penting dapat ijazah” disebut kaum intelektual, bagaimana kita bisa menggambarkan Ki Hajar Dewantoro, Hamka, dan Sutan Sjahrir yang tak pernah menggondol ijazah universitas?