Penulis: Dinda Indah Asmara

Tepat 30 Agustus setiap tahunnya diperingati sebagai hari penghilangan paksa sedunia. Di Indonesia tanggal itu jatuh tepat pada Kamis ke-551 aksi Kamisan digelar keluarga korban penghilangan paksa oleh Rezim Orde Baru untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas nasib anak serta suami mereka, serta, dua puluh tahun sudah tiga belas aktivis yang dihilangkan secara paksa pada akhir rezim Orde Baru hilang dan sama sekali belum ada titik kejelasan. Hari anti penghilangan paksa telah diperingati sejak tujuh tahun lalu. Namun saya baru mengetahuinya tadi pagi, saat berselancar di media sosial. Suatu hal yang lumayan menyedihkan.

Melalui Resolusi Nomor 65/209 pada 21 Desember 2010 lalu Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyampaikan bahwa penghilangan paksa terjadi di banyak negara sehingga menjadi persoalan besar yang harus ditangani serius dan bersama-sama oleh komunitas internasional. Indonesia sendiri sayangnya harus menjadi salah satu negara yang pernah dan (mungkin) masih melakukan penghilangan paksa.

Penghilangan paksa tidak pernah sekalipun menjadi masalah yang sederhana. Para korban yang mesti kehilangan hak-hak dasarnya sebagai seorang manusia, serta keluarganya yang mesti hidup dalam ketidakjelasan dan penantian yang seakan tak berkesudahan. Bayangkan saja, bagaimana jika seorang ibu menanti anaknya yang berjanji pulang dari rantauan ketika hari raya Paskah tiba, namun ia justru mendapatkan kabar bahwa anaknya menjadi korban penculikan dari sebuah rezim yang sedang kebingungan karena berada di ujung tanduk kekuasaan, dan tak pernah ada kabar kejelasan mengenai keberadaan hingga sekarang, dua puluh tahun kemudian. Kisah itulah yang saya dengar dari Ibu Genenova Misiatini, salah satu ibu dari tiga belas aktivis 1998 yang menjadi korban penghilangan paksa, Petrus Bima Anugrah.

Saat itu ia menjadi salah pembicara dalam acara pemutaran film dan diskusi buku Laut Bercerita di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada 15 Maret 2018 lalu. Laut Bercerita sendiri adalah sebuah novel fiksi yang mengisahkan para pemuda yang berani menjadi martir untuk meruntuhkan rezim Orde Baru. Mereka harus menghadapi ancaman 4B (buru, bui, buang, bunuh) dalam perjuangan itu. Saya berkesempatan untuk mendengar tuturannya mengenai saat-saat terakhirnya berhubungan dengan anaknya, ketika ia mendapat kabar bahwa anaknya hilang, bagaimana ia dan keluarga orang hilang lain saling menguatkan satu sama lain dan perjuangannya mendapat kejelasan akan nasib anaknya bahkan hingga akhir hidupnya. Ya, Ibu Genenova Misiatini telah berpulang 6 Agustus 2018 lalu. Hingga akhir hidupnya ia belum menerima titik terang akan nasib anaknya juga pertanggung jawaban dari negara atas kejahatannya.

Komitmen negara akan penegakan HAM memang masih harus terus dipertanyakan. Nyaris setiap lima tahun sekali penegakan HAM menjadi janji dalam kampanye, namun belum ada kasus pelanggaran HAM yang dituntaskan secara serius. Mulai dari Pembantaian 1965/1966 (37.774 korban), Penembakan Misterius sepanjang tahun 1982 – 1985 (23 korban), Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 (14 korban), Peristiwa Talangsari tahun 1989 (30 Korban), Darurat Operasi Militer (DOM) Aceh tahun 1989 – 1998, Pasca DOM Aceh tahun 1999 – 2002 dan Darurat Militer Aceh tahun 2003 (total korban (577 korban), Penghilangan paksa Aristoteles Masoka di Papua, Penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997/1998 (23 korban, 9 diantaranya dilepaskan, 1 orang ditemukan meninggal dan 13 lainnya masih belum kembali), serta banyak kasus penghilangan paksa yang belum tercatat lainnya di berbagai daerah di Indonesia.

Harapan akan niat baik negara terhadap penegakan HAM semakin ciut ketika para pelaku penghilangan paksa dan pelanggaran HAM justru menempati posisi penting dalam pemerintahan. Mengharapkan pertangungjawaban negara untuk menangani kasus HAM termasuk penghilangan paksa secara serius jadi seperti menanti ayam bertelur emas. Namun bukan berarti kasus-kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM lain kita lupakan. Para ibu dan keluarga korban masih akan terus berjuang, namun mereka juga akan terus menua setiap harinya, dan negara bisa terus abai. Napas perjuangan harus kita perpanjang. Menolak melawan lupa dan terus merawat ingatan bahwa negara masih punya utang pada korban dan keluar penghilangan paksa serta pelanggaran HAM yang harus dilunasinya. Meneriakkan perlawanan harus terus kita lakukan.