Prof. Dr. Van Kan mendefinisikan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat. Dalam bahasa Belanda terdapat kata “Gerechtigheid” yang berarti keadilan. Jadi, wajib bagi negara untuk melindungi kepentingan-kepentingan setiap individu dalam suatu negara. Kepentingan individu ini dirumuskan dalam Hak Asasi Manusia, misalnya hak hidup, hak milik, hak kebebasan berpendapat, dan hak-hak lainnya yang berkaitan dengan apa yang menjadi tujuan negara dalam melindungi warga negaranya.
Keadilan merupakan keinginan yang harus dipenuhi dalam penerapan hukum. Keadilan bersifat pribadi dan tidak dapat digeneralisasikan. Jika aparat penegak hukum hanya mengandalkan nilai keadilan tanpa memperhatikan nilai guna dan kepastian hukum, maka hukum tidak akan berfungsi dengan baik. Kemudian, jika UU menitikberatkan pada nilai manfaat dan mengabaikan kepastian hukum dan keadilan, maka UU tidak akan berjalan. Jika ingin menegakkan hukum, nilai keadilan, kepentingan dan kepastian hukum harus seimbang dan selaras.
Kita pasti masih ingat soal kasus selebgram Rachel Vennya yang kabur dari karantina. Rachel yang seharusnya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya justru dibebaskan dengan alasan yang sangat tidak masuk akal yaitu “sopan”.
Begitupun juga dengan para tuan dan puan yang telah membuat kebijakan bahkan peraturan di negeri ini. Jika tuan dan puan ini melanggar aturan atau yang paling sering korupsi, memang tuan dan puan ini masuk sel jeruji. Tapi sel jeruji para tuan dan puan ini berbeda dengan sel jeruji masyarakat pada umumnya.
Seperti di beberapa contoh kasus ketidakadilan dalam penegakan hukum yang dirasakan oleh masyarakat dengan ekonomi rendah. Misalnya saja kasus 2 pria yang mencuri buah semangka harus di penjara 2 bulan sebelum dilakukan nya banding, kasus nenek yang menjual petasan dengan ancaman hukuman penjara 5 bulan. Bayangkan saja hanya karena nenek Minah mencuri 3 butir kakao dengan harga 2000, ia pun terancam di penjara 1 bulan. Kasus lain nya kasus nenek Asyani yang diduga mencuri 7 batang kayu jati mendapatkan ancaman penjara maksimal 5 tahun. Bahkan seorang buruh tani yang mengambil kain lusuh di pagar tetangganya juga terancam penjara lima tahun, serta kasus yang mencuri 1 tandan pisang seharga 2000 wajib mendekam di penjara.
Dari contoh kasus-kasus ini bisa terlihat bahwa yang menjadi pelakunya rakyat dengan ekonomi yang rendah serta pendidikan yang minim. Terlebih, kebanyakan kasus ketidakadilan menjerat orang-orang yang sudah lanjut usia. Pelaku tidak mengetahui bahwa tindakan tersebut sudah melanggar hukum. Memang yang namanya kasus pencurian tak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Namun, terlihat sekali bahwa ada ketidakadilan dalam penegakan hukum. Inilah yang membuat masyarakat semakin yakin bahwa hukum memang runcing ke bawah.
Padahal, jika kasus-kasus di atas dibandingkan dengan masalah korupsi yang menjerat para pejabat, tentu kasus tadi tak ada apa-apa nya. Korupsi tentunya lebih banyak menimbulkan kerugian bagi negara dan juga rakyat. Pada kedua contoh perbandingan perkara ini tentu terdapat ketimpangan perlakuan hukum kepada warga negaranya. Para pelaku korupsi yang mencuri uang milik negara dengan jumlah yang besar hanya menerima hukuman penjara selama 1-5 tahun. Namun, mereka yang mencuri tidak lebih dari ratusan ribu malah mendapatkan hukuman yang hampir sama. Inilah yang disebut diskriminasi hukum untuk rakyat dengan ekonomi yang rendah.
Pejabat yang melakukan kasus korupsi akan tetap bisa hidup dengan enak walaupun di penjara begitupun pula kehidupan keluarganya. Kemudian, bagaimana dengan warga dengan ekonomi yang rendah Jika di penjara? Bagaimana keberlangsungan kehidupan keluarganya? Bagaimana jika mereka terpaksa mencuri karena tuntutan untuk hidup? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang seringkali kali dilupakan oleh penuntut maupun penegak hukum. Alasan paling mendasar adanya diskriminasi hukum pada kedua kasus pencurian ini terletak di status sosial dan juga ekonominya. Di mana, setiap pelaku korupsi berasal dari orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi dan juga jabatan. Dampaknya, mereka bisa dengan mudah membayar pengacara maupun melakukan segala cara dengan menggunakan uangnya agar mendapatkan hukuman minimal di penjara.
Sangat tidak selaras dengan rakyat kecil yang menjadi pelaku pencurian, mereka hanya menerima dengan pasrah hasil putusan hukumannya, tanpa bisa melakukan banding buat mengurangi hukuman tersebut. Tak bisa di pungkiri bahwa ketika pejabat yang menjadi pelaku kejahatan walaupun mereka mendapatkan hukuman. Namun, mereka bisa mendapatkan fasilitas yang mewah di dalam penjara berkat koneksi dan juga uang yang mereka miliki.
Adanya fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum pada negeri ini. Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menggambarkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi.
Banyak fakta adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang mempunyai uang dan yang tidak mempunyai uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tidak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum justru terasa dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di rakyat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber-“hukum” para penegak hukum tanpa nurani dan akal sehat.
Penulis: Vera Putri Utami
Editor: M. Fachrur Rozi