Sebagaimana yang dilansir dari cnnindonesia.com, sektor pangan Indonesia tengah menghadapi tantangan berat di tahun 2022. Menyikapi fenomena tersebut, LPM SITUS UPN Veteran Yogyakarta mengadakan diskusi online bertemakan ketimpangan pangan pada Sabtu (21/05).

Dalam diskusi ini, dipaparkan berbagai persoalan-persoalan pangan dari kacamata yang beragam sebagaimana pemaparan kedua narasumber. Alifian Arrazi, Mahasiswa UGM dengan konsentrasi ilmu di bidang Kebijakan Publik, menyoroti ketimpangan pangan dari ruang ekonomi-politik. Adapun, Fadly Rahman selaku Dosen UNPAD menyoroti ketimpangan pangan dalam konteks sejarah dan budaya Indonesia.

Pangan, Kebijakan Kontemporer, dan Kapitalisme

Berbekal pengalaman membaca buku “The Origin Of Capitalism” karya Ellen Meiksins Wood, Alifian mengawali diskusi dengan pemaparan terkait sejarah kapitalisme dan kaitannya dengan pangan. Adanya kondisi prasyarat kapitalisme yakni perubahan sistem kepemilikan tanah membuka ironi tersendiri khususnya dalam sektor pertanian. Baginya, perubahan sistem kepemilikan tanah yang sebelumnya bersifat umum menjadi privat, berhasil melebarkan relasi eksploitasi. Hal ini dikarenakan kapitalisme mengharuskan para petani berproduksi terus-menerus demi adanya peningkatan produktivitas pertanian. Alhasil, eksploitasi pangan oleh para pemilik kepentingan melalui sistem permainan pasar semakin menjadi-jadi.

Alifian juga menjelaskan bahwa sorotan penting pangan dalam kapitalisme ini, kemudian diafirmasi oleh negara. Pemerintah berupaya memproduksi pangan sebanyak- banyaknya melalui berbagai kebijakannya. Ia mencontohkannya melalui Kebijakan Food Estate yang kian digelakkan ke berbagai provinsi di Indonesia. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mengekstensifikasikan pangan sekaligus menghasilkan surplus pangan. Namun, Alifian menilai bahwa kebanyakan dari proyek Food Estate tersebut ternyata gagal mencapai tujuannya. Baginya, kegagalan tersebut disebabkan implementasi kebijakan yang tak diimbangi dengan pembacaan kondisi sosial politik, ekonomi, dan keamanan bagi masyarakat terkhusus kepada para petani.

Selanjutnya, Alifian menyoroti isu struktural permasalahan pangan dalam konteks kebijakan publik kontemporer. Terdapat beberapa persoalan pangan dalam konteks ini seperti persoalan distribusi produk pangan dan banyaknya makelar pangan yang menguasai harga. ”Banyak produksi pangan Indonesia yang bernilai tinggi namun, pemerintah masih sulit memberikan jaringan transportasi murah disitu. Selain itu, harga pangan juga kian dikuasai oleh makelar pangan ketimbang pemerintah sendiri,” tegasnya.

Lebih lanjut, Alifian juga menyoroti banyaknya kebijakan pangan yang tidak berbasis bukti. Hal itu juga penyebab atas kegagalan kebijakan pangan dalam mencapai tujuannya. “Banyak kebijakan pangan yang gagal karena pemerintah kurang mendengar pandangan dari akademisi terkait data dan bukti yang valid. Hal ini memang tak lepas dari tingginya faktor ekonomi-politik dalam kebijakan. Akibatnya, banyak proyek yang gagal,” ujarnya.

Menyinggung persoalan ekonomi-politik dalam kebijakan pangan saat ini, Alifian mengaitkannya dalam persoalan integrasi hulu hilir dalam korporasi pangan. Dia mencontohkannya pada industri minyak goreng, dimana korporasi tersebut memiliki industri dari hulu yakni pengolahan, hingga hilir yakni distribusi. “Dikarenakan korporasi minyak goreng tersebut memiliki semuanya, mulai dari pengolahan, distribusi bahkan penjualan, maka mereka semakin sulit untuk dikontrol oleh pemerintah. Ya, hal ini tak lepas semenjak adanya neoliberalisme di era reformasi,” terangnya.

Melihat persoalan persoalan pangan diatas, Alifian mengharapkan pemerintah memberikan garansi keamanan dan kedamaian pangan bagi masyarakat. Alifian melihat urgensi ini dalam UU NO 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Menurutnya, dalam undang-undang tersebut, jelas dinyatakan bahwa peran pemerintah mulai dari hulu hingga hilir terkait permasalahan pangan sangat dominan. “Dalam UU tersebut, pemerintah berperan mulai dari membuat, mengimplementasikan hingga mengevaluasi kebijakan pangan. Hal itu memberikan fakta bahwa peran negara sangat dominan dalam masalah pangan. Maka dari itu, ketika ada krisis pangan, ini tak lepas dari adanya kesalahan negara.” pungkasnya.

Ancaman Eksistensi Pangan Lokal di Tengah Modernitas

Berbeda dengan Alifian, Fadly menyoroti persoalan ketimpangan pangan lokal akibat maraknya industri makanan cepat saji. Ia membuka pembahasan dengan pemaparan kondisi pangan Indonesia dari masa ke masa seiring dengan kondisi alam, tradisi dan budaya. Terkait alam, Ia melihat bahwa pangan lokal indonesia sangat beragam tergantung letak geografisnya. Adapun dari sisi tradisi dan budaya, pangan indonesia sangat melekat akan adat-istiadat lokal di berbagai daerah. Kekayaan pangan dari sisi ini juga tak lepas dari pengaruh akulturasi dengan negara lain khususnya dari negara India dan Tiongkok. Melihat itu, Fadly mengakui bahwa biodiversitas sumber daya pangan Indonesia sangatlah kaya.

Membaca era modernitas saat ini, Fadly melihat adanya ancaman serius terhadap eksistensi pangan lokal Indonesia. Baginya, negara Indonesia saat ini sangat liberal terkhusus soal pangan. Berbagai industri makanan cepat saji begitu mudahnya masuk dengan proteksi yang minim. Tingginya ketergantungan masyarakat pada industri makanan cepat saji ini tak hanya pada kalangan elit saja, namun sudah menyerang kalangan menengah ke bawah. Ia berpandangan bahwa fenomena ini dapat membunuh secara perlahan pengetahuan dan kebutuhan masyarakat terhadap pangan lokal. “Di Indonesia saat ini, sangatlah bebas. Kita melihat sektor pangan cepat saji kian meluas, kapitalisme sangat bermain. Maka, tinggal tunggu waktunya saja, bahwa makanan lokal akan dilupakan oleh masyarakat.” ujarnya.

Fadly juga menyatakan bahwa ketimpangan pangan saat ini bukan lagi perkara petani saja, namun yang lebih jauh adalah permainan kapitalisme dan kebijakan yang tak sesuai. “Ancaman ini bukan lagi persoalan petani desa atau generasi muda di desa yang malas mengembangkan sektor pertanian. Namun, dilihat secara historis, ini merupakan masalah yang sudah dipupuk sejak lama dan tidak diperbaiki. Hal ini akibat pemerintah enggan membaca sejarah/historical view persoalan pangan untuk melihat situasi saat ini. Alhasil, kebijakan yang ada malah tidak berpihak pada ekosistem pangan lokal kita.” jelasnya.

Sebagai penutup, Fadly mengutip pernyataan orang-orang Samin. “Lemah padha duwe, banyu padha duwe, kayu padha duwe (tanah, air, dan hutan milik semua orang)”. Melalui kutipan ini, ia mengingatkan bahwa masyarakat yang terancam oleh kapitalisme dan kebijakan yang tak berpihak merupakan mereka yang juga punya hak atas tanah, air dan hutan.

Penulis : Nadya Rajagukguk

Editor : Ilham Laila

Foto: Simon Farger/Unsplash