Kematian merupakan penghentian permanen dan tidak dapat dikembalikan dari semua fungsi biologis yang menopang makhluk hidup. Sisi lain kematian juga menarik apabila ditinjau dari berbagai sudut pandang yang ada dalam masyarakat.

Apalagi, banyak kematian yang terjadi semenjak dunia mengalami pandemi pada 2020 silam. Di Indonesia sendiri, total kematian karena pandemi yang terjadi per 11 Mei 2022, yaitu sekitar 156.000 jiwa. Meningkatnya angka kematian tersebut juga memunculkan suatu stigma yang kemudian berkembang dalam masyarakat selama fenomena pandemi ini. Menggali secara mendalam mengenai kematian, Balairung UGM mengadakan webinar dengan topik ‘Posisi Kematian dalam Kebudayaan dan Masyarakat’ (13/03).

Diskusi dalam webinar ini diawali oleh Ardhias Nauvaly, selaku anggota Balairung UGM sekaligus moderator. Ardhias mengungkapkan bahwa kematian adalah saat fungsi biologis seseorang telah berhenti secara permanen. Kematian juga identik dengan kesedihan dan kehilangan bagi orang yang ditinggalkan. Namun, kematian juga menarik jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Ardhias juga menjelaskan bahwa posisi kematian jika ditinjau dari perspektif kebudayaan memiliki posisi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari banyaknya ritual yang beragam. Mulai dari penguburan sederhana, hingga ritual panjang yang memiliki makna mendalam.

Kematian dalam Sudut Pandang Kebudayaan dan Agama

Tri Subagya, selaku dosen magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma menjelaskan tentang kematian apabila dilihat dari sisi kebudayaan. Ia menilik berbagai macam ekspresi dari ritual yang ada dalam masyarakat ketika berhadapan dengan kematian. Hal tersebut bisa dilihat dari diadakannya ritual yang sangat meriah, hingga ritual yang paling sederhana. “Budaya masyarakat sudah sangat kompleks. Bagaimana memaknai kematian itu juga terhubung dengan bagaimana cara pandang masyarakat melihat dalam kematian itu,” ungkapnya.

Tri menambahkan bahwa ritual disini juga memunculkan beberapa aspek tertentu. Yang pertama, ritual bisa memperlihatkan bagaimana kematian itu dimaknai, umumnya kematian dimaknai sebagai perpindahan dari alam sehari-hari ke alam keabadian. Aspek kedua yang bisa dimunculkan yaitu bagaimana mengantarkan tubuh kembali kepada unsur-unsurnya. Dari aspek-aspek inilah kemudian tempat kebudayaan diletakkan. Hal tersebut dikarenakan, arti dari kebudayaan yang diciptakan manusia berasal dari kebiasaan dan ritual yang sangat rumit tersebut.

Tak hanya itu, Tri juga meninjau kematian dari cara pandang yang ada dalam masyarakat, erat kaitannya dengan keyakinan dan budaya yang ada dalam masyarakat. Contohnya saja, dalam kebudayaan Jawa pandangan terhadap kematian berhubungan dengan fosmologi atau pengetahuan mereka tentang semesta. Landasan yang mereka gunakan juga banyak tertuang dalam sastra, misalnya saja sastra yang ditulis oleh Ki Ronggo Warsito tentang Wirid Hidayat Jati. “Dia (baca: Ki Ronggo Warsito) melihat unsur-unsur tubuh manusia itu berasal dari alam yaitu berupa api, tanah, air, dan angin. Sehingga, ketika tubuh ini meninggal maka dia akan diupacarakan agar kembali pada unsur-unsurnya,” paparnya.

Sementara itu, kematian jika ditinjau dari segi keyakinan, erat hubungannya dengan agama. Posisi agama disini adalah sebagai harapan akan adanya kehidupan yang kekal setelah terjadinya kematian. “Agama disini memberikan harapan, sebuah janji akan keselamatan dan kehidupan yang abadi dan kehidupan abadi itu adalah kehidupan ketika kematian terjadi,” jelas Tri.

Tri juga menyoroti implikasi dari hal tersebut yang bisa dilihat dari bagaimana jenazah tersebut diperlakukan. “Misalnya saja, kalau muslim kan dipocong dengan beberapa ikatan dan nantinya ikatan tersebut akan dilepas dikuburan. Dan kalau orang Kristen, jenazah itu dirias seperti halnya orang yang sedang menuju ke sebuah pesta atau perjamuan.” ungkapnya.

Kematian dalam Sudut Pandang Sosial-Politik dan Ekonomi

Delta selaku anggota dari Kurator Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian serta dosen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga menjelaskan bahwa dimasa sekarang ini, kematian juga bisa dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan. Keuntungan tersebut bisa dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan politik.

Delta memaparkan bahwa secara ekonomi, kematian bisa mendatangkan keuntungan. Keuntungan itu bisa didapat dengan pola pikir bahwa populasi manusia terus bertambah dan manusia pastinya akan mati. Dari banyaknya populasi tersebut, maka lahan yang ada juga akan semakin berkurang. Sehingga, orang-orang akan membuat semacam San Diego Hills. Itulah yang secara ekonomi bisa sangat menguntungkan.

Secara sosial, kaitannya juga dengan politik. Bagaimana kemudian keberadaan seseorang itu bisa memiliki makna dan bagi orang lain itu menguntungkan. “Masa sebelum mati itu masa sosial dan bisa berpotensial untuk jadi tempat masuknya kepentingan politis seperti itu,” ungkapnya.

Kematian Pada Masa Pandemi Covid-19

Tri disini menjelaskan bahwa bagaimana kemudian pandemi Covid-19 ini memunculkan suatu stigma sosial. Hal tersebut bisa dilihat dari warga di beberapa daerah yang menolak untuk melakukan pemakaman jenazah karena takut terkontaminasi virus Covid-19. Hal tersebut juga didukung dengan adanya protokol kesehatan ketat yang mengisolasi jenazah dari relasi sosial.

Tri juga menyoroti implikasi yang terjadi dari hal ini, Salah satunya yaitu ditinjau dari aspek psikologis bahwa orang menjadi tidak bisa untuk melepaskan kedukaan atau ratapan. Hal tersebut kemudian mengakibatkan dukacita yang seharusnya terjadi menjadi kesepian yang menggantung serta menyebabkan kesedihan yang tidak tuntas atau bahkan bisa menimbulkan depresi.

Penulis: Ernanda Hajar Setyawati

Editor: Nadya Rajagukguk