Menyikapi masalah ketidakseimbangan lingkungan akibat krisis iklim, HIMASIERA Institut Pertanian Bogor mengadakan webinar bertajuk Save Our Environment for The Sustainability of The Earth (06/03). Pihak HIMASERA mengajak kita berdiskusi tentang perilaku apa yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan dan bagaimana kita sebagai manusia untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.

Dalam diskusinya, Erica Mutiara Fatimah selaku moderator memperkenalkan dua pemateri yang akan membagikan ilmunya. Pertama ada perwakilan dari Teens Go Green Indonesia, Adnindya Krismahardi dan Dhita Mutiara Nabella sebagai founder dari Cerita Iklim.

Membuka pembahasannya, Krisma menyebutkan bahwa populasi manusia di bumi akan semakin meningkat dan mempengaruhi keseimbangan lingkungan. “Pada tahun 2030 diperkirakan dapat mencapai 8,5 miliar penduduk. Seiring meningkatnya populasi, maka tingkat kebutuhan akan SDA juga meningkat dan berpotensi menyebabkan eksploitasi besar-besaran,” ujarnya.

Menyoroti juga tentang emisi karbon yang berkaitan dengan karhutla, polusi udara, dan sampah. Krisma menyebutkan, Indonesia di sektor kehutanan memakan emisi karbon paling tinggi dibandingkan sektor lainnya. Emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sepanjang 2015-2019 setara dengan 110 PLTU batu bara atau 91 juta mobil. “Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, dan tidak ada upaya untuk mengurangi atau menghilangkan konversi hutan ini, maka diperkirakan hutan yang ada di dunia akan hilang kurang dari 100 tahun lagi” tuturnya.

Kondisi kualitas udara di Jakarta dan Indonesia yang menjadi penyumbang sampah terbesar kedua dunia. Krisma menyebutkan pada awal pandemi, produksi rata-rata CO2 harian turun 17% dibanding tahun sebelumnya. Tapi nyatanya apa yang tercatat di awal pandemi tak berlangsung lama, hal tersebut hanya berlaku 11 hari Indonesia dengan kategori udara sehat.

Disamping itu, Krisma menyampaikan bahwa penduduk elite dunia merupakan penyumbang emisi karbon dengan jumlah dua kali lipat penduduk sederhana. Perlu diketahui bahwa 1% orang terkaya dunia itu menghasilkan emisi karbon dua kali lebih besar dari 3,1 miliar orang dan 10% orang terkaya di dunia (630 juta), harus bertanggung jawab atas sekitar 52% emisi global selama periode 25 tahun. Namun atas dasar itu, Krisma menggugatnya, sebab mengurangi kerusakan lingkungan berarti juga menekan kesejahteraan dan perekonomian.

“Apakah hanya mereka saja yang harus bertanggung jawab? Hal ini masih jadi perdebatan, karena negara-negara masih menginginkan perekonomiannya naik, tapi meningkatkan ekonomi ternyata harus merugikan lingkungan. Yang mana asumsinya jika kita mengurangi kerusakan lingkungan atau mengurangi tingkat produksi yang menghasilkan karbon maka itu mengurangi pertumbuhan ekonomi. Padahal sekarang sudah ada yang dinamakan ekonomi hijau, juga ekonomi biru. Dan ketika kita mengurangi pertumbuhan ekonomi itu berarti mengurangi kemakmuran dan kesejahteraan. Padahal disisi lain ketika kita sejahtera tetapi lingkungan kita rusak maka kita tidak jadi sejahtera karena kekayaan yang kita punya habis untuk memperbaiki asset kita akibat kerusakan lingkungan,” tandasnya.

Untuk mengatasi krisis iklim, dibutuhkan suatu upaya penanganan. Penanganan pertama yang bisa kita lakukan yaitu mitigasi. “Mitigasi ini merupakan upaya yang bisa kita lakukan saat ini untuk memperlambat proses perubahan iklim di bumi kita saat ini dengan cara mengurangi level-level atau gas-gas yang kita hasilkan setiap hari,” jelas Krisma.

Menggunakan sustainable transportation atau transportasi umum, juga menghemat energi. Lalu, melakukan adaptasi, yang berarti mengembangkan berbagai cara untuk melindungi manusia dan ruang dengan mengurangi kerentanan kita terhadap perubahan iklim. “Banyak hal yang bisa kita lakukan misalnya kita dapat membangun sistem penanganan banjir, peningkatan infrastruktur untuk kesejahteraan manusia, kemudian dengan manajemen bencana, dan lainnya” pungkasnya.

Disisi lain, Dhita Mutiara Nabella selaku founder dari Cerita Iklim berbagi ilmu tentang krisis iklim, juga kebijakan lingkungan guna mengurangi emisi karbon. Dhita menggunakan buku Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) 2021 sebagai bahan utama pembahasannya.

Dhita membuka pembahasan dengan mengambil empat poin penting dari laporan IPCC. Pertama, aktivitas manusia memiliki peranan signifikan terhadap perubahan iklim. Dhita menjelaskan bahwa beberapa negara masih denial dengan hal ini dimana mereka masih beranggapan bahwa alam lebih berperan lebih besar dibanding kegiatan manusia.

Kedua, interaksi manusia-alam dan manusia-manusia sudah melebihi batasan. Bumi kita memiliki yang namanya carrying capacity yaitu kemampuan bumi untuk memenuhi kebutuhan makhluk di dalamnya. Menurut Dhita, hal ini juga bisa menjadi argumen mengapa ibu kota negara Indonesia pindah dari Jakarta ke Kalimantan. “Kalau dari sisi pro, karena di Jakarta ini dia sudah melebihi carrying capacity-nya. Urban development di kita, khususnya di Jakarta sudah sporadis dimana lahannya sudah tidak bisa lagi menampung masyarakat urban yang terus meningkat, sehingga pada akhirnya ibu kota negara ini pindah ke Kalimantan juga dengan beberapa pertimbangan lainnya” tutur Dhita.

Ketiga, terdapat 5 skenario masa depan dengan perkiraan peningkatan temperatur bumi hingga 5,7 derajat celcius. Dhita menjelaskan kalau kita tidak berbuat apapun untuk iklim, skenario terburuknya diperkirakan dapat terjadi peningkatan temperatur bumi hingga 5,7 derajat Celsius, padahal makhluk hidup tidak akan bisa bertahan di suhu tersebut. “Yang hidup di dunia ini bukan hanya kita (manusia), tetapi juga ada hewan juga tumbuhan, dan mereka memiliki range hidup di derajat tertentu, dan apabila mereka mati, atau tidak bisa bertahan itu akan berpengaruh dengan rantai makanan dan hal lainnya,” ujar Dhita menerangkan bahwa penambahan suhu bumi tidak bisa disepelekan. Dan yang terakhir yaitu frekuensi dan intensitas bencana akan menjadi lebih sering.

Selanjutnya Dhita juga membahas pembenturan antara pembangunan ekonomi dengan kelestartian alam. Pembangunan ekonomi sering kali dikaitkan dengan penghasilan emisi karbon yang dapat mengganggu kelesatarian alam. Maka dari itu terdapat dua macam arus kebijakan lingkungan yang berhubungan dan umumnya di bicarakan, yaitu sustainable development dan juga ecological modernization.

Ecological modernization sebagai dasar dari kebijakan lingkungan. Ecological modernization ini percaya bahwa kebijakan yang diambil ini bisa mengkombinasikan antara pembangunan dan juga lingkungan, sehingga bisa menghasilkan dampak positif antara ekonomi dan juga ekologi. Dibandingkan melihat bahwa proteksi lingkungan akan menghambat pertumbuhan ekonomi, Ecological modernization justru melihat bahwa itu bisa memperkuat atau dapat memberi pengaruh positif terhadap efisiensi dari ekonomi dan juga inovasi teknologi. Mereka percaya bahwa ekonomi dan lingkungan bisa berjalan dengan sinergis.

Namun nyatanya, Ecological Modernization tidak sepenuhnya diterima. Terdapat kritik juga bahwa ecological modernization merupakan kapitalisme yang dibungkus secara hijau “Ecological modernization basically as a form of green capitalism” (Connelly and Smith, 1999). Hal ini memunculkan hal baru yang bernama Degrowth. Berbeda dengan kebijakan Ecological Modernization, degrowth berusaha menurunkan emisi secara radikal. Dhita menjelasakan bahwa konsep degrowth memandang bahwa jika ingin menurunkan emisi karbon maka pada akhirnya hal yang harus dilakukan adalah dengan mengurangi jumlah produksi.

Mengenai sustainable development sebagai salah satu kesepakatan secara internasional untuk mencapai goals mereka. Di Indonesia sendiri, BAPPENAS telah meluncurkan The Law Carbon Development (LCD) yang bertujuan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca. LCDI merupakan proses untuk mengidentifikasi kebijakan pembangunan yang menjaga pertumbuhan ekonomi, meringankan kemiskinan, dan membantu mencapai target pembangunan di tingkat sektor, sekaligus membantu Indonesia menangani perubahan iklim, serta melestarikan dan meningkatkan sumber daya alam negara.

Terdapat juga beberapa kebijakan mengenai kebijakan rendah karbon di Indonesia yang disampaikan dalam pemaparan materi oleh Dhita. Diantaranya, memajukan transisi ke sumber energi terbarukan dan menjauhi batubara, peningkatan efisiensi energi, penegakan penuh hutan, kelapa sawit, pertambangan dan moratorium lahan gambut. Mematuhi target berkomitmen dalam air, perikanan, dan keanekaragaman hayati, serta peningkatan produktivitas lahan sebesar 4% per tahun.

Terakhir pembahasan ditutup dengan bagaimana kita bisa meningkatkan kesadaran akan krisis iklim. “Hal yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kesadaran kita diantaranya seperti dengan membunyikan alarm iklim dan menyebarkan rasa urgensi, bergabung dengan kelompok iklim dan terlibat dalam aksi iklim, menjadi aktivis iklim yang kreatif, bersemangat, dan suportif, mengurangi emisi dengan senang hati, juga dengan mendukung pembuat kebijakan dan kebijakan untuk aksi iklim yang cepat dan perubahan sistemik.” terang Dhita.

 

Penulis: Vida Salma

Editor: Ilham Laila