Reporter: Dinda Indah Asmara
Malang, dianns.org – Selama tiga puluh dua tahun Orde Baru (Orba) berkuasa, kerap terjadi pengekangan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bukti dari pengekangan di masa itu adalah terjadinya pemberedelan terhadap pers. Majalah Tempo, Editor, dan Detik merupakan sejumlah media massa yang pernah diberedel pada rezim otoriter Soeharto. Alasan pemberedelan adalah kritik yang dilayangkan oleh beberapa media massa tersebut dianggap menyudutkan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Kini, pasca tujuh belas tahun runtuhnya Orba, pengekangan terhadap kebebasan berpendapat masih terjadi. Salah satu kasusnya adalah pemecatan Ronny Setiawan, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jurusan Pendidikan Kimia. Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNJ tersebut dipecat pada 4 Januari 2016 karena dianggap telah melakukan tindak kejahatan berbasis teknologi dan pengahasutan yang dapat mengganggu ketenteraman. Dua hari kemudian, 6 Januari 2016, kasus Ronny telah selesai setelah dilakukan rekonsiliasi dengan damai. Namun, ternyata masih ada masalah serupa di UNJ. Masalah ini menimpa empat orang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS): Andhika Baehaqi, Jati Aprilianto, Ahmad Firdaus, dan Yusuf Saputra. Mereka terancam dipidanakan oleh rektor dengan tuduhan pencemaran nama baik. Seperti dikutip pada pemberitaan didaktikaunj.com pada 8 Januari 2016, ancaman tersebut dilayangkan pasca mereka menolak untuk memohon maaf kepada rektor.
Dikutip dari press release Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu yang dimuat dalam laman facebook BEM UNJ tertanggal 5 Januari 2016, masalah ini diawali dengan aksi demonstrasi mahasiswa FMIPA UNJ pada 23 Desember 2015. Demo tersebut dilakukan guna menolak pemindahan FMIPA dari Kampus B ke Kampus A karena fasilitas penunjang dan akademik kurang memadai. Kejadian ini mengundang banyak komentar, baik berupa tulisan anonim maupun beridentitas serta pelbagai postingan dan broadcast di media sosial. Komentar-komentar tersebut mengkritik rektor terkait pelbagai permasalahan di UNJ, seperti: keamanan parkir, Uang Kuliah Tunggal (UKT), Kuliah Kerja Nyata/Kuliah Kerja Lapangan (KKN/KKL), pemutusan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan Bidik Misi, perubahan BEM fakultas menjadi BEM prodi yang terkesan dipaksakan, dan kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen FIS terhadap mahasiswinya. Green Force (tim aksi) UNJ berinisiatif melakukan diskusi dan menentukan isu-isu strategis yang perlu dikawal ke depan untuk meredam berbagai tulisan yang beredar. Diskusi ini mendapatkan intervensi dari pihak universitas dengan memberikan undangan pertemuan antara pihak dekanat dan mahasiswa secara mendadak pada tanggal 28 Oktober 2015. Namun diskusi tetap digelar pada hari yang sama dengan dihadiri 350 mahasiswa UNJ. Dalam diskusi tersebut, mahasiswa UNJ sepakat untuk membentuk Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu. Berselang dua hari, Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu membuat surat permohonan audiensi kepada rektor. Surat permohonan ini tidak mendapatkan respon dari rektor. Justru, Ronny mendapatkan surat pemanggilan orang tua pada 4 Januari 2015 yang berbuah Surat Keputusan drop out (SK DO) keesokan harinya.
Tak berselang lama, yaitu 6 Januari 2015 dilakukan rekonsiliasi secara damai dengan dimediasi oleh Ikatan Alumni UNJ. Rekonsiliasi ini berjalan dengan lancar dan SK Ronny dicabut. Alasan pencabutan tersebut adalah rektor UNJ dianggap hanya mengalami salah paham. Meski begitu, SK Ronny dicabut dengan beberapa syarat. Pertama, BEM harus melakukan penarikan dan konfirmasi terhadap berita-berita di media yang mengandung fitnah dan bisa menyebabkan multitafsir. Kedua, pelbagai masalah di UNJ akan diselesaikan dengan musyawarah mufakat antara BEM dengan pihak pimpinan UNJ. Ketiga, BEM dan pihak pimpinan UNJ akan bekerja sama untuk menciptakan suasana kampus yang sejuk dan kondusif. Malalui wawancara yang LPM DIANNS lakukan via telepon pada tanggal 7 Januari 2015, Ronny mengungkapkan bahwa SK pemecatan dirinya cacat hukum dan tidak jelas. “SK pemecatan tersebut tidak berdasar. Jika misalnya saya memang melanggar kode etik, maka itu diluar kuasa rektor tetapi itu kuasa pengadilan,” tutur Ronny.
Pasca penyelesaian kasus Ronny, empat orang mahasiswa FIS UNJ terancam dipidana. Mereka adalah Andhika Baehaqi, Jati Aprilianto, Ahmad Firdaus, dan Yusuf Saputra. Andhika Behaqi, dan Ahmad Firdaus. Keempatnya merupakan mahasiswa yang aktif bersuara membela hak-hak mahasiswa. Dikutip dari berita yang dimuat LPM Didaktika berjudul Dua Mahasiswa FIS Terancam Dipidanakan dan Lagi, Dua Mahasiswa FIS Terancam Pidana, rektor menuntut agar keempat mahasiswa FIS tersebut bersedia meminta maaf padanya dengan ancaman akan melaporkan mereka ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik. Di sisi lain, keempat mahasiswa ini menolak karena mereka merasa tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan oleh rektor UNJ. Namun hingga berita ini ditulis, keempat orang tersebut masih belum berhasil dihubungi oleh LPM DIANNS.