Kata pers seakan menjadi pedang bagi beberapa pemilik negeri. Pers bagaikan kerikil yang menghambat jalannya roda pemerintahan. Tanggal 9 Februari menjadi kelahiran pers palsu yang digemakan ke seluruh negeri. Mereka semua bersorak, merasa kebebasan berekspresi telah dilahirkan kembali. Tetapi apa yang harus dibahagiakan? Apa yang harus dirayakan dari sebuah selebrasi palsu ciptaan penguasa negeri. Perpaduan kepentingan dan korporasi melahirkan hari hitam, bukan hari bahagia milik kawan pers.
Pers otoritarian, mungkin lebih tepat untuk menggambarkan keadaan kawan pers di era sebelum reformasi. Fungsi pers jauh dari kontrol sosial dan mengarah kepada fungsi penyebaran kebaikan pemerintah.
Salah satu kawan pers saat itu, Ging Ginanjar, merupakan wartawan dengan keberanian dalam mengkritisi jalannya pemerintahan. Semangatnya tidak padam, meski ancaman pidana sering didapati pada saat bekerja dengan penanya. Suaranya gerilya dan semangatnya masih bias dirasakan. Tepat saat Kongres Rakyat Indonesia berjalan, Ging Ginanjar merasakan palu pengadilan. Keputusan bersalah yang tidak masuk akal dialami, puncak dari kriminalisasi yang dialami hingga menuju jeruji besi. Satu hari setelah runtuhnya orde baru, dia dibebaskan.
Aristides Kattopo yang dengan gagahnya tanding melawan rezim pemerintahan yang kejam, diasingkan karena membuat panas telinga penguasa akibat artikel yang diterbitkan. Namanya seakan menjadi momok, hingga kebebasannya berekspresi dibatasi. Lantas, dimana lagi tempat, bagi kawan pers ketika kebebasannya dikorupsi? Bukankah kemerdekaan yang sesungguhnya bagi kawan pers adalah kebebasan berekspresi yang tetap beretika dan sesuai dengan undang-undang?
“ Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun.” Begitulah isi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. Runtuhnya Orde Lama sama saja berimbas keluarnya pers dari genggaman kebijakan menuju genggaman Departemen Penerangan. Namun, keduanya sama saja karena tidak ada yang bisa menjadi landasan kepercayaan bagi kawan pers. Pemaknaan undang – undang tidak lagi sama. Undang- undang seakan alat untuk menarik simpati kawan media terhadap petinggi negara. Undang- udang seakan menjadi suap untuk kawan media agar lebih bijak dalam mengkritisi apa yang terjadi dalam roda pemerintahan. Bijak disini pun masih ada batasnya, bijak dalam berekspresi sesuai dengan harapan kaum elit. Undang- undang bersyarat, mempermudah segala urusan penguasa.
Tidak hanya berhenti disitu, undang-undang seakan menjadi buku dongeng pemerintah untuk rakyat agar tetap berimajinasi bahwa kebebasan berbicara masih ada, suara rakyat tidak dibungkam, dan negara berdiri atas dasar suara rakyat. Saya rasa begitulah pemaknaan undang-undang pers di masa sebelum reformasi. Bahkan sepertinya, hadiah reformasi berupa penghapusan hukuman pidana bagi kawan pers sepertinya tidak cukup menghentikan pemerintah dalam memberi hukuman atas pena yang diterbitkan kepada masyarakat.
Kriminalisasi Kebebasan Pers di Indonesia
Kebebasan dikorupsi, sepertinya merupakan diksi yang lumayan tepat untuk menggambarkan kemerdekaan pers di Indonesia. Pers seakan bayangan, tanpa penampakan yang kehadirannya tidak diinginkan oleh pihak manapun. Pena kawan pers dianggap ancaman bagi keseimbangan seluruh negeri. Tuntutan tak berdasar dan jeratan beribu pasal karet kerap mendatangi kawan pers sebagai hukuman atas kebenaran yang diberitakan. Dandhy Laksono adalah seorang jurnalis yang pernah memberitakan kasus di tanah Papua. Tanah yang masih minim media dan dekat dengan kasus diskriminasi.
Era Reformasi tidak memberikan bukti bagi kawan pers untuk bebas. Pernyataan kebenaran kepada publik mengenai Papua oleh Dandhy Laksono, menjerumuskannya dalam jeratan pasal tidak masuk akal. Ia dianggap melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia dijerat pasal karet dengan ancaman jeruji besi. Pasal tersebut juga dapat menghambat kebebasan pers dalam memberitakan isu sensitif di Indonesia. Padahal tidak seharusnya kawan pers terbelenggu oleh pasal karet yang ada dalam Undang-Undang ITE.
Kemudian, jika beberapa kawan pers mengalami ketidakbebasan dalam berekspresi, kawan pers mahasiswa kerap mengalami sinisme setiap beraktivitas sebagai pers muda di lingkungan kampus. Sinisme yang didapat kawan pers mahasiswa biasanya berupa terbatasnya akses informasi yang diberikan oleh kampus, seperti beberapa kasus yang dialami oleh pers mahasiswa. Pers mahasiswa Suara USU misalnya, terkena pembubaran akibat mengangkat cerpen bertemakan lesbian. Bentuk pembubaran pengurus pers mahasiswa Suara USU tanpa melakukan tindakan pembinaan terlebih dahulu. Pada akhirnya, kawan pers harus berjuang untuk mendapatkan haknya kembali, hak untuk berekspresi.
Nyatanya, segala hal tentang era reformasi yang memberikan kebebasan bagi pers untuk berekspresi tetaplah menjadi mimpi. Hanya kemerdekaan bersyarat, kemerdekaan yang disetujui pemerintah kepada kawan pers, kebebasan yang sesuai dengan kemauan penguasa, dan kebebasan yang dikekang dengan Undang-Undang tanpa ujung. Satu pasal tidak berlaku, maka tuntutan pasal lain akan menjerat kawan pers kepada jeruji besi milik penguasa negeri.
Mencari Makna Merdeka Kawan Pers
Memaknai kata merdeka, begitu sulit saya lakukan, terutama mengenai kemerdekaan pers. Entah saya yang gagal memaknai atau negeri ini yang gagal memberikan saya bukti dan pemahaman mengenai kemerdekaan pers. Hanya saja, saya pernah mendengar, kemerdekaan pers yang sesungguhnya ialah kebebasan berekspresi yang tetap beretika dan sesuai dengan Undang-Undang. Kemudian, saya gagal memahami Undang-Undang yang kini banyak disalahgunakan untuk menjerat pemberitaan.
Sebagaimana keterangan LBH Pers, tanggal 9 Februari 2022 menjadi pengingat bagi kawan pers untuk merefleksikan masa habis MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri terkait koordinasi dalam melindungi kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan dan Inisiasi Revisi UU ITE. Perlunya perpanjangan masa MoU tentu bertujuan untuk mengurangi kriminalisasi kawan pers di Indonesia.
Jika secara teoritis dijelaskan oleh Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm melalui buku Four Theories of The Press, yang menyatakan bahwa pers sebagai pilar keempat dalam teori “trias politica” yang memerlukan kontrol sosial dalam menjalankan kebijakannya. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1) Tentang Pers menyatakan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Tetapi, sebagaimana yang kita tahu, fungsi pers sebagai kontrol sosial dirasa mengancam kebebasan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan masih jauh dari kata bebas.
Kita semua sudah seharusnya merefleksikan kembali mengenai fungsi pers yang sesungguhnya. Kriminalisasi kebebasan pers yang masih kerap terjadi, menjadi bukti bahwa pemerintah masih berusaha membatasi hak kawan pers di Indonesia. Pers sudah seharusnya menjadi kontrol sosial yang tidak dialihfungsikan sebagai pers otoritarian. Hari Pers Nasional sudah seharusnya diperingati sebagai hari kegagalan pemerintah Indonesia mewujudkan kemerdekaan bagi kawan pers, bukan sebagai perayaan atas kemerdekaan bersyarat yang konon katanya selama ini telah diwujudkan oleh reformasi. Kata “merdeka” masih jauh dari pena kawan pers di Indonesia.
Penulis: Anggita Hajar Ainayya
Editor: Benediktus Brian Iubilio
Ilustrator: Bintang Dwi