Sebagai bentuk penyambutan bulan Kartini, Jaringan GUSDURian Indonesia mengadakan webinar bertema “Kartini Merawat Bumi” pada Jum’at (02/04). Film “Our Mother Land” karya Febriana Firdaus yang di produseri oleh The Gecko Project dan Mongabay digunakan sebagai fokus pembahasannya.
Diskusi dalam webinar ini diawali dengan penayangan film “Our Mother Land”. Film ini bercerita tentang perempuan yang mengorganisir serta memimpin suatu gerakan. Gerakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan tanah dan kelestarian lingkungan dari para pemodal.
Film ini memuat perjalanan Febriana Firdaus, seorang jurnalis independen. Febriana menceritakan perjuangan perempuan di beberapa wilayah konflik yang dihadapkan dengan kekerasan, ancaman penahanan, dan kematian. Ia menyusuri pelosok nusantara, menemui perempuan-perempuan tangguh yang berhasil menembus tembok patriarki.
Bermula pada perjalanan ke Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Febriana menjumpai sembilan Kartini Kendeng yang menyemen kaki sebagai bentuk perlawanan terhadap ancaman pabrik semen. Lalu, menuju Pegunungan Timor, NTT. Ia menemui Mama Lodia Oematan dan mama-mama lain yang menenun di atas batu untuk menghalau pertambangan. Kemudian, ia pergi ke Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah, untuk menemui sosok pemberani Eva Bande yang mengorganisir petani melawan perkebunan sawit hingga berakhir di jeruji besi. Perjalananan Febriana berakhir di Banda Aceh. Ia bertemu dengan Farwiza, perempuan aceh yang tiada henti memperjuangkan kelestarian hutan di Taman Nasional Leuser dari ancaman perusakan hutan.
Hadir dalam webinar ini, Febriana Firdaus turut menjelaskan tiga latar belakang pembuatan film ini. Pertama, ia menyampaikan kekagumannya secara pribadi terhadap sembilan Kartini Kendeng. Sebab secara ekstrem, bentuk penolakan eksploitasi pabrik semen dilakukan dengan menyemen kaki. “Saya tidak pernah melihat intensitas masyarakat sampai menyemen kaki, itu bagi saya seperti culture shock. Namun, di sisi lain saya kagum dengan perjuangan perempuan di garda depan ini,” ungkapnya.
Kedua, yaitu dampak yang ditimbulkan sangat dirasakan oleh perempuan. Karena perempuan adalah yang pertama kali merasakan dampak yang ditimbulkan oleh lingkungan terhadap kehidupan sehari-hari. “Perempuan kan bangun pertama kali, terus masak air, mandiin anaknya, dan bikin kopi. Dia yang merasakan krisis itu pertama kali karena itu kehidupan sehari hari dia,” ujar Febriana yang berpikir bahwa isu ini harus diangkat.
Ketiga, penyampaian melalui film dokumenter akan lebih mudah dipahami daripada melalui artikel. “Saya sadar akan lebih mudah menyampaikan ini dalam film dokumenter daripada menyuruh orang-orang untuk membaca artikel saya yang panjang-panjang,” terang Febriana mempertegas latar belakang pembuatan film.
Febriana menambahkan bahwa film ini mampu diterima baik oleh perempuan dan laki-laki. Menurutnya, penyampaian pesan melalui film lebih gamblang. “Saya sangat senang atas apresiasi baik dari sesama perempuan maupun laki-laki, dari segi perempuan jadi bisa merasakan rasa senasib seperjuangan dan dari laki-laki juga bisa jadi ngerti kenapa ibu-ibu ini ngotot buat berjuang,” tuturnya.
Eko Tri Paripurno, Dosen di UPN Veteran Yogyakarta, berpendapat mengenai perempuan yang menjaga lingkungan. Baginya di belakang laki-laki yang hebat terdapat perempuan yang kuat, demikian sebaliknya. Eko menegaskan bahwa secara gender, laki-laki dan perempuan itu tidak dapat dibedakan. Tidak sepatutnya menonjolkan satu gender saja. “Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan itu ‘bareng’ sehingga tidak bisa saling dipisah-pisahkan,” ungkapnya.
Menutup pembahasannya, Eko sangat hormat dan peduli terhadap perjuangan sembilan Kartini Kendeng yang menjaga Pegunungan Kendeng atas ekploitasi pabrik semen. “Saya bersyukur bisa mengenal perempuan kendeng yang berjuang hingga bisa mencegah pembuatan pabrik semen yang bisa saja berdampak terhadap lingkungannya,” pungkasnya.
Penulis: Bagus Widyo Utomo
Editor: Rama Yusuf
Foto: YouTube/The Gecko Project