Menggali lebih dalam mengenai hakikat sekolah, Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) mengadakan webinar bertema ‘Hidup untuk Sekolah atau Sekolah untuk Hidup’ (07/03). Dalam fokus pembahasannya, mereka menggunakan buku berjudul ‘Sekolah itu Candu’ yang ditulis oleh Roem Topatimasang sebagai bahan diskusi. Khususnya bab pertama dan kedua tentang refleksi sejarah dan hakikat sekolah.
Ellen Nugroho, anggota PHI sekaligus moderator, mengawali diskusi dengan memaparkan hasil riset Roem tentang akar kata sekolah. “Sekolah berasal dari bahasa latin skhole, scola, schola yang berarti waktu senggang atau waktu luang,” ungkapnya. Hal ini merujuk pada kebiasaan orang Yunani Kuno yang mempunyai banyak waktu luang. Lalu mereka mengisinya dengan mengunjungi tempat atau tokoh untuk mempelajari setiap hal yang mereka ingin ketahui.
Seiring berjalannya waktu, hakikat tersebut mengalami perubahan. Sekolah dikenal sebagai scola materna – pengasuhan oleh ibu. Hingga akhirnya sekolah bergeser menjadi scola in loco parentis – pengasuhan oleh lembaga formal yang kaku dengan segala atributnya seperti seragam, jam belajar, dan kurikulum. “Seluruh atributnya yang resmi dan mapan selama ini boleh tetap ada, boleh saja diubah, boleh juga tidak ada, bahkan boleh ditiadakan” ujar Ellen mengkritisi bentuk formal sekolah sebagai lembaga.
Hal senada diungkap oleh Novian Widiadharma, dosen filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menggunakan perspektif paradoks, Novian menyorot kontradiksi pendidikan hari ini. Kerja pendidikan yang mesti berfokus pada perubahan masyarakat, kini direduksi oleh tuntutan standar formalitas sekolah yang semakin rigid sehingga mempersempit kebebasan belajar bagi subjek belajar.
“Birokrasi dan aturan itu perlu, namun yang dibutuhkan adalah yang mendukung meningkatnya kualitas dan potensi dari manusianya yang berarti membutuhkan birokrat yang paham esensi pendidikan,” terangnya.
Turut meninjau sejarah dan riwayat kelembagaan sekolah dari sudut pandang sosiologis hadir Lucia Ratih Kusumadewi, dosen Sosiologi Universitas Indonesia di webinar ini. Dalam konteks pendidikan, Ratih menyatakan looks possible and not impossible bahwa pendidikan secara sosiologis termasuk dalam perspektif struktural-fungsional yakni pendidikan adalah sebuah institusi sosial yang memiliki fungsi untuk mempertahankan society. Dalam pengertian, sekolah berfungsi mensosialisasikan nilai-nilai yang dianggap perlu dalam masyarakat, melakukan inovasi kultural, integrasi sosial, dan social placement. Hal ini bertujuan menciptakan tatanan masyarakat yang stabil. Namun atas dasar itu, Ratih menggungatnya. Sebab dalam prespektif tersebut, sekolah tidak dapat menciptakan nilai kreatifitas dan kritis.
“Saya pribadi sebagai sosiolog kurang tertarik dengan aliran itu, termasuk kebijakan ‘Merdeka Belajar’ yang termasuk perspektif struktural-fungsional dan menurut saya memperlihatkan bahwa sebenarnya hanya sebuah jargon dan dalam jargon terdapat ideologi” tandasnya.
Selain itu, Ratih menjelaskan konsekuensi logis atas buruknya hakikat sekolah sebagai lembaga yaitu marginalisasi dalam lingkup sekolah. Menurutnya, perihal kesempatan, fasilitas yang mendukung, dan rasa nyaman bersekolah hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya. Sedangkan orang miskin, tidak. Begitu dengan soal aturan-aturan baku dalam lembaga sekolah. Subjek belajar mesti mematuhinya. Jika tidak mematuhi, mereka akan disanksi. Bahkan mereka kerap kali digunjing dan dibuang. Bagi Rati, itu merupakan bentuk marginalisasi yang dilakukan oleh pihak sekolah kepada mereka yang tidak memenuhi standar baik dalam sekolah.
“Orang-orang miskin seakan-akan bersekolah, namun di sekolah tidak mendapat apa-apa karena fasilitas tidak lengkap, mendapat nilai jelek dikucilkan, anak perempuan miskin yang hamil ketika masih sekolah dilabeli badung, bahkan dikeluarkan dari sekolah,” ungkapnya.
Mengakhiri pembahasan marginalisasi dalam lingkup sekolah, Ratih mengutip pernyataan Ivan Illich, school is the advertising agency which makes you believe that you need the society as it is, dalam buku berjudul Deschooling Society. Ia menegaskan bahwa lembaga sekolah adalah praktik transaksional yang tidak berpihak pada dimensi keingintahuan subjek belajar terhadap kehendaknya. Subjek belajar hanya dicekoki kepentingan lembaga semata.
“Belajar dan sekolah adalah sebuah bentuk dari komodifikasi atau memperjualbelikan semua hal, termasuk benda, ide, dan ideologi. Tidak hanya pendidikan, namun juga agama. Kebahagiaan belajar di sekolah itu dihapuskan dengan indeks konsumen. Adanya standar evaluasi dari masyarakat yang apabila tidak memenuhi maka dianggap tidak layak, berkualitas buruk,” pungkasnya.
Penulis : Ilham Laila
Editor : Nadya Rajagukguk