The President

Mohammad Sobary

Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

2018

404 halaman

ISBN: 978-602-481-031-3

Ada pemimpin yang berjanji, ada pula yang mengingkari. Ada yang mengaku sebagai kawan, tetapi hanya menyangkutkan kita pada ambisi egonya. Beberapa pihak sibuk menentang, sedangkan beberapa lainnya diam menyiapkan perlawanan. Beberapa pihak sibuk menyiapkan barisan dan menjadi garda terdepan, sedangkan yang lainnya diam-diam menyusup dengan bom waktu. Politik bukanlah menjadi semakin gila, melainkan permainannya. Mohammad Sobary mengangkat permainan politik bangsa lewat fiksi bertajuk The President.

“Politik Indonesia makin lama makin mirip “lakon dari alam gaib” yang dimainkan di dunia nyata. Bohong, fitnah, iri, dan dengki yang berasal dari kegelapan jiwa sang tokoh yang serakah dan ambisius sudah menjadi warna politik yang bersifat realis. Kebenaran ideologis yang belum teruji –bahkan dimana-mana sudah ditolak— dipaksakan menjadi kebenaran politik yang dianggap lebih realis daripada semua realis. Sementara itu kutipan dari sebuah renungan fiksi dianggap ramalan masa depan yang suram.”

The President menjadi karya pertama Mohammad Sobary yang saya baca. Novel ini mengangkat isu politik yang dilekatkan dengan filosofi kehidupan Bangsa Indonesia. Penggambaran tokoh Presiden sebagai tokoh utama novel seperti Widura, salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan sosok yang bijak kepada keluarga, ahli politik, dan strategi. Ia memerangi tanpa peperangan, tutup mata, tutup telinga, tutup hidung tetapi tetap waspada. Dalam cerita ini, sikap dan watak Presiden dinarasikan sebagai manusia yang menyongsong keseimbangan; mampu menguasai emosi dan selalu bersikap tenang. Tidak takut dan haus kekuasaan.

“Biar saja, kita setidaknya buat sementara tak usah bereaksi supaya keadaan tidak bertambah panas, Mereka itu representasi dari sebuah kidung “Dhandanggula, yang dikarang pujangga Solo, Rangga Warsita; ‘semut ireng ngendok jroning geni’ merupakan gambaran dari mereka yang gemar membakar dan memanaskan keadaan.”

Awal konflik dalam novel ini bermula dari ancaman perebutan kekuasaan. Sebagai pemimpin negara, Presiden mempunyai otoritas mengaturnya. Hal ini membuatnya lekat terhadap kritik, pertentangan, dan pelengseran dari berbagai pihak. Ada ketidakpuasan pihak-pihak tertentu terhadap otoritasnya. Muncul kubu yang mendukung dan menentang jalannya pemerintahan hingga hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

“Sekarang rasa cinta kita pada tanah air digoyahkan oleh ideologi yang menganggap seluruh tatanan kenegaraan yang ada selama ini salah.”

Berpolitik karena Berkepentingan

Salah satu hal yang membuat saya terkejut adalah munculnya tokoh dengan ambisi politiknya yang sudah sampai di ubun-ubun. Tokoh ini mulai menggalang kekuatan dengan rencana menurunkan kekuatan umat dalam demo besar.

“….Seharusnya sejak semula kita menggunakan istilah gerakan rakyat. Meskipun begitu saya kira ‘kita’ masih bisa mengubahnya menjadi gerakan rakyat. Jangan ada yang keliru menyebut gerakan umat. Kalau disebut gerakan rakyat, siapa tak akan memihak ‘kita’?” (hlm 168).

Penggambaran situasi ini diperkuat dengan dialog antar tokohnya ;

“Apalagi DPR, terutama tokoh-tokohnya, juga sudah jelas berpihak pada ‘kita’. DPR kita kuasai, istana kita kuasai.”

“Dan aku akan berjalan di barisan terdepan. Orang akan tahu sendiri apa maknanya orang yang berada di baris terdepan.”

“Saya tokoh penting, pemberani, dan siap berkorban jiwa raga demi rakyat. Media akan memotret untuk menjadikan wajahku sebagai Leader of the Year.” (hlm.168)

Dalam novel ini, Mohammad Sobary berhati-hati memainkan kata. Ia mengkategorikan kekuatan yang melontarkan kritik. Misalnya seperti penggambaran kekuatan oposisi dan kekuatan yang hanya bersifat caci maki saja. Sebab ia menjelaskan bahwa kritik itu sebuah tanggapan atau kupasan yang disertai uraian, pertimbangan, serta menawarkan solusi. Hal itu berguna dalam mencari kesepakatan perbedaan suatu pendapat maupun terhadap sebuah kebijakan.

“Kekuatan Oposisi boleh sangat kritis; obyektif; dan bicara apa adanya tapi dingin; rasional; dan tidak mencaci maki. Selebihnya, sikap kritis itu harus disertai solusi.” (hlm.8).

 

Kekaguman terhadap Presiden

Di akhir cerita kita akan dihadapkan pada keadaan yang membuat kita tidak berkutik dan tak berdaya. Apalagi yang kita harapkan dari sosok seorang presiden selain pribadi yang tenang, mampu menguasai emosi, dan mampu melenyapkan ancaman. Ketika presiden sedang dihadapkan pada ancaman demo besar yang bubar begitu saja, tanpa kesimpulan. Mohammad Sobary mempertegas karakter Presiden – Tenang.

“Abah, orang politik sukar diduga bagaimana maunya.” (hlm 397).

Bagi Abah dan Presiden, demo yang bubar tanpa kesimpulan menandakan gelombang ancaman yang menakutkan sudah surut bahkan lenyap. Agaknya juga tidak ada lagi yang perlu dirisaukan. Ditengah keadaan tersebut, Abah meminta hadirin untuk tenang dan yakin dengan melihat cahaya di kening presiden.

“Dalam situasi seperti itu, teja manther sak sada lanang,[1] cahaya putih yang memancar di kening presiden itu tampak jelas di mata orang-orang yang diizinkan melihatnya.” (hlm 400).

Beberapa kalangan kaum adat yang mampu melihatnya dibuat kagum. Cahaya itu memiliki pesona besar yang tidak bisa mereka jelaskan. Cahaya di kening presiden melambangkan berita dari langit, bahwa wahyu kepresidenan yang berwujud Kresna, berwatak Baladewa (pemberani dan tegas) dan bersenjata Trisula Wedha[2] masih melekat pada presiden.

 

Penulis: Anggita Hajar Ainaya

Editor: Rose

[1] cahaya yang memancarkan kewibawaan seorang pemimpin.

[2] pihak yang berada disisi presiden, diwakili oleh tiga kelompok besar; pesantren, petani, dan kaum adat.