Judul : Gie
Sutradara : Riri Riza
Penulis : Riri Riza
Waktu Rilis : 14 Juli 2005
Produser : Mira Lesmana
Studio : Miles Films dan SinemArt Pictures
Durasi : 140 menit
Pemeran : Nicholas Saputra dan Jonathan Mulia (Sok Hok Gie), Sita Nursanti (Ira), Wulan Guritno (Sinta), Lukman Sardi (Herman Lantang), dll
Pernahkah kita berpikir tentang bagaimana kondisi Indonesia jika orde baru tidak pernah terjadi? Apakah Indonesia akan terus dengan ideologi komunisnya? tidak adanya kebebasan individu, hak bersuara yang selalu dibungkam, dan segala hal lainnya yang selalu diatur oleh pemerintah yang pada akhirnya membuat rakyat dituntut untuk selalu setuju dengan apa yang menjadi keputusan pemerintah. Dengan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat itu, pernahkah kita berpikir untuk membuat suatu perubahan? Seperti apa yang dilakukan oleh sosok yang diceritakan dalam film ini, Soe Hok Gie namanya. Pemuda yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi sejak di masa sekolah itu sangat peduli akan kondisi pemerintahan di masanya kala itu. Gie adalah Pemuda yang cerdas, kritis, dan berani untuk menyuarakan keresahannya akan kesewenang-wenangan para penguasa negara melalui tulisan-tulisannya. Lantas, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita peka terhadap pemerintahan yang berjalan saat ini?
Sok Hok Gie yang dikisahkan adalah seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Ia adalah sosok mahasiswa yang cerdas, kritis, berwawasan luas, dan menjadi sosok pemikir yang sering mengkritik kebijakan pemerintah, sistem pemerintahan, hingga jalannya demokrasi di Indonesia. Gie lahir pada 17 Juli 1946. Ia lahir dan hidup di lingkungan para keturunan Tionghoa seperti keluarga, teman, dan kerabatnya. Kisah Gie pada film ini dimulai ketika ia duduk di bangku sekolah, Gie sangat tertarik dengan konsep konsep idealis dan filsafat. Sejak masa sekolah kecintaannya pada sastra sudah sangat terlihat, ia sering membaca buku di perpustakaan dan mengkaji isi buku tersebut. Jiwa berpikir kritis yang dimiliki Gie, ditambah rasa kecintaannya terhadap tanah air, serta semangat untuk memajukan dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, membuat dirinya tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, bijak, serta sangat anti terhadap ketidakadilan. Gie selalu peduli terhadap apa yang menurutnya salah atau kurang tepat. Gie selalu memperjuangkan hak dirinya dan orang-orang di sekitarnya, ia pernah memberontak saat nilai ujiannya dicurangi, saat pendapatnya tidak didengarkan, dan saat keamanan temannya terancam. Gie memiliki teman baik sejak kecil, yakni Tan Tjin Han, yang merupakan anak keturunan Tionghoa juga, hubungan mereka baik dan Han juga sangat mengagumi keberanian yang dimiliki Gie. Namun, pada masa sebelum dirinya masuk SMA, dia telah berpisah dengan Han.
“Kita tidak bisa hidup bebas seperti ini, kalau bukan karena melawan”
-Seo Hok Gie
Setelah selesai SMA, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Saat berkuliah Gie tidak hanya menjadi sosok yang gemar berpikir serta membaca tetapi ia menjadi sosok mahasiswa yang mencintai alam, maka dari itu ia tergabung menjadi bagian dari Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Gie bertemu dengan teman-teman yang memiliki pikiran yang sama, mereka sering berkumpul untuk mendaki dan menonton serta mengkaji suatu film bersama. Gie tidak tertarik dengan organisasi politik keagamaan yang ada di kampus baginya itu bukanlah wadah untuk membantunya membuat perubahan bagi Indonesia. Gie tidak sepakat dengan organisasi yang berusaha melawan pemerintahan tetapi tidak terlepas dari kepentingan agama ataupun golongan tertentu.
Kontribusi Gie dalam menjadi mahasiswa adalah menyuarakan perlawanan terhadap pemerintahan Orde Lama dan menulis kritik terhadap pemerintah dengan bergabung dengan gerakan pimpinan seorang mantan pejabat Sumitro yaitu seorang yang mengasingkan diri karena semangat pemberontakannya. Gie menghormati Soekarno, tapi menurutnya, terlalu banyak hal yang tak ia sepakati di kepemimpinan Soekarno yang memiliki kekuasaan absolut. Pemerintah tidak berhak untuk menentukan nasib rakyat dan terus memberi ketidakadilan bagi rakyat. Gie hanya menginginkan perubahan, menurutnya mungkin satu-satunya cara yaitu turunnya Soekarno. Salah satu cara lain Gie untuk mewujudkan perubahan tersebut adalah dengan mengikuti senat dan mencalonkan sahabatnya yang bernama Herman Latang sebagai ketua. Gie menganggap Herman adalah orang yang paling tepat untuk menjadi seorang ketua karena pengalaman kepemimpinan dan karena ketidakberpihakan herman pada organisasi politik manapun.
Setelah sekian lama tak bertemu, Gie kembali dipertemukan dengan Han, teman masa kecilnya, sayangnya Han adalah anggota dari PKI. Setelah meletusnya G30S PKI, Gie sangat khawatir kepada Han, dan menyuruh Han untuk pergi, tetapi Han menolak karena mengurus bibinya yang sedang sakit. Tak lama setelahnya, Gie melihat Han ditangkap dan dibawa ke suatu tempat.
Pada tahun 1966 dalam usahanya untuk menjatuhkan pengaruh kelompok komunis pemerintah Soekarno membuat politik kenaikan harga. Menurut Gie ini sesungguhnya adalah taktik pemerintah untuk mengalihkan perhatian rakyat dari segala kepentingan politik. Organisasi-organisasi beserta para mahasiswa UI telah menggabungkan diri dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan mengadakan demo secara besar-besaran. Mereka berusaha meminta hak-hak rakyat dengan mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah yang dikenal sebagai tritura. Namun tuntutan tidak kunjung direalisasikan. Mahasiswa mulai berdemo lagi, keadaan juga semakin mengakau, hingga akhirnya pada tanggal 11 Maret 1966, Supersemar seolah menjadi jawaban atas keadaan yang terjadi saat itu. Para anggota PKI pun diburu, ditangkap, disiksa dan dibantai, termasuk teman Gie sendiri, Han.
Setelah lulus kuliah, Gie menjadi dosen di Universitas Indonesia. Sedangkan Gie melihat bahwa ada beberapa golongan mahasiswa yang dulu seperjuangan dengannya, sekarang menjadi perwakilan di Parlemen dan menjadi sosok yang sombong serta dicurigai memperkaya diri dengan cara tidak halal. Gie juga bekerja di salah satu perusahaan koran sebagai penulis yang menuliskan berbagai kritiknya terhadap pemerintahan negara seperti sebelum-sebelumnya. Tak jarang kritikan pedasnya membuatnya merasa terancam oleh teror-teror dari para pejabat anti kritik.
Kisah hidup Gie berakhir saat Ia menghembuskan nafas terakhirnya di gunung Semeru. Kala itu Ia tengah mendaki dan tanpa sengaja menghirup asap beracun dari kawah gunung. Ia meninggal dunia di usia 27 tahun dalam pangkuan sahabatnya, Herman Latang.
Bagaimana pendapat kalian tentang film ini? Jika kita membahas tentang kekurangan yang terdapat didalam film ini, untuk orang yang belum membaca bukunya terkadang beberapa adegan tidak dijelaskan secara mendetail yang pada akhirnya cukup membingungkan, kisah romansa yang terselip di dalam film ini juga tidak begitu digambarkan dengan jelas, dan ending cerita juga menggantung. Di sisi lain, tak sedikit juga pembelajaran yang dapat kita ambil dari film ini, patutnya kita sebagai generasi muda juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi seperti Soe Hok Gie, terutama sebagai mahasiswa kita harus berani menyuarakan apa yang selama ini berjalan tidak pada jalur yang semestinya. Sebagai warga negara juga patutnya kita juga berani untuk membuat perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Selain itu, film ini juga mengajarkan kita bahwa perbedaan etnis, ras, budaya, dan yang lainnya tidak membedakan rasa cinta kita terhadap tanah air. Kita semua sama, Warga Negara Indonesia. Film ini juga dirancang sangat bagus, latar suasana tahun 60an begitu terasa dan bahasa yang digunakan juga sangat menambah kesan kuno dalam film ini.