Penulis: Hayu Primajaya
Judul : LAHAN DAN KEDAULATAN PANGAN
Penulis : DR. Ir. Gatot Irianto M.S., DAA.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 190 halaman
Ukuran : 135mm X 200mm
Tahun terbit : 2016
Buku yang diterbitkan pada awal 2016 ini memaparkan mengenai pelbagai permasalahan lahan dan kedaulatan pangan yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, lahan dan kedaulatan pangan merupakan dua hal yang tak terpisahkan, karena sejatinya kedaulatan pangan berbeda dengan ketahanan pangan. Jika ketahanan pangan menekankan pada ketersediaan pangan bagi seluruh warga negara, sekalipun harus mengimpor dari luar negeri, kedaulatan pangan lebih kepada pemenuhan kebutuhan pangan melalui produksi dalam negeri. Sehingga, pada akhirnya aspek ketersediaan lahan sangat penting bagi produksi pangan dalam negeri. Namun faktanya, lahan sawah di Indonesia sangat terbatas. Luasanya hanya 8,1 juta hektare (BPS, 2012) yang menurut asumsi penulis tentunya sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan (beras) Indonesia yang mencapai 43 juta ton per tahun (2014).
Selain itu luasan lahan sawah tersebut pun terancam oleh para mafia lahan, bahkan tidak hanya calo lapangan tetapi juga para oknum birokrat yang bersekongkol dengan pemburu tanah. Seperti halnya HGU (Hak Guna Usaha) yang lahannya tidak pernah digarap dan terbitnya izin alih fungsi lahan di kawasan irigasi teknis. Hal ini diperparah dengan laju alih fungsi lahan yang makin menghawatirkan, terutama terjadi pada periode 1992-2002. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi alih fungsi lahan seluas 1,1 juta hektare, dan berlanjut pada periode 2003-2012 yang mencapai 298 ribu hektare. Jika tidak segera diambil kebijakan yang tepat, tentu masalah alih fungsi lahan akan memperparah ketergantungan indonesia terhadap impor pangan dari luar negeri.
Selain masalah keterbatasan lahan dan laju alih fungsi lahan sawah, tingkat konsumsi beras masyarakat yang tinggi juga mempengaruhi ketahanan pangan. Konsumsi beras di Indonesia saat ini menempati peringkat tertinggi di dunia yaitu 139 kg/kapita/tahun. Pada awalnya, pola konsumsi masyarakat cenderung beragam, konsumsi beras hanya mencapai 53,5% dan sisanya dipenuhi dari suplai ubi kayu, jagung, dan kentang. Baru setelah diberlakukannya kebijakan revolusi hijau pada rezim Orde Baru, pola konsumsi masyarakat berubah menjadi dominan beras. Hal itu terjadi karena pada masa revolusi hijau, kebijakan pertanian lebih diarahkan pada beras dan kemudahan untuk mendapatkan beras telah berdampak terhadap perubahan pola konsumsi pangan pokok ke arah beras.
Pelbagai permasalahan tersebut mendesak untuk segera dicarikan solusinya, mengingat kedaulatan pangan sendiri erat kaitanya dengan ketahanan nasional. Seperti untuk mengurangi tingkat konsumsi beras, diperlukan strategi diversivikasi pangan dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Diantaranya adalah jagung, tepung sukun, singkong, dan sagu, yang ternyata komposisi nutrisinya jika ditinjau dari ketersediaan kalori tidak kalah dibanding beras.
Laju alih fungsi lahanpun juga harus diatasi dengan menetapkan lahan pertanian yang penting menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dengan demikian, laju alih fungsi lahan dapat terkontrol. Sebab, menurut UU Nomor 41 tahun 2009, penggunaan lahan pangan berkelanjutan untuk kepentingan umum dapat dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan catatan harus sudah disiapkan lahan pengganti yang siap tanam, baik di lokasi alih fungsi maupun di tempat lain dengan jumlah 3 kali lipat dari luas lahan yang dialihfungsikan.
Jika kita berbicara tentang pelbagai masalah mengenai lahan pertanian yang sangat kompleks mulai dari semakin sempitnya penguasaan tanah, sulitnya membendung alih fungsi ke penggunaan non pertanian, konflik penguasaan lahan, serta fragmentasi tanah, solusi yang harus segera di implementasikan ialah reformasi agraria. Reformasi agraria sejatinya sudah lama direncanakan, namun ironisnya sekalipun perangkat hukumnya sudah lengkap, pelaksanaan reformasi agraria berjalan sangat lambat. Ini karena adanya berbagai kepentingan yang bertolak belakang dengan reformasi agraria. Pun dengan pelaksanaan reformasi agraria di lapangan masih menemui berbagai hambatan, seperti ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian serta masih terbatas dan lemahnya akses petani kepada sumber daya lahan. Jumlah petani gurem pun semakin bertambah, dari 10,8 juta Kartu Keluarga (KK) pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta KK pada tahun 2003. Hal ini akan semakin mempersulit pemenuhan kebutuhan pangan.
Menurut banyak studi, hasil panen per hektare padi dan tanaman pangan cenderung meningkat pada pertanian skala kecil. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki inisiatif untuk membongkar okupasi lahan oleh pihak tertentu agar sektor pertanian memiliki lahan yang cukup untuk memproduksi bahan pangan sehingga kedaulatan pangan dapat tercapai.
Selain pelbagai upaya diatas, untuk mengatasi devisit lahan sawah dapat dilakukan penambahan luas lahan dengan mencetak sawah baru. Banyak lahan yang berpotensi dijadikan lahan sawah. Misalnya, lahan bekas kawasan hutan yang telah dilepaskan dan belum dimanfaatkan, lahan dalam kawasan hutan yang dilepaskan untuk tujuan pengembangan pangan, lahan teridentifikasi terlantar yang diterbitkan dan didayagunakan untuk pengembangan tanaman pangan, serta lahan yang dikuasai masyarakat yang secara fisik berpotensi untuk pengembangan pangan. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian dan Pengembanggan Tanah Dan Agroklimat(Puslitbangtanak) (2001) dan BPS (2000), ada sekitar 13,25 juta hektare lahan nonrawa (mineral) dan sekitar 3,5 juta hektare lahan rawa atau pasang surut yang dapat dijadikan sawah baru. Kini, tinggal sejauh mana upaya pemerintah untuk mendukung upaya ekstensifikasi lahan sawah tersebut.
Dari total luasan lahan pangan yang hanya 8,1 juta hektare, 3,4 juta hektare diantaranya terdapat di Pulau Jawa. Hal ini tentunya sangat rawan terhadap konversi lahan ke bidang non pangan karena keterbatasan lahan serta kepadatan penduduk yang mencapai 60% dari total penduduk Indonesia. Sehingga, upaya ekstensifikasi lahan akan diarahkan ke luar Jawa. Untuk mendukung upaya tersebut, program transmigrasi penting untuk dilakukan guna memastikan ketersediaan sumber daya manusia di daerah tujuan, serta untuk meningkatkan akses individu petani atas lahan yang sulit di capai di Pulau Jawa. Dengan 2 hektare lahan hak milik, rumah layak huni, alat pertanian, biaya hidup tahun pertama, serta pendampingan yang intensif, diharapkan para transmigran dapat memperbaiki taraf ekonominya dan meningkatkan produksi pangan sehingga memberikan kontribusi yang konstruktif bagi ketahanan pangan nasional.
Mengingat Indonesia adalah negara yang dikenal memiliki corak agraris dengan 44,04% penduduknya bekerja di sektor pertanian, kedaulatan pangan bukan hanya soal memenuhi kebutuhan pangan segenap rakyat. Namun seperti yang dijabarkan oleh penulis bahwa pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, dan kesejahteraan petani merupakan aspek penting yang berhubungan erat dengan ketahanan nasional.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa lahan merupakan aspek produksi pangan yang tak tergantikan yang kini keadaannya terancam, dan menuai berbagai masalah yang sangat kompleks. Permasalahan tersebut mulai dari tidak meratanya distribusi kepemilikan, alih fungsi, hingga mafia lahan. Buku ini juga menjelaskan berbagai upaya yang dapat di tempuh guna mengatasi berbagai masalah kedaulatan pangan dan ketersediaan lahan. Akan tetapi jika kita membaca secara seksama, pelbagai solusi yang ditawarkan guna mengatasi masalah kedaulatan pangan serta ketersediaan lahan masih sangat normatif dan kurang menjelaskan implementasi secara teknis di lapangan. Pun dalam solusi mencetak sawah baru guna mengatasi minimnya ketersediaan lahan pertanian, akan sangat riskan dan dapat mempercepat laju alih fungsi lahan hutan. Namun terlepas dari itu semua, buku ini dapat menjelaskan secara gamblang pelbagai masalah “Lahan dan Kedaulatan Pangan” sehingga dapat menjadi peringatan akan pentingnya kedua hal tersebut bagi ketahanan nasional.
Sumber gambar: www.getscoop.com