Penulis: Jatikuning
“Presiden akan membuatkan istana untuk kalian di langit!” Seorang pria paruh baya dengan baju dinas yang baru keluar dari laundry-an mengangkat tinggi-tinggi tangannya sambil mendelik ke atas. Senyum manisnya tak ketinggalan. Meski ia mencoba untuk tetap terlihat tegas dan berwibawa. Di belakangnya, dua ajudan berpakaian pekat membawa setumpuk selebaran kertas berwarna biru.
“Enak kan punya rumah di langit, Mad?” Pak Lurah menjawil lengan Somad.
Somad memang punya mimpi untuk memiliki rumah di langit. Setiap kali ia menengok ke atas, entah ketika ia bermain layang-layang, memandang pesawat lewat, menerawang melalui jendela kelasnya yang tak berdaun, atau saat hendak tidur dan bangun subuh. Atap rumahnya punya banyak celah yang bisa langsung menampakkan rupa langit. Di sanalah dia akan memandang langit lama-lama, di bawah genteng tembusnya, menerka-nerka bagaimana jadinya kalau ia punya rumah di langit. Dan Pak Presiden memang sungguh baik. Dia akan mewujudkan mimpi Somad. Bahkan bukan hanya mimpinya saja, tetapi semua orang yang ada di kampungnya. Dengan mendirikan rumah di langit.
“Ini bagaimana ceritanya mendirikan rumah di langit?” Pak Jali menodong petugas sosialisasi hari itu dengan pertanyaan yang seolah tak membutuhkan jawaban, sambil menyodorkan selebaran yang baru saja dibagikan pada mereka.
Teras rumah Pak Lurah seketika dikerumuni warga kampung. Seperti ketika ada sales wajan atau panci yang memperagakan keunggulan produknya dengan sekalian memasak. Karena baunya akan tercium ke seantero kampung dan itu berarti undangan massal yang disebarkan lewat lubang hidung ke keroncong perut. Petugas sosialisasi pemerintah hari itu terlihat seperti sales bagi warga kampung. Cuma kali ini demonstrasi yang mereka peragakan adalah kata-kata yang punya bau macam-macam. Pak Jali menangkapnya sebagai bau omong kosong. Bu Asih membau harapan. Adiknya, Bu Welas menyamakannya dengan bau kecanggihan ilmu modern. Pak Lurah mencium aroma proyek dan duit baru. Sedang Somad dibalut oleh sedapnya mimpi.
“Bapak petugas ngomongnya jangan ngawur dong, Pak. Mana bisa ada rumah di langit? Meskipun kami warga kampung ini banyak yang gak tamat SD, tapi kami nggak bodoh.” Rupanya Pak Gatot menciumnya sebagai bau penghinaan. Beberapa belas orang ikut tersulut amarahnya. Somad juga ikut geram mendengar teriakan Pak Gatot, karena itu akan berpotensi menggagalkan mimpi rumah langitnya.
“Tenang dulu, bapak-bapak, ibu-ibu. Bapak Presiden tidak mungkin membohongi rakyatnya sendiri. Ini adalah temuan baru dari ilmuwan kita sepulang belajar di Jerman,” ujar Pak Petugas dengan tangan terayun ke sana ke mari. “Jadi, sudah terverifikasi aplikatifnya. Tak usah lagi bapak-bapak dan ibu-ibu merasa risau. Kami akan merelokasi kalian semua ke langit, setelah kalian mengosongkan kampung,” lanjutnya dengan senyum paling manis yang biasa ia tunjukkan pada Pak Presiden. Bu Welas dan Bu Asih menganguk-angguk takjub yang dibalas sunggingan senyum oleh Pak Petugas.
Keributan masih riuh terdengar di rumah Pak Lurah. Lantaran waktu pengosongan lahan waktu yang diberikan kepada mereka hanya satu bulan. Mereka juga diminta untuk membayar satu juta rupiah sebagai angsuran pertama pembangunan rumah langit dan biaya rumah sementara sampai rumah langit selesai dibangun. Jelas dipotong dari biaya kompensasi sebesar sepuluh juta per rumah.
Tentu anak-anak terutama Somad, merengek-rengek pada orang tua mereka untuk segera pindah karena tak sabar memiliki rumah di angkasa luas. Sedang para sesepuh kampung enggan menyetujui apa pun yang dikatakan oleh sales rumah langit itu. Menyetujui berarti menyerahkan tanah yang sudah mereka rawat semenjak diwariskan oleh leluhur. Apalagi ini mau diganti oleh udara, yang seharusnya juga gratis seperti halnya tanah.
Sisanya dari golongan anak-anak dan orang tua adalah orang-orang paruh baya dan para pemuda. Tidak begitu kentara, tapi terlihat mata mereka berbinar mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Pak Petugas. Namun mereka juga keder jika harus melawan para tetua kampung yang mantan jawara dan sakti mandraguna.
Sejak itu, warga kampung mulai mengikuti kebiasaan Somad memandangi langit setiap kali ada kesempatan. Sebelum berangkat kerja, selama menjereng jemuran, saat berjongkok di sungai sambil merokok, setelah membakar sampah di halaman, atau saat kawan-kawan Somad mengejar layangan putus. Tetapi itu bukan sorotan yang sama sebagaimana sorot mata Somad ketika memandang langit. Mereka memandang langit dengan penuh ragu dan tanda tanya, meski sebagian memandangnya dengan harapan langit akan selalu cerah sehingga bisa dibanguni rumah.
Dua tatapan berbeda itulah yang juga mengantarkan warga pada dua lautan arus yang berbeda. Beberapa lusin keluarga termasuk Pak Lurah telah mengosongkan rumahnya, walaupun para tetua telah mewejang mereka dengan baik-baik. Sesuatu yang jarang mereka lakukan. Terakhir kali Mbah Sirdi memberi Somad wejangan untuk tak main bola dekat rumahnya, ia melakukannya dengan jeweran hingga kupingnya serasa kiwir-kiwir.
Sedangkan lautan warga yang tersisa memilih tinggal hingga hari ketiga puluh dua dan hari-hari berikutnya. Tak ada niatan mereka untuk pindah dari sana hingga hari paling terakhir yang pernah ada di jagat raya. Somad meronta-ronta seperti ketika gila Mirna, janda yang ditinggal suaminya menikah dengan janda muda sebelah rumah, kumat. Lantaran bapak dan emak Somad memilih nganut pada orang-orang di lautan yang ini, yang enggan meninggalkan kampung sampai tiba mesin-mesin baja penghancur. Mereka sadar betul nasib apa yang akan terjadi pada mereka jika memilih jalan ngotot, yakni diratakan dengan tanah.
Sekali lagi, warga yang tersisa di kampung berkumpul di rumah Mbah Sirdi pagi itu. Ini sudah pertemuan ketujuh belas kali, sekaligus yang terakhir dalam bulan ini. Karena hari ini para petugas itu akan datang. Bapak dan ibu Somad tak mengizinkannya berangkat sekolah, juga orang tua anak-anak di kampung itu. Sejak impiannya punya rumah di langit kandas, Somad jadi sering malas-malasan. Kebiasaannya melihat langit berganti menjadi memelototi tanah sambil menginjak-injaknya sekeras mungkin.
Pukul setengah sembilan pagi, deru mesin perlahan menjajah keheningan kampung. Tiga backhloe siap mengeruk rumah warga beserta isi-isinya. Pun seluruh penghuninya, kalau Pak Presiden mengangguk lewat telepon yang tersambung ke telinga pak petugas. Langkah mereka mantap dan pasti menuju tempat warga berkumpul.
Namun sebelum pak petugas sempat menyunggingkan senyumnya, awan mendadak menghitam. Mendung seketika menyelimuti kampung. Deru mesin tenggelam oleh gelegar guntur. Kilat menari-nari di atas awan tempat para penggusur itu berdiri. Sejauh mata Somad memandang, ini adalah mendung paling menyeramkan yang pernah dilihatnya. Langit tak pernah semenakutkan ini baginya. Muka warga ikut pucat, meski tak sepucat muka-muka para penggusur yang berdiri di jalan masuk kampung mereka. Langkah mereka terhenti seketika, memandangi langit dengan kalut. Ragu untuk melanjutkan langkah, takut disambar petir yang sudah ambil ancang-ancang.
“Apakah langit marah?” pikir Somad.
Rintik mulai turun disusul dengan guntur geledek yang bersahut-sahutan. Tak lama hujan deras mengguyur kampung. Orang-orang dengan baju dinas dan beberapa preman berkaos oblong lari kalang kabut mencari perlindungan. Berbalik arah ke tempat mereka semula datang. Warga berduyun-duyun ikut masuk ke rumah Mbah Sirdi. Itu adalah hujan yang tidak hanya bagi Somad, tetapi semua warga kampung, paling deras yang pernah mereka rasakan selama hidup. Seperti akan berlangsung empat puluh hari empat puluh malam. Hujan yang mengancam, tapi sekaligus meneduhkan.
Kerumunan warga mulai buyar. Somad hendak ikut masuk ke rumah Mbah Sirdi menyusul yang lain. Saat berbalik itulah, dia melihat mulut Mbah Sirdi tidak berhenti komat-kamit. Juga mulut Mbah Kijan, Mbah Kliwon, Mbah Polo, Mbah Parti, Mbah Witri, dan mulutnya sendiri.