Penulis: Dewi Bayu Pamungkas
“Masyarakat hanya diberikan mimpi tentang pembangunan dan kemajuan.”
Interaksi manusia dengan alam sudah terjadi jauh sebelum manusia mengenal corak produksi, karena alamlah yang sejak dahulu menjamin kelangsungan hidup umat manusia. Hasil interaksi antara manusia dan alam menciptakan nilai-nilai dan etika dalam memperlakukan alam. Salah satu contohnya adalah masyarakat Jawa yang memperlakukan, mengganggap, dan memposisikan alam seperti sosok manusia. Hal ini yang menjadikan interaksi manusia dengan alam menjadi sedemikian beradab. Dahulu masyarakat Jawa menganggap bumi sebagai ibu karena bumi tempat menyediakan air, bercocok tanam, penyedia bahan bangunan, maupun penyedia sumber makanan bagi masyarakat sehingga harus dijaga kelestariannya supaya bumi terus bisa memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat tersebut. Interaksi ini mulai berubah ketika konsep negara muncul. Pengaturan hubungan tersebut mulai bergeser ketika negara menganggap bahwa dirinya adalah penguasa dan pengatur lingkungan alam yang ada dalam teritorinya. Di Indonesia, konsep Hak Menguasai Negara (HMN) tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 pasal 2 yang kemudian di selewengkan dari makna aslinya. Dimana negara yang selayaknya hanya mengatur kekayaan alam Indonesia, berubah menjadi pemilik kekayaan alam Indonesia, termasuk didalamnya penataan ruang. Negara kemudian menjadi bagian dari mesin kapitalisme yang bertugas menjaga proses akumulasi kapital dengan menjadikan masyarakat tunduk pada corak produksi yang sudah ditetapkan, dan mengeksploitasi kelas pekerja.
Ideologi besar untuk kepentingan akumulasi kapital mempengaruhi sistem pemerintahan di negara ini. Perebuatan ruang menunjukan tidak adanya political will dari pemerintah untuk mengembangkan ekonomi berbasis komunal. AJ Toynbee, seorang sejarawan modern dalam bukunya A Study of History, mengistilahkan ekonomi komunal sebagai minoritas kreatif (creative minority) karena golongan ini menyadari dan mengorganisir dirinya sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab pergerakan ekonomi. Kepentingan melipat gandakan surplus membuat kebijakan yang dibuat pemerintah dalam pelaksanaan program-program pembangunan lebih mementingkan angka pertumbuhan ekonomi dibandingkan peningkatan kualitas kesejahteraan yang sesungguhnya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi memerlukan adanya kestabilan iklim investasi agar terjadi peningkatan produksi. Selain itu, dibutuhkan aliran distribusi barang agar mempercepat distribusi barang. Pembangunan hanya dijadikan sebagai alat akumulasi kapital tanpa memperhatikan kebutuhan rakyat akan ruang. Sehingga beberapa klausul pelibatan masyarakat dan perhatiannya terhadap harkat dan hak masyarakat di dalam peraturan penataan ruang tidak dilibatkan secara aktif. Penataan ruang merupakan kekuasaan yang berpotensi menyingkirkan warga dan menicptakan tanah sebagai komoditas. David Harvey adalah Dosen Kehormatan Antropologi dan Geografi di Graduate Center of the City University of New York (CUNY) berpendapat dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism bahwa suatu negara neoliberal lebih mengutamakan kestabilan iklim investasi dan bisnis dari pada hak masyarakat beserta kualitas kehidupan lainnya.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mencerminkan liberalisasi pembangunan dan ruang hidup secara brutal dengan program penjarahan berlanjut melalui Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Program ini membagi Indonesia menjadi 6 (enam) koridor ekonomi yaitu, koridor Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku-Papua. Setiap koridornya dibagi berdasarkan zonasi wilayah untuk menghasilkan andalan-andalan komoditas global tertentu. Fokus utama dari program ini adalah investasi skala besar di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, perikanan, dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam.
MP3EI secara besar-besaran melakukan pembangunan jalur transportasi demi mempercepat dan memperluas pembangunan di koridor-koridor yang ditetapkan. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan hilangnya ruang hidup masyarakat karena proyek ini berorientasi pada kepentingan pengusaha. Menurut Henri Lefebvre, seorang sosiolog Marxis Prancis. Dia menyatakan dalam Production of Space bahwa ruang sebagai produk politik mengakibatkan praktik tata ruang tidak pernah bebas dari keberpihakan aktor yang membuat regulasi tata ruang. Keberpihakan atau ketidaknetralan aktor-aktor dalam menjalankan kuasanya tercermin dari kebijakan yang dibuat oleh regulator (pemerintah). Dikeluarkannya Mega proyek MP3EI ini sangat terlihat keberpihakan pemerintah berada pada pemilik modal atau para kaum kapitalis. Atas nama pembangunan dan kemajuan, ruang hidup rakyat dipaksa digantikan ruang boulduzer perusahaan, hutan diubah menjadi pertokoan, sawah dan ladang menjadi perkebuan sawit, petani dan nelayan menjadi buruh, laut dan pulau-pulau kecil diprivatisasi untuk industri pariwisata ataupun minapolitan (konsep pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan berdasarkan prinsip-prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselarasi tinggi). Masyarakat hanya diberikan mimpi tentang pembangunan dan kemajuan.
Kondisi tersebut diperburuk dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum. Proses kelahiran undang-undang ini ditumpangi oleh banyak kepentingan pemodal besar dan lembaga keuangan internasional. Salah satunya disokong oleh Asian Development Bank (ADB) dalam rangka memuluskan hutang proyek-proyek infrakstruktur. Implementasi kebijakan tersebut juga dapat dilihat dari mudahnya kekuasaan mengobral izin penguasaan ruang hidup masyarakat kepada perusahaan ekstraktif lokal, nasional, ataupun internasional. Para pemilik modal menggunakan ruang sebagai praktik kegiatan produksi dan reproduksi ruang untuk mendapatkan dan menguasai ruang itu. Dengan menguasai ruang, pemilik modal dapat melakukan kegaiatan reproduksi ruang untuk akumulasi kapital yang melimpah.
Pembangunan infrakstruktur dalam skala besar menyebabkan masyarakat tergusur dari ruang hidupnya. Penggusuran ini sering menyebabkan konflik antara masyarakat sebagai objek yang tertindas, pemerintah sebagai pemilik regulasi, dan para kaum kapitalis yang memiliki modal. Penggusuran di daerah pedesaan yang masyarakatnya hidup dari jerih payah persawahan menyebabkan hilangnya alat-alat produksi mereka. Sehingga mereka hanya mengandalkan tenaga mereka untuk dijual kepada kaum kapitalis agar dapat melangsungkan hidup dengan upah yang sangat murah. Diperkotaan pun juga terjadi perebutan ruang hidup akibat adanya proyek pembangunan yang menggusur pemukiman mereka. Perlawanan dilakukan untuk mempertahankan ruang hidup mereka. Tapi pemerintah tidak tinggal diam untuk melancarkan pembangunan, mulai dengan diberikan kompensasi besar-besaran, apabila cara itu tidak berhasil seringkali melakukan tindak kekerasan, bahkan hegemonipun dilakukan untuk dapat merebut ruang hidup mereka. Menurut Gramsci, hegemoni bekerja dengan menyusupkan ideologi lewat sekolah, media, dan lembaga-lembaga negara secara tidak sadar kepada masyarakat yang bertujuan agar ide-ide yang diinginkan negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang disepakati oleh masyarakat. Sehingga masyarakat dapat tunduk pada kepemimpinan oleh kelas yang mendominasi. Siapa yang mencoba melawan hegemoni dianggap orang yang tidak taat terhadap moral serta dianggap tindak bodoh oleh masyarakat, bahkan adakalanya diredam dengan kekerasan.
Seharusnya kita harus melihat kembali esensi dari pembangunan yang hendak dicapai dalam mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman, mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat, untuk mengartiluaskan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Bangunan sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Karena itu masyarakat harus paham akan pentingnya ruang hidup yang telah menciptakan sejarah (history) dalam keberlangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan manusia. Bangunan merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karenanya, pembangunan tidak seharusnya menggusur masyarakat dari lingkungan hidupnya hanya untuk kepentingan kapitalis.
Ilustrator: Dewi Intan P.S