Malam ini, hujan turun. Setiap yang berpayung langit merasakan guyurannya. Meski datang membabi buta, mengeroyok permukaan bumi, tidak ada yang merasa terluka dengannya. Menyegarkan kehidupan, melahirkan harapan. Malam ini, penghuni bumi sejenak menghirup udara segar, setelah beberapa minggu dilukai polusi.

Di teras padepokan Kota Monde, Surya duduk menyendiri menikmati gelapnya malam. Dengan lagaknya, menyelipkan sebatang rokok kretek disela-sela jari, lalu menyisipkan ke bibir coklatnya. Spontan, tangan kanannya mengambil korek dan memutar roda pemantiknya yang dibarengi dengan membentuk tameng dari tangan kirinya untuk melindungi api yang menyala. Sembari mengernyitkan alis dan dahi, kedua tangannya diarahkan ke ujung rokok yang terselip di bibirnya, lalu dengan khusyuk menghisapnya. Proses awal pembakaran rokok dianggapnya sebagai ritual sakral dan dilakukannya dengan elegan. Baginya hisapan pertama ketika merokok selalu menenangkan pikirannya.

Hey bro, sedang menikmati suasana sehabis hujan?” sapa Riko dengan antusias, yang tiba -tiba muncul di depan Surya.

“Ya, seperti biasa, menikmatinya dengan melihat dan mendengar apa yang sedang alam bagikan,” jawab Surya seraya tersenyum. Lalu balik bertanya, “Gimana kehidupanmu, sudah berapa teman yang kau dapat?”

“Wah, mulai lagi, itu pertanyaan yang malas kujawab. Bahkan kau sudah tahu jawabannya kan? Dasar manusia kesepian!” Jawab Riko sewot yang tanpa basa – basi langsung ngegas di hadapan Surya.

Dengan tenang Surya berkata “Hei, santailah sedikit, malam ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan bacotan tentang teman dan kesepian. Nikmati suasana dingin malam ini, jarang-jarang lho kita bisa merasakannya. Mari sejenak meluangkan waktu untuk mensyukuri hal ini.”

Udara segar dan cuaca dingin memang suasana yang jarang didapatkan manusia masa kini. Terutama yang tinggal di kota metropolitan. Beruntung sekali, malam ini warga Kota Monde dapat merasakannya. Tapi bukan mereka yang tinggal di rumah gedong itu, atau di apartemen sana. Mereka selalu bisa merasakan udara dingin setiap saat dengan air conditioner. Bagi warga kota Monde yang tinggal di pemukiman kumuh, hujan adalah nikmat Tuhan yang akan mereka syukuri dengan bonus banjir di keesokan harinya.

Peduli setan dengan banjir, warga pinggiran Monde sedang menikmati kehidupan. Mereka bersyukur dan berbahagia dengan berkumpul bersama keluarga di rumah. Berkomitmen dengan bumi, untuk sejenak tidak melukai udaranya. Ya meski tidak mungkin juga mereka menodai udara dengan berkendara atau melemburkan mesin-mesin pabrik, karena sudah jelas mereka adalah kaum miskin.

Sangat menyenangkan bisa mensyukuri nikmat Tuhan bersama keluarga, cara bersyukur yang tidak semua manusia mampu merasakannya. Surya, sejak kecil tidak tahu kemana ibu dan bapaknya. Pikirnya mereka sudah mati, karena yang dilupakan berarti hilang, sedang hidup tak kenal kehilangan jika ingatan masih menyimpan kenangan. Mati semua bapak ibunya, karena dilupakan anaknya.

“Kau sudah tenang belum? Barusan ada narasi panjang yang sudah kususun untuk menceritakan malam yang indah ini. Nih, mau rokok nggak?” ucap Surya kepada Riko yang membelah kebisingan malam dari aktivitas penghuni bumi.

Sudah setengah batang rokok dihisapnya, pikirannya bimbang tak mampu merangkai ingatan. Persoalan hidup terlalu kompleks. Dengan merokok, pemahaman tentang kehidupan semakin membingungkan. Bagaimana cara bersyukur selalu mengacaukan pikirannya. Manusia di sekitarnya mensyukuri nikmat udara segar dan cuaca dingin dengan berbahagia dan tidak mengotorinya. Sedangkan dia sendiri malah mengotori udara dengan asap rokoknya. “Apakah aku mendustakan nikmat-Nya?” kalimat tanya yang selalu membingungkan Surya.

Jancok, raimu asu! Dari tadi aku diam dan terus berpikir tentang apa yang kau bicarakan. Gak heran, kau ini memang bangsat! Mengajakku mensyukuri suasana malam ini, tapi kau malah merokok, yang sudah jelas itu mengotori udara dan mengganggu suasana malam ini. Lalu menawariku rokok, kau kira aku bisa membakarnya? Kau tau, kan? aku bukan manusia, aku ini anak kunti yang entah mengapa setan bisa hamil dan melahirkan! Bahkan, aku tak tau jenis setan mana yang jadi bapakku. Jadi sebagai setan, aku cuma bisa ngambil, nyentuh dan mindahin barang manusia aja goblok!” bentak Riko kepada Surya yang malah tertawa melihat kemarahannya.

Sembari tertawa, Surya membela diri “Hahahaha, hei setan yatim, kubilang santai, jangan merusak suasana malam ini. Apa kau tak tahu legenda yang menceritakan cara bersyukur Imam Besar?”

“Ah, sudahlah, sudah bosan aku mendengar cerita itu,” jawab Riko kesal.

Lho tenanglah sedikit, ini adikmu gimana, sepertinya dia sangat penasaran dengan legenda Imam Besar itu,” ucap Surya sambil menunjuk ke arah Reiko yang dari tadi menonton abangnya marah-marah.

Riko terkejut dan menoleh ke arah Reiko yang duduk melayang diatas bunga-bunga padepokan.“Hei anak haram, ngapain kau disini?”

Dengan polosnya, Reiko menjawab “Nonton anak setan marah-marah.”

“Sudah, sudah, jangan kau tendang lagi adikmu, dia cuma nonton,” ucap Surya menahan Riko yang hendak melayang menendang wajah adiknya.

Seraya menggerakkan tangannya, Surya memanggil Reiko “Mendekat ke sini, akan ku ceritakan legenda Imam Besar panutanku,” ucap Surya dengan wajah sumringah karena hanya dengan menyebutkan nama panutannya, dia sudah terpesona.

“Pada suatu hari, Imam Besar berkata kepada umatnya ‘Merokok adalah cara saya mensyukuri nikmat Tuhan atas penciptaan tembakau’. Kemudian kalimat ini disambut tawa jamaah yang menjadi perokok. Mereka merasa merokok adalah kegiatan baik yang harus terus dilakukan, apalagi Imam Besar sudah menyatakan kalau merokok adalah salah satu cara mensyukuri nikmat Tuhan. Sedangkan jamaah lain yang bukan perokok, juga ikut tertawa. Tapi diiringi dengan gelengan kepala. Merasa kagum dengan Imam Besar, meski tidak bisa melakukan sesuatu yang dikatakannya. ’Tidak masalah, itu pemahamannya, saya punya pemahaman sendiri’ Begitulah jamaah menyikapi setiap ceramah yang disampaikan Imam Besar.”

Reiko yang mendengarkan legenda Imam Besar malah bingung “Lho, lho, bisa gitu ya?”

Surya tersenyum, hisapan terakhir dari rokoknya baru saja dilakukan. Membuatnya bebas dari kurungan rokok yang membingungkan pikirannya. Meskipun dia sedang berbicara panjang lebar atau bahkan hanya membicarakan hal-hal ringan, tetap saja merokok membuat konsentrasi pikirannya tidak terarah. Biasanya, disaat sendirian, merokok membuatnya seakan bermeditasi dalam kesunyian. Menenangkan hati dan pikiran. Karena seluruh tubuhnya sedang menikmati tar dan nikotin yang terkandung didalam rokok kreteknya.

“Jawab bangsat! Jangan malah senyum-senyum gajelas, adikku tak paham cerita singkatmu itu.” ucap Riko kesal melihat Surya yang malah tersenyum menyelesaikan pembakaran satu batang rokok kreteknya.

Sambil bersiap-siap menyalakan rokok kreteknya lagi, Surya berkata kepada Riko “Lalu untuk apa aku sering menceritakan kisah legenda itu kepadamu jika kau tak mampu memberikan pemahaman pada adikmu? Kasih tau sendirilah, makna dari legenda Imam Besar panutanku. Aku mau pergi dulu, nanti dikira gila ngomong sendiri di tempat ini.”

Surya beranjak pergi meninggalkan dua bersaudara dari keluarga kunti tanpa bapak ini. Langkah demi langkah dilaluinya dengan santai. Berjalan menyusuri jalanan basah di malam hari tanpa memikirkan apapun. Ditemani sebatang rokok yang menjadikan suasana malam ini semakin menenangkan hati dan pikirannya.

Sebelum semakin jauh Surya berjalan, dengan kompak Riko dan Reiko terbang menuju ke arahnya, sambil mengolok-olok lalu pergi meninggalkannya. “Hei bangsat! Kau memang seperti orang gila karena selalu sendiri dan tak punya keluarga, hahaha.” teriak Reiko yang juga sangat antusias menghina manusia satu ini sembari terbang menyusul abangnya yang pergi lebih dulu.

Penulis: Ali Ridho

Editor: Rose Diana dan Tiara Tyas

Ilustrasi: Nisrina Salma