Aku menyeruput secangkir teh yang sudah tidak lagi panas di hadapanku dengan perlahan. Menyesap sembari menikmati cita rasa dari teh yang selalu dapat menenangkanku. Sudah cukup lama aku berdiam diri menunggu salah seorang teman lamaku sejak kuliah. Beberapa menit kemudian, aku melihat seorang wanita yang memakai pakaian khas kantor yang tengah menyebrang jalan raya.
“Maaf terlambat. Atasanku benar-benar mengerikan kalau udah akhir bulan.” Sambutnya dengan raut wajah lelah. Sebenarnya tidak ada alasan khusus kami bertemu. Toh, kami tidak begitu dekat. Pertemuan hari ini dikarenakan karena kami secara tidak sengaja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan beberapa hari yang lalu. Berbincang sebentar dan merencanakan sebuah pertemuan manis bak sahabat lama. Lucu, bukan?
“Tak apa.” Balasku tenang, walau rasa dongkol menyerbu kepalaku untuk segera memuntahkan lahar kemarahan. Jujur saja, ini sudah lewat dari waktu yang dapat kutolerir. Namun, melihat raut wajah bersalahnya, aku memilih untuk tersenyum dan bertanya, “Mau pesan sesuatu?”
“Macchiato saja.” Jawabnya. Aku mengangguk dan mengangkat tangan sebagai isyarat memanggil seorang pelayan. Setelah menyebutkan pesanan dan memberikan uang sebagai tip, pelayan tersebut pergi dan segera membuatkan pesanan.
“Kita sudah lama gak ketemu, kamu masih saja baik sama aku.” Ungkapnya setelah beberapa saat hening melanda. Aku tertawa, “Memberikan secangkir macchiato gak bakal membuat aku bangkrut, Ya.”
Beberapa saat kemudian, pelayan wanita memberikan sebuah minuman dan cake yang kami pesan tadi. Aku tersenyum kepada pelayan tersebut, “Terima kasih.” Mengetahui ucapanku, ia mengangguk dan balas tersenyum.
“Bagaimana pekerjaanmu?” Todongnya.
“Tidak ada yang menarik dari seorang photographer lepas sepertiku. Tidak terikat, kadang juga dikira pengangguran.” Jawabku dengan senyuman.
“Kamu yakin gak mau kerja kantoran aja? dengan pekerjaan freelance begitu bukannya kamu seperti terluntang-lantung?” Siapa gadis di depanku ini? Mengapa ia mengatur jalan hidupku seolah dia bisa melihat seisi dunia dengan matanya? Ingin rasanya aku mengumpat. Sahabatku saja mendukungku untuk terus menekuni hobiku. Bahkan, orang tuaku yang membiayaiku hingga memperoleh gelar sarjana saja membiarkan aku bebas memilih karir. Seketika, raut wajahku menjadi sedikit dongkol. Kutelan lagi semua amarah yang siap untuk menyembur hebat. Aku tidak sesabar itu, harusnya dia tahu.
“Tidak minat sebenarnya.” Jawabku dengan senyuman canggung. Oh, andai dia tahu jika dengan gajiku bisa membeli sebuah mobil, apa ia masih memandang remeh beberapa pekerjaan yang mungkin ia pandang tidak biasa dilakukan para wanita?
“Sayang sekali. Gelar sarjana harus ditukar seperti itu.” Katanya dengan penuh penyesalan. Aku mengerutkan kening, “Seperti itu bagaimana, Ya?”
“Dulu kamu punya IPK tinggi lalu bekerja menjadi freelancer. Pekerjaan yang sedikit nyentrik untuk ukuran seorang wanita. Benar, ‘kan?” Balasnya. Ia lalu tertawa, “Benar juga, ya! Ini kan sudah bukan zaman penjajahan. Ini zaman emansipasi wanita. Wanita bisa dan berhak untuk mencoba segala profesi. Istilah populer bin kerennya tuh feminisme. Benar, ‘kan?” Ungkapnya menyuarakan pendapatnya.
Tunggu-tunggu! Mengapa dari bahasan pekerjaan menjadi feminisme sih? Ini orang benar-benar masih sehat, ‘kan?
Tak mau memanjangkan urusan, aku tersenyum, “Yah, seperti itulah.”
“Lalu bagaimana dengan income per bulan?” Astaga! Pertanyaan gaji sedikit sensitif di telinga banyak orang—salah satunya aku. Bahkan aku tidak pernah bertanya pada orang yang baru saja kutemui setelah sekian lama tentang gajinya.
“Lumayan untuk makan sehari-hari.” Jawabku dengan tawa. Sebuah tawa untuk menutupi bagaimana kesalnya aku dengan wanita yang sedang menyantap cake miliknya itu. Setelah itu, aku segera mengalihkan pembicaraan, “Bagaimana pekerjaanmu?”
Ia berbinar. Seolah pertanyaan itu yang ditunggu-tunggu sedari tadi untuk keluar dari mulutku. Setelah menelan cake miliknya, ia berucap, “Sangat hebat! Kamu tahu bahwa dalam waktu beberapa tahun saja aku sudah menjadi general manager?”
Tak dapat dipungkiri, aku cukup takjub dengan pencapaiannya. Aku tersenyum kecil, “Sumpah? Kamu hebat banget!” Aku memang orang yang mudah memuji sesuatu untuk mengapresiasi.
“Iya! Aku ngalahin beberapa pegawai cowok yang ada di kantorku. Hebat, ‘kan? Mematahkan anggapan bahwa lelaki itu di atas perempuan.” Katanya.
“Hebat! Lalu-lalu?” Tanyaku penasaran karena sejujurnya aku ingin tahu pemikiran orang ini bukan ingin mengetahui bagaimana jalan hidupnya di kantor.
“Aku sangat sibuk untuk mencapai itu. Dulu, saat Ayah berulang tahun, aku sampai gak datang untuk makan malam karena lembur di kantor.” Aku sedikit terkesiap dengan ceritanya. Mengorbankan hari penting untuk urusan pekerjaan? Sebagai anak yang hidup dengan orang tua sedikit kolot, pasti kedua orang tuaku akan mengomel sepanjang kereta api. Satu kata yang bercokol di kepalaku. Dia egois sekali.
Hening melanda. Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelahnya ia melanjutkan, “… Ayah gak kecewa. Tapi Ibu benar-benar marah.”
“Maaf membuatmu mengungkit hal yang gak mengenakkan.” Ucapku.
“Gak papa. Lagipula itu sudah lewat, Rin. Itu cuma sedikit dari kisahku.”
“Begitu. Lalu bagaimana di kantor?” Saat aku bertanya seperti itu, dia tersenyum penuh kemenangan.
“Bahkan aku dihormati beberapa pegawaiku karena kinerjaku memuaskan!” Jawabnya.
Dari jawaban-jawabannya tadi, aku memikirkan sebuah puzzle dan mulai merangkai beberapa kepingan-kepingan. Sedari tadi, ia seolah tidak memikirkan jika saingannya adalah sesama wanita. Ia selalu berpikiran jika martabat wanita lebih tinggi dari para pria. Dengan perasaan tenang, aku bertanya, “Hei, Ya. Apa kamu berpikir kalau derajat wanita lebih tinggi dari seorang lelaki?”
“Tentu saja! Semua lelaki itu tak akan bisa berdiri tanpa wanita.” Benar tebakanku. Dia memang menganut paham feminisme, tapi aku kurang cocok dengan pandangannya. Sehingga, aku memilih untuk menjawab, “Oh begitu.”
“Kamu tahu? Dalam sebuah hubungan, seorang lelaki jika semakin tinggi kedudukannya maka dia akan semakin membutuhkan banyak wanita. Namun, seorang wanita malah kebalikannya. Semakin tinggi kedudukannya, ia tidak membutuhkan lelaki di hidupnya.” Katanya dengan pongah. Tunggu dulu! Dia bilang dalam sebuah hubungan? Artinya ia sudah melabeli jika semakin tinggi kedudukan lelaki, ia mudah untuk berselingkuh. Begitu?
“Aku tahu.” Balasku tenang. Times up! Aku sudah cukup meradang dengan beberapa komentarnya. Segera saja aku meminum tehku hingga tandas. Aku sudah bilang kalau kesabaranku tidak sebanyak itu, ‘kan? Maka dari itu, sekarang waktunya membalas.
“Kamu tahu, aku bahkan tidak mau berhubungan untuk saat ini dengan siapapun. Aku hanya takut jika diselingkuhi.” Katanya lagi. Astaga, bagaimana bisa temanku yang ku pandang open minded menjadi secupet ini?
“Hm, aku mau memberikan pandangan. Boleh?” Tanyaku.
“Tentu, pasti kamu setuju dengan pendapatku.” Enak saja, aku malah mau menyanggah! Cih, kepercayaan dirinya sudah meluber hingga kemana-mana.
“Kamu memandang feminisme sebagai ajang pembuktian bahwa perempuan dengan lelaki memiliki kadar yang berbeda. Sepertinya kamu tidak bisa dikategorikan feminisme lagi karena sudah terlalu toxic. Kamu seolah membenci lelaki yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada perempuan dan memandang rendah lelaki seperti bisa saja ia berselingkuh. Padahal bukan hanya lelaki yang mampu jadi brengsek. Perempuan juga. Aku benar, ‘kan?” Jawabanku membuatnya terdiam. Ia pasti tidak menyangka jika aku melemparkan boomerang atas ucapannya tadi.
Seolah belum cukup, aku menyambung, “Sejujurnya, aku juga penganut paham feminisme. Yang membedakan aku sama kamu adalah aku menganggap semua gender sama dengan porsi mereka masing-masing. Aku membenci lelaki, tapi lelaki yang kubenci adalah lelaki brengsek. Aku gak menyamaratakan mereka semua seperti kamu. Ngomong-ngomong, aku menghargai pendapatmu. Namun, aku juga wajib meluruskan hal yang menyimpang. Lagipula, dari cara kamu bercerita menggambarkan bahwa feminisme yang kamu anut itu hanya untuk menutupi kedok egoisme milikmu saja. Dengan kamu menghilang di beberapa kesempatan berharga milik keluargamu demi pekerjaan, itu menunjukkan jika kamu lebih mencintai pekerjaanmu. Mungkin aku salah karena kamu bisa saja memiliki sebuah masalah dengan keluargamu. Tapi dari kacamata milikku, kamu seperti hanya menutupinya dengan hal tersebut–feminisme. Maaf aku gak bisa menahannya lagi.” Ucapku blak-blakan.
Ia terdiam, belum menyahut. Wajahnya pucat pasi.
Aku bangkit berdiri, “Aku duluan, ya. Jam tujuh nanti kakak ku pulang, aku harus siap-siap.”
Setelah sampai dalam mobilku. Ponselku bergetar. Temanku mengirimkan sebuah pesan yang berbunyi,
Kamu benar. Mungkin pandanganku keliru selama ini. Mungkin lain kali kita bisa nongkrong lagi?
Aku tersenyum kecil. Lagipula, feminisme juga tidak melulu tentang derajat lelaki yang lebih rendah daripada perempuan maupun sebaliknya. Feminisme bisa saja tentang wanita itu sendiri, tentang bagaimana menghargai sesama wanita dan support terhadap sesama. Tidak menjelekkan ataupun merendahkan dari segi manapun.
-end-
Penulis : Cahyaning Galuh Pramesti
Editor : Meisa Dwi Lieni