[Opini]

Pencerahan Eropa sejak 16-17 M, telah membawa optimisme bagi seluruh manusia. Pencerahan ini seakan berjanji bahwa rasionalitas dan akal budi di era modern akan membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Era modern dengan sokongan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dipercaya dapat membawa umat manusia pada kemakmuran tingkat tinggi.

Tibalah kita pada era modern dengan segala kemajuanya. Era ini berkorelasi kuat pada rasionalitas teknologis, dimana segala bentuk permasalahan era modern diyakini dapat dipecahkan oleh IPTEK. Manusia modern begitu percaya bahwa kemudahan dan kenyamanan hidup di era ini mengindikasikan kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, dibalik itu semua, era ini juga menyimpan beragam sisi gelap dan petaka barunya.

Disamping melahirkan kemajuan, kehadiran IPTEK disisi lain juga melahirkan dominasi dan penindasan yang membawa kehancuran bagi manusia sendiri. Rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme dengan sokongan teknologi disisi lain juga menimbulkan disorientasi moral serta kehidupan gersang dan utopis. Dapat dilihat, era ini juga tak lepas dari berbagai petaka gelap dibaliknya.

Petaka pertama : Kegilaan pada Simbol

Seorang sosiolog kontemporer, Jean Baudrillard petaka gelap modernitas. Baginya, modernitas yang ditandai sebagai era konsumtif dimana konsumsi lebih massif dibanding produksi, telah memunculkan banyak kelas baru yang terintegrasikan dengan budaya konsumsi.

Menurutnya, aktivitas konsumsi yang menjadi lebih massif daripada aktivitas produksi dapat dilihat dari munculnya kelompok leisure class atau kelas penikmat yang gemar mengonsumsi produk-produk kapitalis. Ditinjau dari bbc.com, hal ini senada dengan istilah conspicuous consumption atau konsumsi mencolok dalam buku The Theory of the Leisure Class oleh Veblen. Istilah ini menggambarkan kedudukan benda atau barang hanyalah untuk dipamerkan demi menunjukkan status dan posisi sosial. Menurutnya, konsumsi yang mencolok ini menjadi bagian dari lanskap kapitalis kontemporer. Dapat dilihat, orientasi pola konsumsi manusia modern telah drastis berubah, dimana semula ditujukan untuk kebutuhan hidup, kini bergeser menjadi gaya hidup atau simbol.

Meninjau dari liputan6.com, hal ini dibuktikan oleh sebuah penelitian yang dilakukan Direct Line, jutaan kaum muda masa kini atau yang kerap disapa “ kaum milenial” di Inggris membeli barang hanya untuk memamerkannya kepada teman dan keluarganya, bukan atas dasar kebutuhan. Penelitian ini diikuti oleh responden berusia 18 – 34 tahun dimana seperempatnya berfokus pada barang-barang yang memiliki daya untuk dipamerkan dan sepertiganya berfokus membeli barang-barang bermerek mahal demi memamerkannya di media sosial. Selain itu, dalam studi yang dilakukan Toluna mengungkapkan bahwa lebih dari seribu orang yang disurvei, 70% kaum muda modern menghabiskan uang untuk membeli barang-barang mewah dibanding generasi sebelumnya.

Adapun jika menilik fenomena di Indonesia sendiri dapat dilihat dari hasil riset oleh Mastercard yang melibatkan 2.272 kaum milenial dari 14 Negara pada Mei hingga Juni 2015 lalu dalam CNNIndonesia.com. Riset ini mengungkapkan bahwa mayoritas dari generasi milenial di Indonesia (61%) lebih memilih membeli barang mewah dan bermerk. Selanjutnya, riset ini mengungkap separuh generasi milenial di Indonesia (50%) merupakan pelanggan paling impulsif di Asia Pasifik. Hal ini berdasarkan temuan bahwa setidaknya setengah dari pembelian barang mewah dilakukan secara spontan, di atas rata-rata regional.

Petaka kedua : Terjebak Simulakra

Selain era konsumtif simbol, Baudrillard, dalam tulisannya yang berjudul “Simulacra and Simulation”, menyatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi justru menyebabkan manusia-manusia modern berkutat penuh pada kehidupan simulasi mereka dibanding menjalani realitas yang nyata. Inilah yang disebut sebagai era simulacra.

Beragamnya peralatan canggih pada era modern sebagai pemicu kehidupan simulasi kian memunculkan hiperealitas tingkat tinggi. Hiperealitas disini mengacu pada kekaburan antara realitas dengan fantasi sehingga dapat mengecoh serta mengelabui pikiran manusia. Kekaburan ini menghasilkan konsep dunia semu yang lebih nyata dan menyenangkan daripada realitas itu sendiri. Hal ini mengakibatkan tak sedikit dari manusia modern lebih banyak menghabiskan waktu pada ponselnya, ketimbang berbincang langsung dengan orang sekitar. Terjebaknya manusia modern dalam simulakra dan hiperealitas ini menyebabkan kehidupan sosial mereka kian meredup, bahkan mati.

Misalnya saja seperti yang diungkapkan tim riset dari San Diego State University dan University of Georgia ditinjau dari liputan.6.com. Riset ini menemukan bahwa maraknya penggunaan perangkat elektronik berupa smartphone berdampak signifikan terhadap minimnya interaksi sosial langsung. Temuan ini berdasar pada survei yang dilakukan kepada 1,1 juta siswa SMA di Amerika Serikat yang lebih gemar menghabiskan waktu dengan perangkat digital mereka alias sibuk bermain gadget dan meninggalkan hubungan sosialnya dengan orang lain. Penurunan intensitas sosial langsung ini secara signifikan menyebabkan penurunan psikologis mereka seperti moodswing, gangguan kecemasan hingga depresi.

Selain itu, berdasarkan uopeople dalam salah satu tulisannya, mengungkapkan bahwa 89% orang Amerika lebih memilih berkomunikasi melalui telepon dibanding melakukan komunikasi langsung. Adapun dalam gulfnews.com , Dr. Tara Wyne, seorang Psikolog Klinis mengatakan bahwa manusia modern begitu tergantung dengan komunikasi teks. Menurutnya, ketergantungan ini telah berdampak pada hilangnya seni dan etika saat berkomunikasi langsung. Ia juga menekankan bahwa tren ketergantungan komunikasi telepon dan teks secara mendasar telah mengubah cara hubungan antar manusia bahkan menyebabkan masalah sulitnya komunikasi sosial langsung dan interpersonal.

Selain smarthphone, keterjebakan manusia pada era simulakra juga terjadi pada perangkat canggih lainnya berupa video game. Keterjebakan ini menyebabkan mereka sulit membedakan fiksi dan kenyataan bahkan tak sedikit diantaranya berujung pada peristiwa tragis. Misalnya penembakkan massal pada dua kota yakni di Ohio dan Texas ditilik dari kompas.com, terjadi akibat si pelaku berada dibawah kecanduannya bermain video game. Selain itu, dalam CNBC, tragedi penembakan yang menewaskan setidaknya 40 orang di kota Christchurch, Selandia baru juga terinspirasi oleh video game.

Petaka Ketiga : Risiko Tinggi dalam Segala Aspek

Dalam bukunya The Consequences of Modernity, Anthony Giddens, Professor sosiologi kontemporer menyebut kehidupan modern membawa kita pada era risk society atau risk culture. Artinya, era modern dengan segala kemajuan mutakhir pada segala aspek ternyata melahirkan risiko dan konsekuensi tinggi terhadap manusia – manusia saat ini. Segala aktivitas manusia modern baik konsumsi dan produksi

Bila membaca fenomena saat ini, ancaman yang telah diramalkan oleh sosiolog rasanya benar – benar terbukti. Misalnya ancaman dibalik suburnya pabrik yang dibangun manusia modern. Tingginya pencemaran lingkungan dan global warming oleh aktivitas pabrik ini , membawa ancaman serius bagi keberlanjutan hidup manusia.

Secara global, berdasarkan sciencing.com, kehadiran pabrik – pabrik industri telah menyumbang setidaknya 50% gas rumah kaca. Selain itu, laporan eea.europe menyebut 91 polutan yang ditransfer dan dilepaskan berasal dari dari sejumlah perusahaan industri.

Tak hanya menyangkut dunia perindustrian, culture modern yang melahirkan culture instant juga membawa resiko tersendiri. Sebut saja produk makanan instan yang digemari manusia – manusia modern. Dibalik penyajiannya yang praktis dan rasanya yang gurih, makanan ini juga menyimpan ancaman kesehatan dibaliknya.

Hal ini dibuktikan the bmj, dalam risetnya yang melibatkan lebih dari 100.000 orang dewasa pada 2019 silam . Riset tersebut menemukan bahwa makan 10% lebih banyak makanan ultra-olahan/instan menyebabkan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular, jantung coroner dan gangguan serebrosvaskular. di atas 10%. Hal ini disebabkan adanya bahan berbahaya pada makanan instan seperti lemak jenuh, gula tambahan , zat pengawet, bahan pewarna, serta penyedap rasa yang menurunkan kerja organ tubuh manusia.

Selain makanan instan, produk – produk teknologi ala modernisme juga membawa risiko yang cukup serius bagi manusia masa kini. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, perangkat elektronik berupa smartphone, laptop, televisi, dan lainnya ternyata mendatangkan beragam risiko kesehatan yang tak bisa dianggap remeh. Berdasarkan kompas.com, terdapat studi yang dibenarkan WHO yang mengungkapkan bahwa radiasi elektromagnetik yang terpancar dari antena smartphone dan perangkat elektronik lainnya dapat memicu pertumbuhan kanker, mengganggu .sistem reproduksi manusia, dan meningkatkan risiko kehilangan memori pada otak.

Bagai dua sisi mata pisau, era modern disatu sisi memberi kemudahan, namun disisi lain menyumbang beragam masalah dan risiko baru bagi manusia . Lalu, bagaimana janji manis modernitas akan kehidupan yang lebih baik? Sementara justru menghasilkan kehidupan yang gersang dan utopis. Bagaimana janji manis kapitalisme akan kemakmuran dan kesejahteraan? Sementara justru menguatkan ketimpangan masyarakat miskin dan kaya. Bagaimana janji manis modernitas akan kehidupan aman dan nyaman oleh kecanggihannya? Sementara justru menghasilkan kehidupan penuh ancaman dan petaka yang terus menghantui.

 

Penulis: Nadya Rajagukguk

Editor: Yusrina Fadhillah