[Riset]

Seakan belum lengkap pasca 1 tahun dilanda pandemi Covid-19, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sudah lebih dahulu secara rutin menyapa tanah air kembali berulah. Berkaca dari karhutla yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah salah satu wilayah langganan tahunan yang selalu berhadapan dengan karhutla. Namun kali ini Provinsi Riau menjadi salah satu provinsi dengan wilayah terdampak karhutla terluas di awal tahun 2021 ini.

Historis Hitam Karhutla di Tanah Air

Dilansir dari greenpeace.org Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara ‘Karhutla Dalam Lima Tahun Terakhir’ mengungkap kegagalan total pemerintah Indonesia dalam melindungi hutan dan lahan gambut dari pembakaran. Terungkap sekitar 4,4 juta hektar lahan atau setara 8 kali luas pulau Bali terbakar antara tahun 2015-2019. Laporan tersebut menyoroti sejumlah perusahaan perkebunan paling merusak yang beroperasi di negara ini, kemudian Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan demi kepentingan bisnis yang mengancam aturan perlindungan lingkungan dan memperburuk risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Analisis berdasarkan data yang tersedia di publik Greenpeace Asia Tenggara menemukan:

  • Antara 2015 – 2019, 4,4 juta hektar lahan telah terbakar di Indonesia. Sekitar 789.600 hektar kawasan ini (18 persen diantaranya) telah berulang kali terbakar.

 

  • 1,3 juta hektar (30 persen) dari area kebakaran yang dipetakan antara 2015 – 2019 berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp).

 

  • Pada tahun 2019, karhutla tahunan terburuk sejak 2015 yang membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta.

 

  • 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi mereka dari 2015 hingga 2019, belum menerima sanksi apapun meskipun kebakaran terjadi dalam beberapa tahun terakhir di dalam konsesi mereka. [1]

 

  • Perusahaan perkebunan dan lahan Hak Guna Usaha terbakar untuk dicabut dan membayar potensi denda sekitar 5,7 triliun rupiah [2]

 

  • Petinggi asosiasi GAPKI dan APHI menjadi anggota satgas RUU Cipta Kerja, ini dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sebab ditemukan total 12 perusahaan yang merupakan anggota GAPKI atau APHI dengan area terbakar terbesar di kategori perkebunannya masing-masing.

 

Seperti dilansir dari wri-indonesia.org frekuensi dan intensitas kebakaran di Indonesia terus meningkat sejak tahun 1990-an. Kebakaran buruk di tahun-tahun sebelumnya yang dianggap sebagai anomali kini sudah menjadi hal yang biasa, seiring dengan penyebaran aktivitas pertanian skala besar di seluruh Indonesia.

Musim kebakaran terburuk dalam 20 tahun terakhir terjadi di tahun 2015. Platform Global Forest Watch Fires (GFW Fires) mendeteksi sekitar 130.000 peringatan kebakaran – lebih dari 500.000 orang membutuhkan bantuan medis akibat kabut asap dan 24 orang lainnya meninggal dunia. Sebagian besar kebakaran tersebut terjadi di lahan gambut yang kaya karbon; sehingga jumlah karbon yang dilepaskan mencapai tiga kali lipat total emisi tahunan Indonesia.

Sebagian besar kebakaran hutan di Indonesia terjadi akibat pembakaran lahan secara ilegal untuk perkebunan karet, kelapa sawit, dan komoditas lainnya. Kebakaran ilegal ini dapat dengan cepat menyebar di luar kendali. Sejak tahun 2015, Indonesia terus berusaha mencegah kebakaran melalui berbagai kebijakan, utamanya untuk menghentikan kebakaran akibat kegiatan pertanian dan melindungi hutan dan lahan gambut.

Peringatan GFW Fires telah mendeteksi lebih dari 7.200 kebakaran di Indonesia sejak awal tahun. Dibandingkan dengan 19.600 kebakaran yang terjadi di paruh pertama tahun 2015, dan jumlah kebakaran hutan sepanjang tahun 2019 terhitung rendah.

Rekam Jejak Wilayah Terdampak

Dilansir dari regional.inews.id menurut sumber dari BPBD prov.Riau, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau sejak awal 2021 hingga saat ini sudah mencakup area seluas 657,71 hektare. Kebakaran hutan dan lahan terjadi pada 10 dari 12 wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Riau. Sebagaimana Jim Gofur, Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Riau menegaskan “ Kebakaran hutan dan lahan paling luas terjadi di wilayah Kabupaten (200,66 hektare) disusul Indragiri Hilir ( 122,5 hektare), Dumai (109, 1 hektare) dan Siak (72,9 hektare).

Dilansir dari antaranews.com Badan Meteorolgi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan saat ini sebagian Provinsi Riau sudah memasuki musim kemarau dan terdapat tujuh daerah yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Tujuh daerah itu yakni Kabupaten Kepulauan Meranti, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, dan Kota Dumai.” Ujar kepala BMKG Stasiun Pekanbaru.

Gubernur Riau Syamsuar menyatakan penetapan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau terhitung mulai 15 Februari hingga 31 Oktober 2021. Ia mengatakan Kota Dumai dan Kabupaten Bengkalis juga telah menetapkan status siaga darurat bencana karhutla.

Masih dilansir dari antaranews.com Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edward Sanger mengatakan luas lahan terbakar di Riau pada tahun ini mencapai 55,71 hektar. Edwar menuturkan selama awal tahun 2021 telah terdeteksi beberapa kejadian karhutla di kabupaten/Kota di Riau ,yakni di Kabupaten Siak, Bengkalis, Rokan Hilir dan kota Dumai. Data kasus karhutla tersebut yakni Kabupaten Siak luas lahan terbakar sebanyak 33 hektar, Kabupaten Bengkalis 17,7 hektar, Kabupaten Rohil 5 hektar dan Dumai 0,01 hektar.

Menilik Lokasi Titik Panas serta Penyebabnya

Dilansir dari cnn.indonesia.com, Penemuan karhutla sejauh ini masih serupa dengan tren karhutla sejak tahun 2019, dimana Yayasan Madani Berkelanjutan mendapati 44 persen kebakaran terjadi di lahan gambut dan 1 juta hektare lahan terbakar berada di kawasan berizin. Sebagaimana Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya mengungkapkan “Penemuan titik panas di enam kabupaten/kota di Riau kemudian juga hotspot lumayan banyak di lahan gambut. Bahkan ada beberapa di konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HGU (Hak Guna Usaha)”.

Adapun penyebab kian merebaknya lokasi titik panas karhutla masih menjadi perdebatan oleh banyak pihak. Masih dilansir cnn.indonesia.com, Teguh menyatakan bahwa degradasi dan deforestasi serta rusaknya ekosistem gambut yang menjadi beberapa faktor utama penyebab karhutla. Ia menegaskan “karhutla seperti ini akan terus berulang jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama lembaga terkait tidak mendorong upaya pencegahan dalam penanganan karhutla.” Maka dari itu, ia menyoroti kondisi seperti ini perlu menjadi perhatian pemerintah jika ingin meminimalisir karhutla berulang.

Dilansir dari antaranews.com jumlah titik panas indikasi awal kebakaran hutan danlahan terpantau diwilayah Riau naik drastis menjadi 63 dari hanya sembilan sebelumnya. Menurut pantauan BMKG Stasiun Pekanbaru, titik panas indikasi awal karhutla di wilayah sumatera dan 63 di antaranya ada di provinsi Riau. Diwilayah Provinsi Riau, titik panas indikasi awal karhutla terpantau di Kabupaten Bengkalis (18), Kabupaten Pelalawan (32), Kota Dumai (7), Kabupaten Rokan Hilir(4), Kabupaten Kepulauan Meranti (1), dan Kabupaten Indragiri Hilir (1).

Soal Menyoal Pertautan Karhutla dan Omnibus

Dilansir dari mongabay.co.id Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja ternyata berpotensi melemahkan penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kehadiran aturan yang menyederhanakan sekitar 76 aturan ini dianggap jadi hadiah impunitas bagi perusahaan pembakar perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

“Penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia saat ini makin melemah apalagi dengan pengesahan UU Cipta Kerja. Hutan, lahan gambut, masyarakat adat yang terdampak dari kebakaran hutan menghadapi ancaman baru jauh lebih besar,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global Greenpeace Asia Tenggara. Aturan ini hadir, katanya, di saat bumi berada dalam krisis iklim. Seharusnya, pemerintah menjaga hutan tropis tersisa yang memiliki banyak cadangan karbon. Namun, katanya, malah hadir UU Cipta Kerja, yang lebih berpotensi makin memperburuk krisis iklim.

“UU Cipta kerja memiliki banyak upaya deregulasi yang didesain untuk melemahkan perlindungan lingkungan dan menurunkan standar. Ada risiko yang jauh lebih besar. Penegakan hukum makin rendah,” katanya.

Masih dilansir dari mongabay.co.id Rusmahadya Baharuddin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, akan makin lemah dengan ada UU Cipta Kerja. Tanpa ada omnibus law pun, penegakan hukum karhutla sudah lemah.

Beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja dianggap melemahkan penegakan hukum kasus karhutla, seperti, perubahan ketentuan Pasal 88 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sebelumnya, setiap orang yang tindakan, usaha, dan atau kegiatan menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Ketentuan diubah dalam UU Cipta Kerja jadi, setiap orang yang tindakan, usaha, atau kegiatan menggunakan B3, menghasilkan dan mengelola limbah B3, yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian dari usaha.atau kegiatannya

“Dalam UU PPLH sebelumnya, kita betul-betul ada kekuatan ketika menuntut tanggung jawab perusahaan tanpa harus dibuktikan dulu ada unsur kesalahan atau tidak. Sengaja atau lalai, itu tetap jadi tanggungajwab perusahaan.”

Dalam UU Cipta Kerja, katanya, narasi tanpa perlu pembuktian ini diganti dengan ‘dari usaha dan atau kegiatannya.’ “Ini jelas-jelas akhirnya melemahkan.”

Implikasi ini, katanya, dalam proses gugatan, perusahaan akan memanfaatkan celah omnibus law untuk terus mengejar harus ada pembuktian kebakaran di lapangan. Padahal, katanya, strick liability atau tanggungjawab mutlak ini pasal yang sering digunakan pemerintah untuk menuntut perusahaan-perusahaan dengan konsesi terbakar.

Hal lain yang diubah yakni, ketentuan dalam Pasal 49 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebelumnya, pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas kebakaran hutan di areal kerja. Ketentuan ini, katanya, diubah jadi pemegang hak atau perizinan berusaha wajib melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan di areal kerja. Ketentuan ini ditambah klausul pemegang hak atau perizinan berusaha bertanggungjawab atas kebakaran hutan di areal kerja.

“Kalau di pasal sebelumnya itu jelas bertanggungjawab. Jadi, mau sengaja atau tidak, dia tetap bertanggungjawab. Untuk UU Cipta Kerja ini, dilemahkan dengan menambahkan frasa, berusaha bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal kerjanya.”

Ditambah Greenpeace Indonesia menilai materi dan arah Omnibus Law malah akan memperparah tata kelola sistem yang ada di Indonesia. Dilansir dari greenpeace.org hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya upaya penyederhanaan regulasi yang justru berujung pada pelemahan perlindungan lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Omnibus Law yang digencarkan pemerintah saat ini bahkan berpotensi menjadi jalan bebas hambatan bagi maraknya korupsi di bidang pengelolaan sumber daya alam sehingga praktik perusakan lingkungan hidup akhirnya sangat sulit dicegah dan menjadi semakin tidak terkendali.

Rencana penghapusan pasal yang mengandung prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability dalam RUU Cipta Kerja justru akan mempersulit penegak hukum dalam menjerat korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Presiden Jokowi tampaknya lebih senang mencopot Kapolda atau Pangdam yang gagal mencegah karhutla ketimbang mencabut izin perusahaan yang tersangkut masalah kebakaran.

“Pemerintah masih gagal menangani akar masalah karhutla dimana korporasi yang telah terbukti bersalah saja belum semuanya patuh membayar denda putusan pengadilan. Jadi wajar jika masyarakat meragukan keseriusan Jokowi terlebih jika aturannya malah dikebiri,” ungkap Asep Komarudin Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

 

Penulis: Meisa Dwi Lieni

Editor: Nadya Rajagukguk