Dilansir dari cnnindonesia.com, Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah No. 590/20 Tahun 2021 mengenai penetapan Desa Wadas sebagai lokasi penambangan batuan untuk proyek Bendungan Bener dengan dalih proyek strategis nasional menuai kontroversi. Menyoroti hal tersebut, Suara Pers Mahasiswa Universitas Indonesia (SUMA UI) menyelenggarakan diskusi publik dengan topik “Menolak Dikeruk: Wadon Wadas dalam Kacamata Ekofeminisme” pada Selasa malam (22/02) yang dihadiri oleh beberapa pembicara.
Dua Persoalan Utama Wadas
Puspa Dewy, Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengawali diskusi ini dengan pembahasan permasalahan penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) pada proyek Wadas. Ia mengungkapkan, terdapat dua persoalan mendasar dalam proses penyusunan AMDAL proyek pembangunan Bendungan Bener dan penambangan Wadas.
Pertama, secara proses, penyusunan AMDAL ini cacat secara formil karena tidak melibatkan partisipasi penuh masyarakat terdampak. Bahkan, perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses partisipasi. Sosialisasi yang seharusnya dilakukan sebelum izin lingkungan terbit, malah diadakan setelahnya.
Adapun menurut Dewy, kecacatan kedua dari penyusunan AMDAL dapat dikaji secara substansi. Dalam hal ini, pemerintah menggabungkan dampak pembangunan Bendungan Bener dan penambangan andesit padahal kedua proyek ini memiliki dampak yang berbeda.
Dewy menyoroti bahwa kalaupun diadakan penggabungan sudah seharusnya terdapat bacaan dalam AMDAL yang secara spesifik membahas tentang penambangan andesit. Baginya, keberadaan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tidak cukup menjustifikasi tindakan pemerintah. Hal ini dikarenakan tidak adanya pembahasan tentang pertambangan untuk masuk ke dalam kepentingan umum.
Sejalan dengan pemikiran Dewy, Siti Maimunah, seorang peneliti dari Sajogyo Institute, juga turut menyampaikan pandangannya. Ia mengungkapkan bahwa AMDAL saat ini perlu dikritisi lebih lanjut. Hal ini tak lain dikarenakan sejak terbitnya undang-undang Omnibus Law, AMDAL menjadi lebih disederhanakan.
Ia menilai bahwa Pemerintah hanya memperhitungkan dampak dilokasi proyek saja sementara kawasan sekitarnya terabaikan. “Seperti yang Dewy bilang, ini mau bangun bendungan, urusan berkaitan sama bendungan itu dianggap sepaket, padahal pertambangan itu kerusakannya luar biasa” tegasnya.
Kasus Wadas dalam kacamata Ekofeminisme
Melalui diskusi ini, Siti Maimunah mengutarakan pendapatnya mengenai kisruh Wadas berdasarkan perspektif ekofeminisme. Dalam hal ini, ekofeminisme berbicara tentang bagaimana menautkan isu-isu lingkungan dan perempuan. Ekofeminisme juga bisa dimaknai sebagai gerakan perjuangan terhadap keadilan hak-hak perempuan serta lingkungan.
Menilik korelasinya terhadap Wadas, Siti melihat bahwa perjuangan Wadon Wadas dalam menentang pertambangan dapat dipahami sebagai bagian dari ekofeminisme. Adapun Wadon Wadas sebagaimana dilansir dari projectmultatuli.org merupakan organisasi perempuan yang dianggotai warga Wadas untuk bergerak melakukan perlawanan. Organisasi ini menjadi salah satu ujung tombak perlawanan menentang tambang dalam kisruh wadas saat ini.
Adapun terkait perjuangan perempuan, Dewy menyoroti minimnya partisipasi masyarakat terkhusus perempuan di dalam perencanaan tanah Wadas. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Yatimah, salah seorang perwakilan Wadon Wadas yang turut hadir dalam diskusi publik.
“Masyarakat sebetulnya tahu ada pengukuran hari itu, tapi bukan resmi. Warga cuman tahu bocoran dari hp mau ada itu (baca: pengukuran), terus ada yang ngecek ke lapangan Kecamatan Bener ternyata sudah ada tenda-tenda,” ujar Yatimah.
Dalam kesempatan tersebut, Yatimah meminta agar warga Wadas dibebaskan dari perencanaan pertambangan batu andesit. Baginya, hal itu akan menjaga agar Wadas tetap utuh dan sejahtera hingga generasi berikutnya.
“Kami mempertahankan hak yang selama ini kita miliki, kita hidup di sini, dan untuk kelangsungan (hidup) anak cucu nanti. Bukan masalah kita mau melawan pemerintah” ucap Yatimah menyuarakan perjuangannya serta harapan warga Wadas kepada pemerintah. Sebagai penutup, Yatimah turut mengajak seluruh masyarakat untuk memperkuat perjuangan mereka serta untuk tidak terhasut berita-berita yang belum terbukti kebenarannya.
Penulis : Nadia Fitria Rahmadani
Editor : Nadya Rajagukguk