Menurut aman.or.id, pemerintah kerap begitu mudah memberikan izin konsesi hutan kepada korporasi. Akan tetapi, Pemerintah masih sulit dan berbelit untuk mencabut konsesi dan mengembalikannya ke Masyarakat Adat. Menyikapi ketimpangan tersebut, Amnesty International Indonesia Universitas Sumatera Utara, mengadakan diskusi publik bertemakan: “Melindungi Masyarakat Adat sama dengan Menjegal Krisis Iklim” pada sabtu siang (5/02).
Diskusi ini dibuka oleh Dion Pardede, selaku moderator bersama narasumber Adhitya Adhyaksa, selaku Staf Direktorat Informasi dan Data Yayasan Auriga Nusantara. Ia menggeluti spesialisasi di bidang analisis spasial, pemodelan dan manage/vehicle dalam kurun waktu sekitar 5 hingga 6 tahun. Adapun Auriga Nusantara sebagaimana yang termuat dalam auriga.or.id merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam upaya untuk melestarikan sumber daya alam dan lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Polemik Pengesahan Hutan Adat
Dalam diskusi publik tersebut, Adhitya memaparkan permasalahan minimnya pengesahan atas area kelola masyarakat adat dalam bentuk hutan adat. Adapun berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) pada tahun 2020, hutan adat yang telah disahkan seluas 57.000 hektar dan tersebar di berbagai provinsi. Namun dari data tersebut, Adhytia menyatakan sangat sedikit hutan adat yang telah disahkan pada wilayah Sumatera Utara.
Hal ini lantaran pengajuan penetapan wilayah hutan adat oleh pemerintah kabupaten dan masyarakat adat di Sumatera utara tak sepenuhnya disetujui oleh pemerintah pusat. Adhitya menyatakan bahwa wilayah yang ditetapkan sebagai hutan adat hanya mencapai 5000 hektar saja alias tidak mencapai setengahnya dari jumlah wilayah yang diajukan. Pihak pemerintah pusat mengklaim bahwa sebagian (50% dari wilayahnya) merupakan wilayah yang sedang dikembangkan.
“Ternyata hutan adat yang telah ditetapkan oleh KLHK hanya berjumlah satu unit. Hutan itu terletak di kabupaten Humbang Hasundutan dengan luas hanya mencapai 2450ha saja,” ungkap Adhitya (5/02/2022)
Adhitya memberi contoh kasus perjuangan pengesahan hutan adat Tombak Haminjon oleh Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta di Sumatera Utara dari tahun 2009 hingga 2016. Saat itu, terjadi bentrokan antar mereka (baca : pihak perusahaan dan Masyarakat Adat) akibat pihak perusahaan (PT TPL) kala itu hendak melakukan penebangan hutan kemenyan milik Masyarakat Adat di kawasan hutan adat Tombak Haminjon.
Bersumber dari aman.or.id, dalam kejadian tersebut, satuan Brimob yang mendukung perusahaan telah menangkap 31 warga dan menetapkan 16 orang sebagai tersangka. Meskipun demikian, masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta terus memperjuangkan penuntutan agar Tombak Haminjon dilepaskan dari konsesi PT TPL. Mereka terus berjuang untuk menemui berbagai instansi, baik di Sumatera Utara maupun Jakarta demi pengakuan atas hutan adat dan hak-hak mereka.
Akhirnya, pada 30 Desember 2016 alias setelah sembilan tahun perjuangan, Presiden Joko Widodo menyerahkan SK Pengakuan Hutan Adat kepada sembilan Masyarakat Adat yang tersebar di sejumlah daerah di Tanah Air, termasuk hutan adat milik Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta dengan luas 5.172 hektar.
Polemik Perizinan Hutan Adat
Tak hanya polemik pengesahan, Adhitya juga menyinggung terkait persoalan perizinan usaha antara masyarakat adat dengan perusahaan yang seringkali terjadi. Dalam hal ini, Adhitya mengungkapkan bahwa pemerintah cenderung lebih mudah memberikan izin atas konsesi hutan kepada perusahaan ketimbang pada masyarakat adat setempat. Akibatnya, banyak dari terjadi penyusutan di wilayah konsesi yang tidak diketahui oleh masyarakat setempat.
Mengacu pada hal itu, Adhitya memaparkan kasus polemik di wilayah hutan adat Pandumaan Sipituhuta, Sumatera Utara. Dalam kasus tersebut, terjadi persoalan antara Masyarakat adat dan PT TPL dikarenakan mereka ( PT TPL) hendak campur tangan atas wilayah hutan adat tersebut baik dari segi perizinan maupun pengelolaan. Adapun perizinan dan pengelolaan yang dimaksud yakni Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) atas wilayah hutan adat Pandumaan Sipituhuta.
Sebagai penjelas, ditinjau dari data.ntbprov.go.id, Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) merupakan izin yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memanfaatkan dan mengelola Kawasan Hutan dengan fungsi Hutan Produksi (HP). Fungsi disini mengacu pada hak atas pengelolaan dan pemanfaatan bahan baku kayu, bahan baku kertas (pulp) atau energi terbarukan lainnya di wilayah hutan adat.
Melihat itu, Masyarakat adat menuntut hutan adatnya terlepas dari campur tangan PT TPL. Hal ini dikarenakan, masyarakat ingin agar hutan adat di wilayah kawasan tersebut tetap terjaga kelestariannya hingga generasi mendatang . Keteguhan dan kesolidan mereka ( baca : masyarakat Adat) akhirnya mengundang simpati dan dukungan besar dari berbagai kalangan sehingga PT TPL dapat mundur dari hutan Pandumaan-Sipituhuta.
Pentingnya Menjaga Hutan Adat
Dikutip dari republika.co.id masyarakat adat memiliki peranan penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Praktik-praktik menjaga hutan yang dilakukan masyarakat adat terbukti mampu menghentikan penurunan tutupan hutan dalam konteks perubahan iklim dan berkontribusi terhadap penurunan pemenuhan target Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dari pengurangan deforestasi hingga 34,6 persen.
Oleh karena itu, dalam diskusi tersebut Adhitya Adhyaksa menyuarakan kepada peserta diskusi untuk berkontribusi bersama-sama ikut memperjuangkan maupun melestarikan hutan adat. Menghindari kejadian yang terulang kembali, yayasan Auriga Nusantara telah membangun satu data base sebagai antisipasi tentang environmental defenders yang berjuang untuk lingkungan dan mengusahakan dengan tujuan agar pejuang pejuang lingkungan tidak bisa dikriminalisasi.
Penulis : Ramos Christofer
Editor : Nadya Rajagukguk