Hiruk pikuk penundaan penyelenggaraan pemilu yang kian lenyap disaksikan oleh pihak-pihak yang tidak mampu berbuat apa-apa. Pemimpin negeri ini yang menyuarakan janji, konstitusi akan tetap dipatuhi katanya. Isu penundaan Pemilu 2024 kian menjadi topik perbincangan yang dibahas. Isu ini menjadi sangat gempar dan membingungkan publik tentunya. Tak ada yang tahu bahwa kedepannya isu ini akan lenyap karena digantikan oleh isu baru yang lebih menggemparkan publik atau karena telah dilaksanakannya Pemilu 2024 nanti. Entah kaum manuver yang sedang merencanakan hal besar mengenai misi untuk pemecahan publik atau kedepannya mereka akan menentang konstitusi. Pantas atau tidak pantas sudah bukan menjadi hambatan. Sejarah pun kini bukan lagi menjadi patokan.
Adakah kiranya keinginan yang masih terlintas untuk sekedar menghilangkan pikiran antidemokrasi ini?
Survei oleh Litbang Kompas yang dirilis Selasa (15/3/2022), menunjukkan sebanyak 62,3 % setuju pemilu tetap digelar 14 Februari 2024, 25, 1 % tidak mempermasalahkan pemilu ditunda atau tidak, 10,3 % setuju pemilu ditunda 2-3 tahun lagi, dan 2,3 % tidak tahu. Kekuatan mayoritas pada survei tersebut seharusnya telah mampu membuka telinga para pemegang kekuasaan untuk mengambil keputusan yang bergantung pada suara publik. Namun, hal yang mungkin saat ini bisa dilakukan oleh publik hanya menunggu hingga datangnya sebuah keputusan. Entah keputusan tersebut akan menyenangkan kaum manuver dan mengecewakan publik atau bahkan keputusan tersebut akan menyenangkan publik dan mengecewakan kaum manuver. Ya, hanya dua kemungkinan tersebut yang akan terjadi.
Sudah terlihat dengan sangat jelas melalui survei tersebut bahwa publik telah bersikap kukuh untuk menolak gemparan isu baru yang dibuat oleh para elit politik mengenai penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024. Sebagian pelaku birokrasi mungkin juga menolak usulan penundaan tersebut. Seharusnya dengan begitu, terkuaknya ide penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 itu sudah seharusnya diakhiri.
Dalam realisasinya, saat ini demokrasi di negara Indonesia sedang ‘disandera’ oleh para pelaku politik yang bersandar atas nama rakyat, demi dan untuk rakyat. Hal ini tidak lagi menjadi pantas untuk dilontarkan. Ketika rakyat mempertanyakan alasannya apa, salah satu pelaku politik bukannya menjawab, tetapi malah melontarkan pertanyaan kembali yang memungkinkan munculnya berbagai kontra.
“Mengapa harus dilakukan penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024?”
“Apa alasan Orang Nomor 1 itu untuk turun dari jabatannya?”
Mengapa yang dijawab dengan apa. Apa yang ditanya tidak menjawab pertanyaan mengapa. Tidak ada jawaban pasti, tidak ada pernyataan pasti, hanya ada pertanyaan yang tidak dijawab dengan pasti. Jika pun ada alasan yang telah beredar, elit politik terlihat seperti membuat narasi saja mengenai penundaan tersebut. Elit politik menggunakan narasi tentang pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Hal tersebut tidak menjadi logis ketika dasar penundaannya yang masih sangat abu-abu.
Tentunya pertanyaan pelaku politik tersebut menguak jelas mengenai arti dari penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 ini, yaitu untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Bukan hanya jabatan presiden yang diperpanjang melalui penundaan tersebut, namun juga DPR, DPD, dan DPRD.
Semakin disuarakannya arti penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 tersebut, semakin gencar pula penolakan yang akan disuarakan oleh publik. Publik tidak semata-mata menolak penundaan tersebut tanpa alasan yang kuat. Terdapat beberapa alasan mengapa isu penundaan pemilu tersebut harus ditolak. Yang pertama, penundaan tersebut tidak rasional. Yang kedua, penundaan tersebut bertentangan dengan amanat konstitusi. Di mana, konstitusi mengenai hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 7 dan pasal 22E. Isinya adalah “Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan presiden serta wakil presiden hanya dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan”. Yang ketiga, alasan penundaan yang masih dibuat-buat, dan yang terakhir adalah penundaan Pemilu 2024 akan memiliki potensi membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru. seharusnya, masa jabatan presiden menjadi salah satu ciri khas utama pada pembeda antara sistem demokrasi dengan otoritarianisme. Ketika penundaan terjadi maka sistem demokrasi telah berubah juga menjadi sistem otoritarianisme dan datanglah kembali masa Orde Baru untuk kedua kalinya.
Jika bukan itu, dampak yang terjadi dari adanya penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 ini akan menjadikan negara Indonesia terjadi kekosongan jabatan di kursi pemerintahan. Hal ini tentu menjadi mimpi buruk bagi negara Indonesia. Konstitusi kian tidak bermakna di mata para elit politik. Ketika penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 terjadi tanpa adanya alasan konstitusional yang jelas, tentu hal ini akan menimbulkan huru-hara di berbagai daerah di Indonesia, sehingga negara Indonesia sedang dihadapkan dengan situasi yang darurat.
Saya setuju dengan pendapat salah satu peneliti LIPI, Mochtar Pabottingi melontarkan pendapatnya bahwa ketika penundaan Pemilu 2024 terjadi maka pihak yang diuntungkan adalah pihak yang memegang kekuasaan.Serta pihak-pihak yang berada di sekitar pemegang kekuasaan tersebut. Beliau menambahkan lagi bahwa kekuasaan memang menjadi penggoda di berbagai situasi. Namun, perlu diingat pula bahwa kewarasan politik masyarakat dapat bangkit bahkan mampu mengulang semua irasionalitas-nya. Pendapat tersebut menuai kesimpulan bahwa, para pemimpin bangsa dan para pemegang kekuasaan lain di roda pemerintahan diminta untuk memahami ada rambu-rambu yang seharusnya tak boleh dilanggar.
Isu yang muncul terkait penundaan Pemilu 2024 tentunya tidak dapat dihentikan dan dilarang. Negeri Indonesia memang negeri yang demokratis, siapapun mampu dan bisa memberikan pendapatnya. Namun, janji pemimpin negeri tentu harus bisa dipegang.
Penulis: Melky Lelyta
Editor: Ilham Laila