Penulis: Iko Dian Wiratama
Hari Kamis bulan lalu ada hari libur nasional. Rindu akan kehangatan keluarga yang sudah tak terbendung lagi telah memburuku untuk pulang ke kampung halaman. Ruang perkotaan yang padat telah menutup ruangku untuk berkomunikasi pada keluarga. Hiruk-pikuk perkotaan justru sering kali melahirkan keterasingan berbalut keramaian. Hutan beton yang menjulang tinggi alih-alih menyajikan keindahan justru menyisakan sajian lorong-lorong penindasan.
Hamparan padi yang hijau dan suara tonggeret yang memecah kesunyian hutan selalu membuatku rindu. Entah apa yang membawa ku berada dalam ruang perkotaan yang sebenarnya tidaklah lebih baik dari kampung halaman ku. Terkadang itu pula yang membuat ku bertanya-tanya mengapa orang-orang ditempatku sangat ingin tinggal di perkotaan.
Pagi di Hari Kamis itu aku berangkat dengan kuda besi ku yang tua untuk melepaskan rinduku pada keluarga. Ku susuri jalanan sembari mengamati bagaimana hari ini dunia bekerja. Hutan beton dan berkaca itu membuat perjalananku terasa membosankan dan melelahkan. Siang hari aku sampai pada perbatasan antara kota dan desa. Namun kemudian aku merasa ada yang janggal. Terakhir kali melewati jalan ini kira-kira sembilan bulan yang lalu, aku melihat ada perkampungan di ujung jalan dan ramai anak-anak kecil yang bermain bola di lapangan samping kampung itu.
Hari itu benar-benar berbeda, perkampungan itu hilang hanya ada sisa puing-puing bangunan. Aku putuskan untuk berhenti sejenak sembari beristirahat. Diantara puing-puing bangunan itu aku melihat ada anak kecil yang duduk sendiri diatas bolanya. Aku ambil air minum dalam tasku dan mendatangi anak kecil itu. Dari kejauhan nampak badannya yang kurus dan terlihat lemas. Lalu aku sodorkan minum “nak, mau minum?” tanyaku pada anak kecil itu.
Kemudian dia menatapku dengan tatapan yang kosong sambil mengambil air minum yang aku sodorkan. Lalu aku mengajak anak itu untuk duduk di bawah pohon asem tempat aku memarkirkan motor sembari aku ajak dia bercerita. Anak kecil ini mengingatkanku pada adikku yang masih kelas 5 SD, namun bedanya ia terlihat lebih kurus. “Kemana pulang mu nak?” tanyaku.
Dia terdiam sambil menatapku kembali dan mengangkat tangannya sambil menunjuk ke suatu tempat seakan memberi tahu dimana ia tinggal. Aku bingung mengapa anak ini menutup diri dan tidak terlihat ceria seperti anak kecil seumurannya. Dia masih terdiam lalu menangis dan berlari ke tempat yang ia tunjuk tadi. Aku pun mengejarnya lalu aku memeluknya. “Ada apa dengan mu, nak?” tanya ku.”Aku rindu ayah ibu dan tempat ku bermain,” jawabnya padaku. “Dimana ayah ibu dan rumahmu? Aku antar kamu pulang,” tanyaku lagi. Dia mengajakku berjalan diatas puing-puing bangunan itu sambil menangis. Langkah kami terhenti yang ternyata puing-puing di bawah kami adalah rumahnya. Dia pun pada akhirnya bercerita tentang keluarga dan rumahnya.
Puing-puing bangunan yang kami duduk di atasnya ini ternyata memiliki banyak cerita bagi anak itu. Dulu ia tinggal bersama bapak dan ibu nya di sini. Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu bapaknya meninggal karena sakit. Ibunya yang hanya seorang buruh cuci tidak mampu untuk membiayai biaya pengobatan yang mahal untuk bapaknya yang sakit. Apa yang dipunya telah habis dijual untuk biaya pengobatan, sekolah, dan hidup sehari-hari karena bapaknya tidak lagi mampu untuk bekerja. Anak itu tinggal bersama ibu nya saja setelah bapaknya meninggal. Belum lama kesedihan melingkupi keluarga anak itu. Kira-kira 100 hari sepeninggalan bapaknya, sang ibu mendengar kabar kalau desa yang mereka berdua tinggal disana akan dibuat untuk proyek jalan tol. Mereka yang hanya masyarakat biasa juga tidak memiliki kekuatan untuk melawan apalagi untuk berkata tidak.
Hal itu membuat Sang Ibu takut dan bingung. Karena rumahnya yang kecil. Anak dan ibu itu bingung kemana nanti mereka akan pergi. Kemana mereka akan mencari tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah mengetahui digusurnya rumah mereka hal itu membuat ibu itu tertekan. Beberapa hari setelahnya ibu dari anak itu kondisinya menurun. Ibu sang anak itu menerima pukulan psikis yang sangat berat. Namun dengan kondisinya yang sakit ia juga tidak dapat mengandalkan siapapun karena bapak telah pergi dan anak harus tetap makan. Akhirnya ibu masih dengan semangatnya tetap bekerja dengan kondisi yang terus menurun.
Beberapa bulan kemudian satu persatu rumah mulai menerima penggusuran dan ganti ruginya. Satu persatu sumber ingatan dan kenangan masyarakat itu mulai dihancurkan. Proses penggusuran pun seperti biasanya ada penolakan. Tetapi semakin menolak justru malah semakin terhimpit semakin dibuat terpaksa untuk menerima.
Satu persatu masyarakat pun pergi karena rumah yang mereka tempati juga telah tiada. Ada yang masih menunggu giliran dan ada pula yang memilih tetap bertahan karena satu dan lain hal. Aku heran apa yang sebenarnya benar-benar orang cari. Ketika jalanan macet, jalur distribusi menjadi tersendat. Mereka mengadakan akses yang luas untuk masyarakat kelas atas tapi sebaliknya akses masyarakat kecil dibatasi. Ya, karena masyarakat kecil tidak perlu memerlukan jalan tol. Mereka hanya menginginkan kenyamanan hidup, biaya sekolah, kesehatan dan kebutuhan sehari-hari yang murah. Yang di tengah mendesak ke pinggir, yang dipinggir semakin terjepit. Apa mungkin memang seperti itu dunia ini bekerja.
Ibu dari anak itu pun kehilangan kesempatan untuk bekerja dan penggusuran itu pun pada akhirnya membuat mereka untuk hijrah ke kota. Kehilangan tempat untuk bekerja dan rumah tempat ia menyimpan ingatan-ingatannya menjadikan pukulan psikis yang cukup berat bagi sang ibu. Anak itu, dari hari ke hari kondisinya semakin menurun. Entah kemana mereka akan pergi untuk mencari ruang hidup.
Penggusuran yang dilakukan pada wilayah-wilayah pinggiran seringkali memberi dampak yang besar bagi masyarakat. Mereka yang tergusur pindah ke kota menjadi kaum miskin perkotaan, bekerja di sektor informal dengan upah minim, serta kualitas dan standar hidup yang rendah. Mereka menempati rumah dan tanah yang dianggap berstatus illegal atau bantaran kali. Mereka tidak dianggap sebagai penduduk kota, melainkan penduduk gelap yang tidak ber-KTP wilayah kota setempat.
Tidak ada rasa aman untuk mendiami rumah, sebab sewaktu-waktu rumah mereka dapat dihancurkan. Dengan berbagai alasan seperti pemukiman mereka tidak layak huni dan menyerobot tanah Negara. Alasan lain yang dipakai oleh pemerintah untuk menggusur adalah demi kepentingan umum dan pembangunan.
Penggusuran-penggusuran jarang diikuti dengan pengadaan rumah pengganti yang layak atau memadai. Sering kali korban penggusuran dipaksa untuk menerima ganti rugi berupa uang yang tidak akan cukup untuk membeli rumah atau tempat tinggal. Atau, mereka dipaksa untuk tinggal di lokasi yang ditentukan pemerintah, padahal lokasi tersebut jauh dari tempat mereka bekerja dan sekolah anak-anaknya. Kebijakan yang diskriminatif dapat terlihat dari kebijakan penggusuran yang lebih mementingkan kepentingan pengusaha dan pemilik modal ketimbang kebutuhan masyarakat miskin akan rumah. Di banyak tempat, lokasi bekas penggusuran kemudian dibangun berbagai sentra bisnis, yang memberi keuntungan finansial langsung kepada pemerintah, sementara orang yang digusur tak jelas nasibnya.
Aku akhirnya mengerti mengapa anak itu berbeda dari anak seumurannya. Ternyata kemurungan dan hilangnya keceriaan pada diri anak itu adalah dampak dari apa yang telah dia lalui. Aku khawatir akan dirinya yang masih kecil mendapat derita yang cukup berat. Orang-orang yang dia sayang telah pergi beserta tempat ia tinggal. Kini sang anak itu hanya bersama bolanya.