Penulis: Hendra Kristopel
Presiden Jokowi menyesali adanya tindakan kontradiktif dari masyarakat terhadap program pembangunan infrastruktur yang sedang digalakkan pemerintah. Sebagaimana pernyataanya yang dikutip dalam berita Kompas “Kita ini mau bangun jalan tol ribut masalah lahan, ramai masalah pembebasan lahan, bolak balik ramai, stop enggak berjalan karena masalah ini,” kata Jokowi saat penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2016 di IstanBogor Jawa Barat, pada Selasa, 23 Mei 2017. Dari pernyataan tersebut kemudian terbesit pertanyaan apakah pembangunan dapat digeneralisir sebagai sebuah tindakan yang memaslahatkan? Apakah pembangunan menjadi aktivitas bergerak yang murni untuk mencapai kesejahteraan? Dan apakah pembangunan memang menjadi kebutuhan yang tak bisa diganggu gugat?
Melihat apa yang ditanamkan oleh rezim orde baru dan masih terasa hingga sekarang ialah konsep ‘suci’ developmentalism yang dibuka besar-besaran. Hangatnya persetubuhan antara konsep modernisasi dengan pembangunan. Keran investasi dibuka total dan dikuatkan melalui legitimasi. Perusahaan nasional dan multi-nasional memainkan peran yang sangat tinggi dalam mengendalikan perekonomian nasional. Tergambar jelas melalui proyek-proyek pembangunan nasional yang sangat digencarkan. Hingga kini pola pembangunan yang sedemikian rupa terus dirawat, tumbuh bahkan dijadikan ideologi kekuasaan.
Sampai saat ini, pembangunan digadang-gadang sebagai alat mencapai kesejahteraan. Pembangunan pun ditempatkan pada level kebutuhan pokok suatu negara. Lantas bagaimana ketika pembangunan justru merusak tatanan sosial, merusak hubungan manusia dengan lingkungannya, bahkan sampai merenggut ruang-ruang milik masyarakat? Jelas ini bukanlah hal yang dilematis, bukan sebuah hubungan resiko atau konsekuensi. Hal ini lebih mencerminkan keberpihakan. Ketika pembangunan diartikan sebagai kemajuan, nampaknya berbeda bagi mereka yang terpinggirkan. Seperti kisah sederhana dalam perjalanan hidup Selo Sumardjan namun membawa perspektif besar dalam melihat pembangunan. Ketika ia berada di sebuah kota kecil di luar Jakarta, ia bertemu dengan penduduk di sana dan bertanya dari mana orang itu datang. Jawab si penduduk: “Saya dulu tinggal di Jakarta, tetapi karena ada pembangunan, saya terpaksa mengungsi kemari.” Jawaban sederhana itu nampaknya punya arti yang besar. Bagi mereka pembangunan tak berarti apa-apa, justru menghadirkan malapetaka dan mendamparkan hidup mereka.
Ditambah lagi, atas nama pembangunan juga, pemerintah dapat memberangus kritik-kritik terhadapnya. Kritik dilihat dapat mengganggu stabilitas politik, karena akan mempengaruhi proses jalannya pembangunan. Seperti halnya yang terjadi pada tahun 1990, pementasan-pementasan Teater Komandan dan pembacaan sajak oleh W.S. Rendra yang mempersoalkan nasib orang kecil yang tersingkir, dilarang! Mungkin memang beda rezim, tapi kekejaman tetap terasa hingga kini, sampai-sampai petani di Desa Sukamulya ditembakkan gas air mata secara membabi buta. Petani lari kocar-kacir ke hamparan pematang sawah dan membasuh wajah mereka menggunakan air yang mengalir di parit-parit kecil ketika mereka melakukan aksi penolakan pengukuran lahan pertanian yang akan disulap untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Pembangunan bandara disanapun harus dikatakan hanya sebagai satu dari sekian banyaknya tindakan kerdil kekuasaan menentang perjuangan rakyat.
Pembangunan dalam Skema Global
Ketika ditelisik lebih jauh, pembangunan yang dielu-elukan sudah menjadi agenda politik global. Pembangunan bukan lagi kepentingan nasional. Dalam tren modern, suatu negara dikatakan miskin karena kesalahan negara-negara yang terbelakang tersebut. Keterbelakangan dikatakan sebagai akibat dari keterlambatan negara-negara tersebut melakukan modernisasi dirinya. Hubungan internasional juga dianggap penting dalam arti kontak dengan dunia luar, dianggap dapat membantu negara-negara yang dikatakan terbelakang tadi. Khususnya dalam pengenalan nilai-nilai modern, pemberian modal, pendidikan dan transfer teknologi.
Namun kemudian munculnya paham tersebut tak lepas dari kritikan tajam. Kemiskinan yang terjadi pada negara-negara, yang khususnya memiliki basis agraris, adalah akibat dari struktur perekonomian global yang sangat eksploitatif. Hal itu terlihat dari adanya perdagangan bebas yang lebih tepat dikatakan sebagai pertarungan modal. Arief Budiman, seorang sosiolog, mengibaratkannya seperti sebuah persaingan antara dua tim sepakbola. Tim yang sukses dan lebih kaya, pada akhirnya akan membeli pemain-pemain terbaik dari tim yang lemah. Akibatnya, tim yang lemah bukan saja dikalahkan dalam persaingan, tetapi juga akan terus mundur dan akhirnya hancur, karena unsur-unsur yang paling potensial bagi tim ini untuk maju justru direbut oleh tim yang lebih kuat.
Seperti yang dikatakan Paul Baran, seorang pemikir marxis, bahwa kapitalisme di negara-negara pusat akan berkembang ketika meningkatnya produksi diikuti dengan tercabutnya masyarakat petani dari pedesaan. Produksi komoditi juga meningkat yang mengakibatkan terjadinya pembagian kerja antara sebagian orang menjadi buruh, yang menjual tenaga kerjanya. Sehingga sulit menjadi kaya dan sebagian lagi menjadi majikan yang bisa mengumpulkan harta. Harta dari tangan para pedagang dan tuan tanah diakumulasi oleh negara kapitalisme. Faktor inilah yang membuat surplus ada di tangan para pedagang dan tuan tanah kemudian diinvestasikan ke bidang industri. Sementara yang terjadi pada negara berkembang adalah munculnya kekuatan ekonomi asing dalam kekuatan modal. Hal tersebut membuat negara-negara berkembang mengalami penyusutan sebagai akibat dari datangnya modal asing.
Perebutan Ruang
Kebijakan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membagi Indonesia ke dalam enam koridor utama berbasis komoditas utama. Dimana antara koridor satu dengan yang lainnya harus memiliki konektivitas untuk memperlancar aktivitas dan eksplorasi ekonomi. Adanya proyek MP3EI ini memperbesar dominasi pemerintah dalam terciptanya konflik-konflik lahan. Dilanjutkan oleh Jokowi, melalui Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, Presiden Jokowi menuangkan 245 proyek strategis diantaranya pembangunan ruas jalan tol, infrastruktur kereta api, bandar udara, pelabuhan, bendungan, dan kawasan industri. Program-program ini diklaim sebagai kebutuhan publik. Namun kemudian muncul ekses buruk dari pembangunan, dimana pada tahun itu pula tercipta 450 konflik lahan. Atas nama pembangunan, setiap perampasan ruang akhirnya dilegalkan. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan produk hukum turunannya juga menjadi tanduk yang melegitimasi perampasan.
Pola pembangunan yang seperti ini kemudian terus digencarkan. Pembangunan yang membabi buta ini pun sudah didukung lewat produk-produk hukum. Tren pembangunan yang ada saat ini tujuannya bukan kepada mempermudah akses masyarakat. Tren ini harus dilihat bahwa saat ini yang coba dibangun adalah konektivitas-konektivitas antar daerah. Khususnya membangun integrasi daerah satelit, agar produksi lebih besar, biaya produksi dapat ditekan, pasar diperluas, dan perputaran modal dapat lebih cepat bergulir. Pembangunan seperti ini lebih memberi makna untuk memperlebar alat dan operasional bagi aktivitas kapitalisme. Parahnya adalah pola seperti ini sangat menunjukan timbulnya kontestasi kepentingan dalam perebutan ruang. Henri Lefebvre, seorang sosiolog Prancis, mengatakan bahwa ruang abstrak dihasilkan dari serangkaian relasi, praktik ekonomi, politik, dan teknologi budaya. Konseptualisasi ruang bermunculan dan mencoba menggeser pemaknaan masyarakat terhadap ruang. Padahal ada nilai pemaknaan manusia yang sudah terikat dengan ruangnya. Pengetahuan ataupun persepsi yang menyentuh level emosi dan personal bagi diri masyarakat akan memunculkan hubungan yang melekat antara ruang dengan kehidupan, yang disebut Lefebvre sebagai lived space. Ruang ini kemudian harus terancam oleh proyek-proyek pembangunan. Praktik spasial yang sudah melekat pada masyarakat akhirnya terancam hancur. Pembangunan yang rakus akan ruang telah mengabaikan unsur-unsur fundamen tersebut.
Lantas apa yang membuat kita terus menerus melakukan industrialisasi dan menggalakan infrastruktur? Peter Evans, seorang sosiolog, menyebutnya sebagai dependent development atau pembangunan dalam ketergantungan. Negara-negara pinggiran dikatakan akan melakukan pembangunan dan industrialisasi secara terus-menerus. Kaum borjuasi lokal dilibatkan secara aktif dan juga akhirnya memunculkan perusahaan-perusahaan multinasional raksasa. Jalan kemajuan ekonomi sebagai tujuan pembangunan yang dikejar oleh negara sudah dikonstruksi melalui wacana ekonomi yang sudah mendominasi. James Scott, seorang antropolog, mengatakan bahwa perspektif lain dari masyarakat untuk membangun kehidupan ekonominya selalu terabaikan. Ia melihat seperti bahwa harus ada moralitas dalam kehidupan ekonomi. Sebagaimana ia meneliti kehidupan petani-petani di pedesaan yang lebih mementingkan kehidupan subsisten dan keterjaminan pemenuhan ruang hidup dengan resiko yang minimal. Setidaknya James Scott memberikan pencerahan bahwa tujuan pembangunan yang ada masih harus dicermati dan tidak dapat selalu dibenarkan. Semoga tidak ada lagi rakyat yang harus menyingkir ke hutan bersama arwah nenek moyang, seperti pada rakyat Papua yang tanahnya terus-terusan dirampas. Untungnya di hutan masih ada sagu, katanya.