Siang ini cuaca sangat cerah hingga terik matahari terasa begitu menyengat. Aku memperhatikan area sekitar sembari merogoh ponsel di kantong celana hijau yang kukenakan. Setelah melihat layar ponsel yang menampilkan pemandangan Pegunungan Himalaya, kuarahkan jariku menelusuri laman peramalan cuaca hari ini. Benda persegi itu menginformasikan bahwa suhu udara sudah mencapai angka 29℃. Aku menghela nafas dan memutuskan untuk mencari pohon rindang yang bisa kujadikan tempat berteduh. Setelah berjalan menyusuri daun-daun tumbuhan tebu yang sudah mulai meninggi, samar-samar aku bisa mendengar suara aliran sungai. Bagus sekali, pikirku. Aku bisa berdiam di pinggiran sungai sembari menikmati kotak makan siang yang sudah kusiapkan sebelumnya.

Akan tetapi, sepertinya rencana makan siang kali ini tidak seindah yang kubayangkan. Aku merasa nafsu makanku telah menguap sejak melihat kondisi sungai yang ada di hadapanku. Selain aliran arus yang tidak begitu deras, airnya yang berwarna keruh serta bau limbah yang menusuk hidung kerap membuat perut mual dan ingin segera pergi dari tempat itu. Sial, umpatku dalam hati. Rencana yang sudah kususun sejak tadi pagi untuk bisa menyantap bekal makanan di tepi sungai sepertinya sudah tidak mungkin terealisasikan.

Tidak jauh dari tempatku berpijak sekarang, suara dengungan mesin-mesin produksi dan hiruk pikuk kendaraan berat juga mulai akrab didengar telinga. Kuedarkan pandanganku jauh ke depan, menyisir area sekitar yang kira-kira bisa dijadikan tempat nyaman untuk berteduh. Dari kejauhan samar-samar aku bisa melihat siluet seorang pria di samping gubuk kecil yang dinaungi akar gantung dari pohon beringin. Tanpa menunggu lama lagi, kulangkahkan kakiku menuju gubuk kecil tersebut. Saat telah dekat dengan gubuk, aku dapat melihat sosok pria berusia sekitar empat puluh tahunan tengah berjongkok di dekat aliran sungai kecil yang letaknya bersebelahan dengan gubuk.

“Siang Pak,” ujarku memberikan salam kepada pria yang sedang mengulurkan pancing di depanku ini.

“Siang. Mau mancing juga, Mas?” balas sang pria yang kembali bertanya padaku.

Mboten, Pak. Mau lihat-lihat area sekitar sini aja. Perkenalkan Pak nama saya Dimas,” jawabku dengan sopan yang kusertai uluran tangan untuk memperkenalkan diri.

“Saya Sugeng, tapi orang-orang suka manggil Bagong, katanya mirip sama tokoh Punakawan itu,” ujarnya dengan senyum ramah dan gestur tangan yang mempersilahkan aku untuk duduk di sampingnya

Aku menyetujui isyarat Pak Bagong untuk duduk di sampingnya. Lumayan bisa neduh dulu sambil ngobrol bentar, ujarku dalam hati.

“Mas Dimas kesini tadi mau lihat apa? Disini sekarang wis ora ono sing menarik. Wis ora podo koyo mbiyen maneh,” tanya Pak Bagong sembari melemparkan umpan pancingnya.

(Mas Dimas kesini tadi mau lihat apa? Disini sekarang sudah tidak ada yang menarik. Sudah tidak sama seperti dahulu lagi)

Menanggapi ucapan Pak Bagong, aku menjelaskan singkat kondisi area sungai yang telah kujumpai tadi, “Iya Pak. Sekarang hutannya sudah ditebang semua. Saya juga tadi sempat kaget lihat sungai yang sudah tercemari limbah pabrik,” ujarku.

“Itu sudah lama, Mas. Sejak pabrik ini beroperasi ya mau nggak mau semua pohon disini harus diganti tebu. Buat kebutuhan produksi pabrik gula,” jelasnya dengan telunjuk yang mengarah pada lokasi pabrik gula berada.

Aku terdiam sejenak, lontaran jawaban Pak Bagong berhasil mengingatkanku akan kejadian sekitar sepuluh tahun lalu. Aku berusaha memutar kembali ingatan saat-saat dimana wacana pembangunan pabrik gula oleh PT PEN akan mulai direalisasikan. Sejak awal berita itu tersebar, kami dituntut untuk bisa antusias dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan pabrik. Pabrik yang digadang-gadang menjadi salah satu pabrik gula terbesar di Indonesia. Saat itu, jalan-jalan yang sebelumnya masih rusak mulai dibenahi dengan harapan dapat memudahkan akses ke jalan utama. Disaat yang bersamaan, banyak pula pejabat negara yang datang berkunjung, mulai dari presiden, menteri, gubernur, serta bupati yang beberapa kali meninjau proses pembangunan. Pendirian pabrik gula dapat menyerap banyak tenaga kerja dari putra dan putri bangsa, begitu narasi yang diberikan untuk mendapat dukungan positif dari masyarakat. Tidak banyak memori yang dapat kuingat dari sepuluh tahun lalu. Entahlah, aku hanya dapat mengingat dengan jelas bagaimana tempat yang kupijak saat ini dulunya pernah menjadi tempat ternyaman untukku. Aku hanya dapat mengingat bagaimana syahdunya membaca buku di bawah pohon rindang dengan ditemani kicauan burung-burung cantik. Aku hanya dapat mengingat gerombolan monyet yang bergelantungan di atas pohon dan terkadang turun untuk mencuri makanan teman-temanku. Aku hanya dapat mengingat bagaimana segarnya udara yang bisa kuhirup dengan bebas, bagaimana mudahnya mendapatkan air yang bersih dan jernih, bagaimana mata dimanjakan dengan gumpalan awan putih di langit biru yang cerah, bagaimana-

“Ini ada kopi sama gorengan. Monggo Mas ora usah sungkan,” Ujar Pak Bagong membuyarkan lamunanku

(Ini ada kopi sama gorengan. Silahkan mas tidak perlu segan)

Matur suwun, Pak.” Balasku kembali tersadar bahwa pembicaraan sebelumnya dengan Pak Bagong masih belum selesai

(Terima kasih, Pak)

“Saya disini juga kerja, Mas. Sedang diamanahi untuk menjaga lahan tebu dari orang-orang yang punya niatan buruk,” ungkap Pak Bagong dengan pandangan yang masih fokus ke arah pelampung pancingnya.

“Sudah lama kerja disini, Pak?” tanyaku sembari menyeruput kopi hitam buatan Pak Bagong.

“Belum lama Mas, kiro-kiro limang tahunan. Lumayan bayarane iso gawe nyekolahke anak,” balas Pak Bagong yang diiringi dengan segaris senyum tipis di wajahnya.

(Belum lama mas, kira-kira lima tahunan. Lumayan gajinya bisa buat menyekolahkan anak)

Mendengar perkataan Pak Bagong, tiba-tiba saja aku tertarik untuk mengetahui tanggapan dan perspektif warga di sekitar pabrik terhadap kondisi lingkungannya. “Tapi sayang ya Pak, lingkungan sekitar sini jadi rusak akibat kegiatan pabrik,” ungkapku.

“Serba repot, Mas. Mayoritas penduduk sini ya rata-rata sekarang kerja di pabrik semua. Bayarannya jelas, buat makan sama kebutuhan sehari-hari cukup, bisa ketemu keluarga setiap hari. Wong cilik koyo awake dhewe iki ora usah muluk-muluk. Sing paling penting iso mangan, kumpul karo anak bojo wis cukup.” Aku menganggukkan kepala sebagai respon atas perkataan Pak Bagong, sembari mencoba untuk berpikir dan memahami sudut pandang yang Pak Bagong berikan.

(Serba repot, Mas. Mayoritas penduduk sini ya rata-rata sekarang kerja di pabrik semua. Bayarannya jelas, buat makan sama kebutuhan sehari-hari cukup, bisa ketemu keluarga setiap hari. Orang kecil seperti kita ini tidak usah berharap lebih. Yang paling penting bisa makan, kumpul bersama anak istri sudah cukup)

Sesaat setelah Pak Bagong berbicara, dari kejauhan terlihat anak perempuan sedang berlarian sambil berteriak memanggil Pak Bagong. Anak itu berlari sangat cepat dengan raut wajah panik. Saat telah berada di hadapan Pak Bagong, anak perempuan berbaju merah itu langsung menghambur ke pelukan Pak Bagong dengan nafas yang tidak beraturan dan isak tangis yang semakin jelas terdengar. Anak itu yang kemudian kuketahui bernama Maria, keponakan dari Pak Bagong. Maria bercerita bahwa istri Pak Bagong terkena gigitan ular dan sedang dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan segera. Mendengar kabar yang disampaikan oleh Maria, Pak Bagong terlihat kalut dan segera berlarian bersama Maria menuju perkampungan. Aku yang tidak tahu hendak melakukan apa, sontak saja langsung berlarian mengekori jejak mereka.

Sesampainya di kediaman Pak Bagong, terlihat istrinya terbaring di ruang tamu dan ditemani oleh 4 orang lainnya, yang menurut perkiraanku merupakan saudara dari Pak Bagong. Sesaat setelah melihat kondisi istrinya, aku melihat jika Pak Bagong sempat menitikkan air mata yang kemudian dengan cepat ia hapus menjadi senyuman hangat dan menenangkan. Ia juga tidak berhenti mengucapkan syukur sambil memeluk istrinya seolah tidak rela jika harus kehilangan istrinya saat itu juga.

“Alhamdulillah, Sari ora opo-opo. Untunge mau ndang digowo menyang rumah sakit. Yen ora, bakal telat lan racune iso nyebar,” Papar seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di samping Bu Sari -istri dari Pak Bagong.

(Alhamdulillah Sari tidak apa-apa. Untungnya tadi cepat dibawa ke rumah sakit. Jika tidak, akan telat dan racunnya bisa menyebar).

Matur suwun, Mbak Pur. Njenengan sampun ngrumati Sari,” balas Pak Bagong.

(Terima kasih, Mbak Pur. Anda sudah merawat Sari).

Iyo, podo-podo. Wis sing penting saiki kabeh podo slamet,” jawab Mbak Pur dengan nada yang menenangkan.

(Iya, sama-sama. Sudah yang penting sekarang semuanya selamat).

Di tengah perbincangan, salah satu pria yang sebaya dengan Pak Bagong tiba-tiba beranjak dari duduknya dan mengajakku untuk berbincang di teras rumah Pak Bagong. Aku pun menyetujuinya dan ikut duduk di kursi teras.

“Saya Suryono Mas, panggil Sur saja. Ketua RT di lingkungan sini,” ujarnya dengan tangan kanan yang memegang sepuntung rokok.

“Iya pak, perkenalkan saya Dimas. Tadi ikut Pak Bagong dari ladang kesini,” tuturku berusaha menjelaskan perihal kedatanganku ke kampung ini.

“Mas Dimas ini saudaranya Pak Bagong?” Tanya Pak Sur dengan raut muka penasarannya.

“Bukan, Pak. Saya kebetulan tadi bertemu Pak Bagong sewaktu jalan-jalan di sekitar lahan tebu,” terangku pada Pak Sur dengan tenang dan senyum ramah.

Pak Sur menghela nafas sejenak, menikmati gulungan tembakau yang setia diantara jemari tangan sambil mengepulkan asapnya ke udara, “Asli orang sini juga toh, Mas?” tanyanya kembali padaku.

“Iya dulu, Pak. Sekarang sudah pindah kota” jawabku dengan singkat. Aku sedang malas untuk menceritakan dimana tempat tinggalku saat ini dan apa alasan aku pindah kesana. Tidak semuanya harus kita ceritakan, bukan? Apalagi pada orang yang baru pertama kali bertemu.

Oalah gitu, gimana lihat kondisi sekarang? Kaget ndak, Mas?” Pak Suryono kembali bertanya disertai dengan gerakan kepalanya yang sesekali mengangguk pada warga sekitar yang lewat di depan rumah Pak Bagong.

“Lumayan, sudah banyak yang berubah Pak,” kataku menjawab pertanyaan Pak Sur.

“Ya begitulah, Mas. Jika dibandingkan dengan dulu mungkin infrastruktur kita terlihat semakin maju, jalan-jalan sudah bagus semua, ada sekolah sama rumah sakit juga jadi tidak perlu jauh-jauh ke kota,” jelas Pak Sur dengan perlahan sembari menghisap batang rokok di mulutnya. “Tapi dampaknya kan bukan cuma itu saja. Kalau dilihat lagi saya cukup miris dengan kondisi sekarang, Mas,” sambungnya lagi melanjutkan perkataannya yang sebelumnya.

“Miris kenapa, Pak?” ujarku kembali bertanya

“Alam kita jadi rusak, semuanya mulai dari hutan, sungai, dan udara sudah banyak yang tercemar. Apa iya untuk mendapatkan fasilitas dan pembangunan infrastruktur yang layak harus merusak alam seperti itu? toh kita kan apa-apa selalu bayar pajak juga ke pemerintah,” ungkap Pak Sur dengan nada rendah dan sedikit penekanan yang khas dengan logat jawanya.

“Tapi tadi menurut cerita Pak Bagong, katanya sudah banyak warga sini yang bergantung ke pabrik, Pak. Buat sumber penghasilan mereka,” balasku kembali teringat perkataan Pak Bagong saat perbincangan kita di lahan tebu.

“Kalau hal itu memang benar dan tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataannya juga demikian. Masalahnya kan manusianya yang serakah, Mas.”

“Serakah bagaimana, Pak?” tanyaku penasaran atas pernyataan yang Pak Sur berikan.

“Ya serakah, dari yang awalnya buka lahan sekian hektar saja, eh beberapa tahun lagi lahan lainnya ikut dibabat juga. Sama halnya dengan pembuangan limbah pabrik, yang seharusnya melewati proses tertentu terlebih dahulu, malah langsung dibuang begitu saja ke sungai. Tadi itu kan salah satu dampak dari kegiatan manusia juga. Hewan-hewan sudah merasa terancam, rumah mereka sudah hilang semua. Jadi ya mereka masuk ke pemukiman warga.”

“Lalu bagaimana respon dari pihak pabrik?” Tanyaku lagi pada Pak Sur

“Ya tidak ada respon. Kita sudah tidak banyak berharap, sudah lelah. Pernah dulu kita mengajukan keluhan terkait sulitnya sumber mata air, mungkin juga usulannya hanya ditampung. Sebelas dua belas lah sama dewan perwakilan kita, menampung aspirasi tapi minim aksi. Kalau kata peribahasa, anjing diberi makan nasi, bilakah kenyang?” sahut Pak Sur disertai dengan susulan tawanya di akhir kalimat. Aku yang tidak tahu hendak menimpali balasan apa, refleks ikut tertawa juga mendengar perkataan itu.

Usai berbincang dengan Pak Sur, aku memutuskan untuk pamit dan kembali ke rumah. Dari kunjunganku ini aku belajar untuk memahami bahwa alam maupun lingkungan yang kita tempati akan terus mengalami perubahan, entah itu disebabkan oleh manusia atau oleh alam itu sendiri. Dan pada kasus kali ini, manusia berkontribusi besar terhadap bagaimana perubahan lingkungan terjadi. Fenomena pendirian pabrik tersebut adalah salah satu cerminan bahwa pusaran kepentingan politik maupun ekonomi seringkali berimbas pada kebijakan yang tidak memedulikan aspek keseimbangan alam.