Penulis : Ria Fitriani
Aku terus berjalan, menyusuri belantara yang sunyi dan sepi. Disini aku merasa tenang dan mungkin bahagia, daripada harus berada disekitar keramaian yang lalu lalang. Disana penuh kepalsuan. Ada yang tertawa sampai terbahak-bahak, ada yang menangis terisak-isak. Ada yang tidur diranjang yang lembut dan hangat, ada yang menggigil kedinginan di kolong jembatan sambil mengais sisa-sisa makanan yang terbuang. Di negeriku yang indah ini, ada berjuta kisah sedih tentang manusia-manusia terbuang. Dan aku, manusia yang bodoh ini, hanya mampu melihat tanpa bisa berbuat. Andai saja aku punya secuil keberanian untuk memperjuangkan nasib mereka. Andai saja…
Disinilah aku merenung dan memarahi diriku sendiri. Mencoba memikirkan apa yang harus kulakukan. Oh ya? Benarkah? Jujur, sebenarnya aku sendiri ragu. Jangan-jangan aku hanya sedang melarikan diri. Meninggalkan segala kisah memuakkan di bawah sana dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Ya, mungkin memang benar demikian. Aku tersenyum kecut, ternyata selama ini aku masih seorang pecundang.
“Nu, nggak tidur?”
“Iya Lang, ntar aja. Bintangnya lagi keren-kerennya nih, mubazir kalo nggak dilihat.”
“Yaudah, terserah. Pokoknya ntar jam 1 kita berangkat muncak. Mau dapet sunset nggak?”
“Iya-iya, udah tenang aja. Bawel banget sih,”
Kakakku, Elang, adalah orang yang selama ini setia menemaniku mendaki gunung sejak kami masih duduk di bangku SMP. Usia kami tak terpaut jauh, hanya selisih 2 tahun. Karena itulah aku tak pernah memanggilnya kakak atau abang. Aku lebih menganggapnya sebagai sahabatku sendiri daripada seorang kakak. Meski demikian aku tak pernah melawannya dan bersikap tidak sopan sebagai seorang adik. Begitupun dengannya, ia tak pernah meremehkanku ataupun marah yang berlebihan.
Orang bilang kami seperti saudara kembar. Memang wajah kami mirip, tapi Elang lebih tampan dan keren. Dia seorang lelaki sejati. Dari dulu ia selalu menjadi incaran anak perempuan di sekolah dan kampus kami karena pesonanya itu. Sedangkan aku, aku sudah cukup bangga memiliki saudara seorang idola meski tak seberuntung dirinya.
Malam itu dingin begitu mencekam. Aku masih terbaring di atas matras sambil memandangi ribuan bintang di angkasa. Satu per satu makhluk kecil penghisap darah mulai berdatangan. Sesekali aku membiarkan mereka menghisap darahku sampai kenyang, tetapi karena sudah tak tahan akhirnya ku putuskan untuk masuk ke tenda. Rupanya Elang sudah tertidur pulas dalam balutan sleeping bag nya dan mungkin tengah bermimpi indah di puncak gunung. Tanpa memakai sleeping bag terlebih dahulu, kuputuskan untuk langsung berbaring dan memejamkan mata setelah memastikan semua rongga tendah tertutup.
Di ketinggian 2700 meter di atas permukaan laut, rupanya sulit tidur hanya dengan memakai jaket polar biasa. Sesekali aku tersadar karena menggigil hebat. Sebenarnya aku hanya ingin mencoba merasakan apa yang dirasakan gelandangan saat menghabiskan malam di kolong jembatan atau emperan toko. Apakah sedingin ini? Entahlah. Nyatanya aku menyerah dan memutuskan untuk memakai sleepingbag milikku. 15 menit kemudian aku telah hilang, hanyut dalam buaian mimpi tak bermakna.
“Ranu, bangun! Udah mau jam 1 sekarang. Waktunya siap-siap,” hentak Elang. Sayup-sayup aku mendengarnya, hanya saja enggan untuk menjawab ataupun membuka mata.
“Nu, kalau kamu nggak mau bangun aku tinggal nih. Masa udah tiga kali kesina nggak dapet sunrise terus..” Elang terus saja mengomel. Dengan segala kekuatan dan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, aku berusaha membuka mata.
“Aku baru tidur 2 jam, ngantuk banget sumpah,” jawabku lirih. Sepertinya suaraku tak jelas. Namun Elang membuka sleepingbag-ku dengan cepat dan langsung mendudukkanku. Aku terhenyak kaget dan langsung membuka mata lebar-lebar. Belum sempat aku mengomel, Elang menyumpal mulutku dengan sepotong roti isi coklat.
“Kita harus cepetan naik Nu. Cepet beresin barang-barangmu sekarang, jangan males-malesan. Perjalanan kita masih cukup jauh. Setelah ini masih ada Arcopodo yang harus kita lewati.” Lanjut elang sambil sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas carrier 60 liter nya. Dengan malasnya akau melepas sleepingbag yang masih menempel pada tubuhku lalu melipatnya serapi mungkin.
Samar-samar telingaku mendengar suara binatang liar di luar sana -suara burung dan tikus gunung yang berdecit, berkeliaran mencari makan. Sementara itu Elang telah selesai memberesken barang-barangnya. Ia membuka pintu tenda lalu keluar. Dinyalakannya sepuntung rokok lalu dihisapnya asap rokok itu dalam-dalam untuk menghangatkan badan. Di tangan satunya ia memegang sepotong roti isi coklat yang dilahapnya sesekali bergantian dengan rokok yang dihisapnya.
“Lang, aku udah selesai nih. Yok kita beresin tendanya.” Sahutku pada Elang yang rupanya sedang melakukan pemanasan peregangan otot.
“Oh, udah ya? Yaudah yuk kita beresin.” Jawab Elang yang lantas mematikan api rokoknya yang tinggal setengah.
Setelah selesai membereskan tenda dan melakukan sedikit pemanasan, kami bersiap dengan carrier di punggung kami masing-masing. Jam menunjukkan pukul 01.15 dini hari. Elang dan aku langsung melanjutkan perjalanan menuju Arcopodo. Tampak para pendaki lain yang juga bersiap melanjutkan perjalanan. Di antara kami selalu saling menyapa meskipun tidak saling mengenal ataupun bertemu sebelumnya. Para pendaki selalu ramah, dan itu adalah salah satu hal yang ku sukai. Berbeda dengan kehidupan kota yang hingar bingar, saling meneriaki dan mencemooh satu sama lain menjadi pemandangan yang biasa setiap hari. Sungguh memuakkan.
“Nu, kamu kok betah sih ngejomblo terus?” celetuk Elang. Aku terkesiap, bocah tengil itu melontarkan pertanyaan bodoh dengan wajah nyengir. Sambil terus berjalan, aku memandang wajah Elang dengan sedikit kesal. Terdengar nafas kami yang sedikit ngos-ngosan karena kadar oksigen di udara yang mulai menipis.
“Emangnya apa enaknya sih punya pacar? Lagian aku juga masih pengen bebas. Nggak kayak lu, sekarang udah tunangan terus tahun depan mau nikah. Hahaha… nggak bisa noleh sana-sini deh lu,”
“Haha… ngapain aku musti noleh sana-sini sih Nu. Jalan aku tu udah ada di depan mata. Sinta itu udah lebih dari sosok seorang cewek yang aku impikan selama ini. Dan lagian nih ya, kamu tu udah semester 7 sekarang. Masa iya ntar pas wisuda nggak punya gandengan? Hahaha…”
“Sialan lu Lang,” jawabku singkat sambil meninju bahu kirinya dengan keras. Elang mengerang kesakitan, lalu kami berdua pun tertawa. Sambil terus melangkah terbesit di benakku tentang apa yang dikatakan Elang barusan. Tak jarang aku sendiri bertanya-tanya mengapa aku memilih menghindari persoalan cinta. Mungkin aku masih sibuk dengan diriku sendiri, atau mungkin aku hanya masih belum memiliki keberanian dan tekat sekuat Elang. Mungkin nanti aku akan memikirkannya, setelah kakakku menikah.
Tak terasa kami sudah sampai di Arcopodo. Di sini kami meninggalkan semua barang bawaan bersama barang-barang milik pendaki yang lain. Dari Arcopodo kami harus berjalan dan menaiki tanjakan berpasir menuju puncak Mahameru. Kemungkinan kali ini kami akan mendapatkan sunrise tepat di puncak.
“Nu, kamu udah siap? Minum dulu Nu..” kata Elang sambil menyodorkan botol minum yang airnya tinggal seperepat bagian. Aku meminumnya sedikit untuk mebasahi tenggorokan. Sisanya ku gunakan untuk membasahi buff yang kugunakan menutup hidungku. Perjalanan ke puncak akan sangat berdebu, belum lagi gas berbahaya yang sewaktu-waktu bisa disemburkan kawah Mahameru. Setidaknya air pada buff akan menghalangi debu-debu itu menerobos masuk ke hidungku.
“Yuk Lang kita naik sekarang,”
“Oke Nu. Huuhh.. Bismillahirrohmanirrohiim..”
“Bismillahirrohmanirrohiim..”
“Nih Nu, bawa!” Elang mengumpankan sebotol penuh air mineral padaku. Aku kaget dan hampir saja tak berhasil menangkap botol itu.
“Kok aku sih Lang yang bawa. Lagian kita nggak usah bawa air kenapa sih, kan gak bawa tas.”
“Yaelah manja banget sih lu bawa segitu aja pake protes segala. Nanti gentian deh, dasar! Kita itu harus selalu berjaga-jaga kalau ada apa-apa di jalan.”Aku hanya menggerutu, si tengil itu selalu saja benar dalam berkata. Yah, begitulah aku menilainya selama ini. Elang adalah sosok laki-laki yang bijak, meskipun dengan cara yang berbeda, setidaknya padaku.
Bersama para pendaki yang lain kami berjalan manaiki tanjakan dengan sangat perlahan. Terasa sekali nafas mulai sesak dan berat. Ditambah udara dingin yang mencekam berhasil menembus lapisan parasut jaketku hingga menyentuh kulit. Ada beberapa pendaki lain yang bahkan sampai menggigil kedinginan. Ada pula yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan memilih turun ke Kalimati karena gangguan pernafasan.
Di antara kami lebih memilih diam karena setiap satu tarikan nafas terlalu berharga jika hanya digunakan untuk berbicara. Selain itu kerongkongan akan sangat mudah kering jika terlalu sering mengeluarkan suara. Dan itu artinya kami akan membutuhkan air untuk membasahinya lagi. Bisa dikatakan diam adalah cara kami untuk menghemat tenaga.
Dua jam sudah kaki-kaki terkuat ini melangkah menaiki tanjakan berbatu dan berpasir yang sangat mudah runtuh. Perasaan was-was terus membayangi, jangan sampai ada batu yang runtuh dari atas akibat kecerobohan pendaki lain. Dan benar saja, terdengar teriakan aba-aba dari atas untuk menghindari runtuhan batu. Seketika kami semua langsung sebisa mungkin keluar dari jalur tanjakan untuk menghindari runtuhan.
“aaaawww….,” teriak seorang gadis di belakangku. Aku langsung menoleh dan memegang tangannya. Telat sedikit saja mungkin gadis itu sudah tersungkur jatuh ke bawah. Aku langsung memeriksa apakah tubuhnya terluka.
“Mbak nggak apa-apa? Ada yang luka nggak? Rombongan Mbak mana?” tanyaku pada gadis itu. Dia masih menangis. Mungkin masih shock dan takut atas kejadian yang baru menimpanya. Aku langsung berinisiatif memberikannya minum. Elang benar, air yang kubawa akan dibutuhkan.
“Ngg..nggak apa-apa kok mas. Cuma lecet nih jariku.” Kata gadis itu sambil menunjukkan jari manis dan kelingkingnya yang terluka.
“Eh iya, berdarah tuh. Maaf ya mbak aku bersihkan lukanya pake air biar nggak infeksi.” Kataku padanya. Gadis itu hanya diam. Dengan sangat pelan aku mulai membersihkan luka itu. Sesekali ia merintih, mungkin karena perih. Aku membalut lukanya dengan sapu tangan milikku, yang kurasa masih cukup bersih.
“Makasih ya Mas, maaf ngrepotin.”
“Iya mbak sama-sama. Rombongan mbak mana sih?”
“A..aku sendirian mas. Tadinya aku nggak ikut ke puncak, aku nunggu di Kalimati sama pendaki yang lain. Tapi semalem aku mutusin buat nyusul temen-temenku bareng sama rombongannya mas dan pendaki yang lain juga.”
“Waduh..bahaya banget Mbak. Kenapa nggak nunggu di bawah aja. Kalo ada apa-apa siapa yang mau tanggung jawab coba. Lain kali jangan diulangi ya Mbak.”
“Nu, ada apa? Dia nggak apa-apa?” Tanya Elang yang tadinya berada di depanku sebelum terjadi insiden.
“Nggak Lang, cuma lecet dikit.” Kataku padanya
“Terus masih bisa lanjut nggak Mbaknya?” Elang mendekati gadis itu untuk memastikan.
“Masih kok Mas, cuma lecet dikit doang kok.” Jawab si gadis.
“oke deh syukur kalau gitu. Gabung aja sama kita Mbak.” Kata Elang.
“Oh iya kenalin Mbak, saya Ranu. Ini kakak saya, Elang. Mbak nya?” aku menyela diantara percakapan mereka.
“Oh iya maaf, saya Jingga.” Jawab perempuan bermata cokelat itu. Kami bertiga saling melempar senyum lalu bengkit untuk bersiap melanjutkan setengah perjalanan yang tersisa.
Perjuangan semakin terasa berat. Kami terus merangkak menerobos debu tebal yang beterbangan menuju puncak. Tangan dan kaki terasa kebas dan kehilangan tenaga. Satu setengah jam kemudian, setelah semua sisa tenaga yang kami kuras habis, terlihat samar-samar oleh mata kami bendera yang berkibar di atas puncak. Entah mengapa, tubuh yang tadinya seperti sudah tidak berdaya saat itu juga kembali bertenaga dan semangat yang mulai kendor menjadi terbakar lagi.
“Yeeaahh…dikit lagi akhirnya!! Semangaat..!!!” Teriak Elang di barisan pertama.
“Alhamdulilallah…” ucap Jingga sambil melemparkan senyum padaku yang berada di belakangnya. Aku tersenyum balik padanya tanpa berkata sepatah kata pun.
Selang 2 menit kemudian kami akhirnya sampai pada puncak Mahameru yang tersohor itu. Di puncak tertinggi pulau Jawa itu, aku, Elang, dan Jingga bersujud diatas tanah berpasir yang hangat. Bersyukur atas rahmat dari Tuhan yang sudah menghantarkan kami hingga sampai puncak. Terlihat beberapa pendaki lain yang menteskan air mata setelah mencapai puncak. Kebanyakan sih perempuan. Ada yang langsung memeluk dan menncium bendera merah putih yang terpasang tepat di titik puncak, ada yang kegirangan seperti tidak percaya telah menaklukkan dirinya sendiri. Ada pula yang hanya tersenyum sambil menatap luas awan yang berada di bawahnya. Semuanya takjub, semua terpana dengan mahakarya Tuhan yang luar biasa itu. Di sini segala penat hilang, melebur menjadi perasaan suka cita yang tak terbendung. Semuanya menjadi indah saat itu juga.
“Mas Ranu, Mas Elang terimakasih banyak atas pertolongannya. Saya rasa saya sudah menemukan rombongan saya di sebelah sana.” Kata Jingga padaku dan Elang sambil menunjuk pada arah semburat merah di ufuk timur, posisi terbit matahari.
“Oh yang itu ya Mbak rombongannya? Iya mbak sama-sama. Senang bisa membantu.” Jawabku sambil tersenyum padanya. Sementara Elang hanya mengangguk dan tersenyum. Jingga pun langsung menyusul teman-temannya yang sedang asik berselfie ria. Tampak teman-temannya kaget dan tak menyangka melihat Jingga yang nekat menyusul kawan-kawannya.
“Astaga, sudah hampir lewat ya subuhnya. Sebaiknya kita solat subuh dulu Nu keburu telat.” Ucap Elang sambil melirik jam tangannya yang penuh debu.
“Oh iya, ayuk deh Lang.” kataku padanya. Kami pun langsung bertayamum lalu mencari tempat yang datar untuk solat. Dua rakaat di puncak gunung saat itu, meskipun keadaan kami sangat kotor oleh debu dan tanah, entah mengapa terasa begitu hikmat sampai tak terasa setitik air mata menetes dipipiku saat salam terakhir.
Usai solat, sunrise yang kami nantikan dan yang selalu Elang banggakan akhirnya muncul. Semburat jingga dari sinar yang dipancarkannya begitu indah sampai setiap pasang mata para pendaki dibuat terpana. Elang menepuk pundakku. Aku menatap wajahnya yang terkena pancaran sinar matahari. Ia tampak begitu bahagia dan puas.
“Ini Nu, ini ni yang aku bilang. Luar biasa banget kan? Indah banget Nu, indah.” Kata Elang dengan senyum yang yang paling bahagia sama persis ketika ia menceritakan bahwa Sinta telah menerima lamarannya tahun lalu. Tak henti-hentinya dia mengucapkan subhanallah sebagai perwujudan rasa kagumnya pada karya Tuhan ini. Aku tersenyum padanya lalu menjabat tangan Elang dengan penuh semangat. Seperti pendaki yang lain, kami ikut mengabadikan momen tersebut lewat jepretan kamera ponsel. Untuk kenang-kenangan kata Elang.
Jadi ini, kebahagiaan dan kedamaian yang tak dapat kutemukan di bawah sana selain dalam keluargaku tercinta. Ada ketimpangan yang sangat nyata di bawah sana. Ada yang tidak cukup puas hanya dengan memiliki satu rumah mewah dan sebuah mobil yang mewah pula, ada yang sudah cukup bahagia dan bersyukur jika anak-anaknya bisa makan malam dengan sepotong roti dan tidur dengan nyenyak. Orang-orang semakin kaya sementara yang lainnya semakin sulit hanya untuk mencari sesuap nasi. Dan ketika aku turun, aku akan kembali menghadapi itu semua. Akan kembali kujumpai orang-orang kaya yang mengomel dalam mobilnya sambil meludahi pengemis tua yang tak sengaja hampir tertabrak karena kakinya yang sudah rapuh. Dan juga anak-anak pengamen yang putus sekolah karena harus mencari nafkah.
Ketika aku kembali muak dengan itu semua, maka di puncak-puncak gununglah aku dapat melampiaskan semuanya. Benar, aku bukan pendaki, aku hanya seorang pecundang yang sedang berlari dari pahitnya kehidupan. Aku manusia yang hanya bisa merasa muak tanpa tahu apa yang harus diperbuat untuk merubah keadaan. Bahkan terhadap diriku sendiri, aku masih belum menemukan arah pasti seperti Elang.
to be continued……..