Penulis : Joko Nur Sulityawan

“Naikkan upah kami!”

“Naikkan upah kami!”

Gemuruh teriakan buruh yang berdemo di depan pabrik tengah menuntut hak-haknya. Mereka meminta pihak perusahaan untuk menaikkan upah mereka sesuai UMR yang ditentukan pemerintah setempat. Mereka mengancam akan melakukan mogok kerja massal jika tuntutan mereka tersebut tak dihiraukan oleh para pemimpin perusahaan. Bagi mereka dengan terkabulnya tuntutan mereka, maka pemerataan kesejahteraan masyarakat akan terwujud.

“Pertemukan kami dengan kaum borjuis perusahaan yang telah banyak memeras kami dengan upah yang minim!” Seru Siswanto selaku penggerak massa. “Kami ingin upah yang kami terima selama ini disesuaikan dengan UMR yang ditentukan pemerintah!” Lanjutnya. “Kami sudah muak jika tetap harus menunggu janji-janji perusahaan yang katanya akan membantu kami agar asap di dapur rumah kami tetap mengepul. Nyatanya saat ini pun kondisi kami tak banyak mengalami perubahan yang berarti. Keuangan kami pun tetap tak mampu untuk menutupi kebutuhan kami sehari-hari!” Teriaknya bagai membelah angin membuat buruh yang hadir semakin terbakar jiwanya untuk menjuangkan hak-haknya untuk hidup layak.

Keinginan mereka untuk bisa hidup berkecukupan di tengah kerasnya kehidupan khas kota metropolitan semakin membuat mereka lebih termotivasi untuk memperjuangkan hak-hak yang mereka yakini adalah hak mutlak mereka.

“Wahai para polisi segera beri jalan untuk kami. buruh nan teraniaya oleh kapitalis-kapitalis di dalam sana!” Teriak Siswanto lantas mendorong polisi yang ada didepannya.

“Tapi yang penting Anda harap tenang. Karena saat ini para pemilik perusahaan tengah mendiskusikan tentang nasib kalian, apakah tuntutan kalian diterima ataukah tidak. Jadi kalian harap tenanglah!” Seru salah seorang polisi yang bertugas untuk mengamankan demo.

“Apa?! Jadi mereka tengah berunding tanpa melibatkan kami sebagai pihak tertindas?” Geramnya seraya mengepalkan tinju seperti hendak memukul siapapun didepannya.

”Tenanglah sejenak para pemimpin tengah memikirkan kalian dan rapat ini juga untuk kalian sendiri!” Hardik Rusdi, salah satu anggota Satpol PP yang bertugas mengamankan demo.

“Tapi apa benar, apa yang yang mereka rundingkan sesuai dengan apa yang kami harapkan? Apakah mereka benar-benar memahami nasib kami, para budak di negeri sendiri?” bentak Siswanto pada Rusdi. “Jadi, biarkan kami masuk ke dalam sana agar kami dapat menyampaikan suara dan jeritan derita kami pada para pemimpin perusahaan ini. Biar mereka tahu rasanya berada dipihak kami. Mereka tak mungkin bisa hidup penuh gemilang harta tanpa peluh keringat kami bekerja siang-malam tiada henti demi untuk bertahan hidup!” Lanjutnya sambil berargumen.

“Biarkan kami lewat!” seru yang lainnya sambil merangsek masuk tanpa mempedulikan satpol PP yang berusaha mencegah mereka masuk ke gedung perusahaan. Dan kericuhan pun tak terelakkan.

***

Sementara itu, kondisi di ruang rapat perusahaan pun tak kalah panas dengan yang terjadi diluar. Masing-masing pihak mempertahankan argumennya sendiri.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan guna meredakan situasi yang semakin memanas ini?” tanya Harto, direktur perusahaan tersebut. “Bu Riska, bagaimana laporan kondisi keuangan perusahaan saat ini?” Lanjutnya sambil menoleh pada seorang wanita berkacamata tebal dan berjas hitam yang memegang secarik kertas yang duduk di sebelahnya.

“Menurut laporan yang saya terima, kondisi keuangan perusahaan ini semakin turun dari bulan ke bulan. Disebabkan, mungkin karena menurunnya tingkat produksi barang yang terjadi terus-menerus.” Jelas Riska selaku Manajer keuangan perusahaan.

”Bagaimana jika kita sekali lagi melakukan peminjaman pada bank guna menutup dana perusahaan ini?” Usul salah seorang Manajer yang ikut serta.

“Hei anda jangan usul sembarangan! Sudah berapa kali kita melakukan peminjaman dana dari bank tersebut? Bisa-bisa utang bank kita akan bertambah dan menumpuk, lalu perusahaan ini akan disita oleh bank. Sehingga kita semua akan lebih menderita lagi!” Bantah Harto sambil menggebrak meja rapat. Semua hadirin terdiam.

“Bagaimana jika kita tambah jam kerja buruh kita lebih banyak dari sebelumnya?” Tanya Rusdi, selaku manajer produksi angkat bicara.

“Rus, diam kau! Kau seperti tak tau kondisi saja, lihat para buruh tengah berdemo karena kita. Jika kita menambah jam kerja mereka, maka hal itu akan menjadi bumerang bagi kita sendiri karena ini bisa menjadi bukti praktek perbudakkan yang telah kita lakukan!” Bentak Hari, manajer personalia berbicara.

“Bagaimana kalau kita tambah saja jumlah pekerja dengan membuka lowongan kerja?” Usul Miko, sang manajer pemasaran.

“Saat ini jumlah tenaga kerja kita sudah lebih dari cukup. Sehingga saya rasa tak perlu menambah tenaga kerja. Karena saya rasa akan ada beberapa yang menjadi pengangguran terselubung di perusahaan ini.” Jelas Harto mengakhiri debat tersebut. Semua pun terdiam kembali.Kali ini tak ada satupun yang dapat menemukan solusi untuk menghentikan masalah pelik ini.

Ditengah menegangnya ruang rapat yang semakin memanas, tiba-tiba pintu rapat didobrak oleh seorang satpam perusahaan. “Pak…..Di…rektur…hhh…hhh…diluar…hhh…” katanya sambil terengah-engah seperti telah dikejar oleh pembunuh berdarah dingin. “ Pak Harun, ada apa? Tenanglah sejenak! Anda seperti orang yang takut akan maut. Tolong bicara yang pelan!” ujar Harto menenangkan satpam yang bernama Harun tersebut.

“Kondisi diluar semakin tidak kondusif, pak! Suasana semakin tak terkendali. Dan korban dari kedua belah pihak semakin banyak berjatuhan.” Lapor Harun kepada Harto tentang kondisi didepan pabrik. “Jadi, saya mohon agar segera mengambil keputusan secepatnya apakah bapak-bapak dan ibu-ibu berkenan untuk menerima atau tidak gugatan para buruh didepan sana daripad timbul lebih banyak korban lagi.” Lanjut Harun sambil meminta pada Harto selaku direktur.

“Hmm……Baiklah pertemukan saya dengan perwakilan buruh untuk bisa membicarakan masalah ini.” Ujar Harto sambil berjalan keluar ruang rapat menuju depan pabrik. “Baiklah pak.”

***

Diluar pabrik suasana bertambah ricuh. Darah berceceran dimana. Erangan kesakitan bergema dimana-mana. Saat tengah riuh bentrokan massa, keluarlah Harto. “Kalian wahai para buruh, saya minta kalian berhenti berkelahi. Jadi saya ingin berunding dengan salah satu perwakilan kalian!”

“Kenapa hanya satu orang yang boleh berunding dengan anda? Bukankah lebih baik semuanya berhak untuk berpendapat mengeluarkan aspirasinya?” tanya buruh yang paling belakang. “Ini demi keamanan bersama. selain itu, juga agar dapat mendengarkan apa keluhan inti dari kalian sehingga tidak ditunggangi kepentingan pribadi masing-masing!” Jawab Harto dengan nada tegas.

“ Baiklah, biarkan saya yang mewakili suara-suara buruh disini!” seru Siswanto tiba-tiba. ‘Baiklah ayo ikut saya kedalam untuk membahas tuntutan kalian semua.” Ujar Harto seraya masuk ke gedung diikuti Siswanto. Dan pembahasan rumit terjadi didalam. Dan tak diketahui ujungnya.