Penulis : Zendy Titis

Debut mahasiswa dalam kancah pergerakan nasional berujung pada penyematan atribut-atribut yang kini menjadi semacam pelabelan pada fungsi mahasiswa. Atribut-atribut itu didengung-dengungkan dengan bangga di antero kampus dan dianggap sebagai tanda kehormatan bagi masyarakat luar kampus. Kebanggaan menyandang peran agent of change, iron stock, dan social control kiranya dirasakan dengan mengesampingkan fakta bahwa peran tersebut adalah bentukan penguasa Orde Baru yang bermaksud mengubah mahasiswa menjadi kelompok elite. Posisi mahasiswa seolah terfragmentasi dari posisi rakyat yang seyogyanya menjadi ruang mahasiswa meleburkan diri. Mahasiswa dibuat lupa oleh perannya yang esensial, yakni keberpihakan pada rakyat yang kedaulatannya dirampas oleh pihak yang sok berkuasa.

Peran Mahasiswa sebagai Kaum Intelektual

Seperti yang dikatakan oleh Suryadi A. Radjab dalam tulisannya yang berjudul Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara“Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru, setelah isu back to campus muncul di akhir 1960-an, peran mahasiswa yakni sebagai calon intelektual atau inteligensia. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa mahasiswa bukanlah kelompok politik yang berusaha mendapat kekuasaan, melainkan kekuatan moral (moral force) yang secara aktif ingin ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara. Tugas mahasiswa, dalam konsep ini, adalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial yang kacau.

Merujuk pada peran mahasiswa sebagai calon intelektual dalam kacamata inteligensia, Ali Syari ati menyatakan, Kaum intelektual adalah kaum tercerahkan. Mereka adalah individual yang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masa depan masyarakatnya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai kesadaran akan nilai kemanusiaan di masanya, mempunyai realitas kesejarahan serta mempunyai pandangan-pandangan hidup yang futuristik. Sehingga secara otomatis, mahasiswa adalah generasi pembaharu yang meletakkan keberpihakannya pada rakyat dengan cara terjun langsung ke dalam masyarakat. Bukan malah berdiam diri di menara gading dan berkutat dengan teori atau event-event yang tidak memberikan sumbangsih bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Rakyat yang dimaksud penulis di sini adalah rakyat yang mengalami penindasan oleh penguasa. Seperti halnya yang terjadi di depan Istana Negara pada Jumat, 30 Oktober 2015. Lebih dari 10.000 buruh yang tergabung dalam aliansi Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) melakukan demontrasi menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan Nomor 78 Tahun 2015 karena PP tersebut dirasa merugikan buruh dalam hal penentuan kenaikan upah minimum. Di sini, buruh menjadi elemen masyarakat yang paling banyak dirugikan oleh para pemilik modal. Maka, menyadari perannya sebagai kaum intelektual, mahasiswa seharusnya berada di garda terdepan bersama dengan buruh untuk melawan musuh bersama, yakni kapitalisme.

Namun saat ini, bahkan keberadaan mahasiswa dipertanyakan. Jangankan berjuang bersama-sama dengan buruh, untuk menetapkan kawan dan lawan pun mereka masih dibalut kebimbangan. Di mana mahasiswa ketika pemerintah menetapkan kebijakan yang tidak pro rakyat? Di mana mahasiswa ketika terjadi demonstrasi buruh besar-besaran? Mahasiswa lebih suka menjadi event organizer yang merasa telah meraih pencapaian berarti ketika acara yang diselenggarakannya mampu menghadirkan pemateri atau grup musik papan atas. Hal ini terjadi karena mengakarnya pola pikir yang dibangun oleh kapitalisme dan membentuk gaya hidup yang serba hedonis, borjuis, konsumeris, dan instan.

Kapitalisme Musuh Bersama

Kapitalisme telah menggerogoti hidup banyak orang melalui budaya-budaya yang diciptakannya seperti hedonisme yang kini melanda mahasiswa dan konsumerisme yang semakin digandrungi masyarakat dunia. Kapitalisme berdampak pada penghisapan tenaga pekerja dengan eksploitatif, baik fisik maupun mental. Kebutuhan akan tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan yang dikuasai kapitalis mau tidak mau menyebabkan besarnya saluran yang digunakan untuk menghisap tenaga kerja atau buruh. Akibatnya, rakyat berlomba-lomba untuk menempati posisi yang dibutuhkan. Namun, yang sangat disesalkan adalah mayoritas buruh tidak menyadari posisinya yang strategis sebagai sumber daya penting bagi proses produksi. Ketidaksadaran itu memunculkan rasa ketakberdayaan dalam melawan kapitalis yang kerap menindas hak-hak mereka.

Sebagaimana buruh, mahasiswa sesungguhnya juga menjadi korban penghisapan kapitalisme. Perkembangan kapitalisme telah masuk ke semua lini kehidupan, termasuk pendidikan. Jika dulu buruh didefinisikan sebagai tenaga kerja di pabrik, sekarang ia bisa jadi para intelektual yang dipekerjakan untuk mentransformasikan pengetahuan menjadi sebuah komoditas. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa terjadi konvergensi antara kerja dengan pengetahuan. Sehingga kampus menjadi sarana yang tepat bagi kapitalisme untuk melanggengkan bisnisnya. Melalui kurikulum yang diajarkan di kampus, mahasiswa dicetak untuk menjadi para pekerja yang siap pakai dengan spesialisasi-spesialisasi tertentu. Tidak heran jika orientasi mahasiswa ketika lulus adalah mendapatkan pekerjaan. Sehingga disadari atau tidak, mahasiswa adalah buruh masa depan.

Posisi mahasiswa sebagai buruh masa depan seharusnya berimplikasi pada kesadaran subjektifnya untuk turut memperjuangkan hak-hak buruh. Mahasiswa dapat mengidentifikasikan dirinya pada posisi buruh karena merekalah yang nantinya menggantikan dan mengisi basis-basis buruh yang ada saat ini. Sebaliknya, buruh seharusnya juga memandang mahasiswa sebagai basis kader yang nantinya akan meneruskan pergerakan mereka. Keduanya saling berperan bagi tercapainya hak masing-masing. Jika kedua pihak menyadari peran mereka, maka tidak akan terjadi singgungan kepentingan antara buruh dan mahasiswa seperti yang terjadi selama ini. Misalnya ketika buruh gencar menyuarakan kenaikan upah minimum pada tanggal 1 Mei, mahasiswa justru mengusung tema perbaikan sistem pendidikan keesokan harinya dalam rangka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Mahasiswa dan buruh seharusnya bersatu dalam sinergitas untuk menyuarakan isu-isu kepentingan bersama. Terlebih dengan adanya fakta bahwa mahasiswa dan buruh adalah basis pergerakan massa yang memiliki kekuatan untuk menumbangkan sebuah rezim. Untuk memungkinkan hal ini, maka terlebih dahulu mahasiswa harus menumbuhkan kesadarannya sebagai kaum intelektual yang berpihak pada rakyat (buruh).