Pagi ini masih seperti pagi-pagi biasanya. Aku telah bersiap dengan seragamku dan berjalan menuju ruang tengah. Di sana pisang goreng dan teh hangat sudah menanti untuk ku santap. Sembari menyeruput teh hangat pelan-pelan, aku yang kini duduk di samping ibuku turut menyaksikan siaran berita televisi yang sedang berlangsung. “Harga BBM akan naik mulai bulan depan.” Sekilas, headline itu yang terihat oleh mataku. Aku langsung mengarahkan pandangan ke ibuku. Dia hanya diam. Tak sedikitpun berkomentar. Aku pun kembali melemparkan pandangan ke arah televisi. Mencoba menikmati siaran berita itu kembali sembari menggigit pisang goreng sedikit demi sedikit.

“Berarti tarif angkot juga bakal naik dong,” ujarku yang setiap harinya menumpangi angkot saat ke sekolah.

Lagi lagi ibu hanya terdiam.

Setiap muncul pemberitaan mengenai kenaikan harga BBM entah itu di televisi, koran, maupun berita-berita online masyarakat acap kali gusar. Jangankan angkutan umum yang sudah jelas-jelas menggunakan bensin sebagai bahan bakarnya. Bahan pokok pun yang tak ada kaitannya dengan penggunaan BBM juga ikut-ikutan naik.
Tak berselang lama setelah aku menghabiskan santapan makan pagiku, acara berita itu pun beralih. Aku kemudian bergegas dengan mengencangkan tali sepatu dan menghampiri bapak yang sedang asyik menyeruput kopi sembari membaca koran.

“Berita kenaikan BBM juga, Pak?” ujarku memecah konsentrasi bapak yang nampak seksama membaca koran.

“Iya,” jawabnya singkat.

“Memang kenapa bisa naik, Pak?” tanyaku lagi. Dari nada bicaranya sebenarnya aku tau, kalau bapak sedang tidak ingin membahas masalah ini. Tapi rasa ingin tau ku tak bisa kusimpan kali ini.

“Karena harga bensin kita masih didekte oleh mereka yang bahkan bukan penghasil dan konsumen riil bensin.”

“Maksudnya Pak?”

“Maksudnya Nak, pemerintah Indonesia kan katanya punya sumur minyak sekaligus konsumen besar BBM. Tapi justru gak bisa menentukan harga bensin sendiri. Mestinya kan dengan keadaan seperti itu harga BBM bisa terbentuk di dalam negeri.”

“Berarti kita seperti dibuat tidak berdaya gitu, Pak?”
Bapak kemudian mengangguk.

Aku memang sering bercerita dengan bapak sejak umurku masih belia. Menurutku, cerita bapak itu beda. Menarik, tapi gak dibuat-buat. Sebelumnya, bapak pernah cerita padaku tentang coklat yang biasa dimakan orang-orang. Katanya bapak, Indonesia merupakan salah satu penghasil biji coklat terbesar di dunia. Tapi sebagian besar diekspor dengan harga murah, karena belum diolah. Anehnya, yang menentukan harga adalah New York Board of Trade. Sedangkan kita disini malah menikmati coklat dari Belgia yang katanya enak tapi mahal. “Padahal kalau kamu tau Nak tak sebatang pun pohon kakao yang tumbuh disana,” ujarnya. Aku pun ikut dibuat malu dengan perkataan bapak waktu itu.

Setelah berpamitan dengan mencium tangan bapak, aku segera berjalan mejauhi bapak yang kembali larut dengan koran paginya. Biasanya sebelum pergi ke sawah, bapak selalu menyempatkan waktu untuk membaca koran sembari menghabiskan santapan paginya. “Otak juga perlu diberi asupan, bukan cuma perut. Biar gak mudah dibodohi,” ujarnya kala itu.
**
Di sawah, kini bapak tak lagi punya banyak kawan. Tinggal segelintir orang yang saling menemani dan menguatkan satu sama lain. Sejak enam tahun belakangan, beberapa teman bapak yang dulu ke sawah bersama satu per satu pergi meninggalkan sawahnya. Petak demi petak lahan sawah pun ikut sirna. Terkapling-kapling menjadi wujud yang lain. Tak hanya petani, mereka yang dulunya berlayar untuk mencari ikan pun juga berhenti melaut. Kata bapak, mereka kini telah beralih menjadi pekerja di perusahaan yang letaknya di sekitar desa kami.

“Ada yang jadi mandor kayak Pak Didik. Tapi kebanyakan jadi pekerja kasar. Ya tugasnya ada yang ngangkut logistik, ada juga yang tugasnya mompa air,” ujar bapak ketika suatu hari aku bertanya padanya. Perusahaan itu mempekerjakan banyak pekerja yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan lebih, beberapa diantaranya berasal dari desa sekitar. Tanpa prosedur dan persyaratan yang ketat, setiap warga yang mendaftarkan diri biasanya langsung diterima. Sistem kerjanya dibagi dalam tiga shif. Setiap shift bekerja selama 8 jam. Perihal gaji, rata-rata mereka yang tergolong dalam pekerja kasar memperoleh gaji sebesar 2 juta, sedangkan mandor rata-rata 3 juta. Kata bapak, seperti ituah teman-temannya bercerita. Menurut mereka kondisi seperti ini dianggapnya lebih baik jika dibandingkan dengan hasil bertani atau mencari ikan di laut yang dapat uangnya tak tentu. Terlebih bila menyaksikan kondisi laut dan sawah yang ada di desa belakangan ini.

“Bapak kenapa gak ikut-ikutan kerja disana?”

“Bapak gak mau. Biar gajinya besar sekalipun,”

“Memang kenapa pak?”

“Nanti, nanti bapak bakal cerita lagi,”
***
Hari ini aku menjalani rutinitas hari Minggu ku seperti biasanya. Setelah melahap sarapan pagi dan menyapu pekarangan rumah, kini aku pun bergegas ke sawah menemani bapak. Aku baru saja menyaksikan bapak selesai mengairi air irigasi ke padi miliknya. Olehnya, aku diminta untuk berkeliling, memastikan seluruh tanaman padi tergenang air. Saluran irigasi yang digunakan untuk mengairi sawah milik bapak hanya dapat mengalirkan air secara bergantian ke setiap sawah selama sepekan sekali. Setiap petani hanya mendapat jatah air dua hari. “Jadi mau tidak mau ya harus berbagi. Karena sekarang ketersediaan air di daerah kita sudah sulit,” ujarnya kala itu.
Tak selang beberapa lama, bapak kemudian mendekat ke arahku.

“Nak, kamu tau gunung itu?” Bapak menunjuk gunung yang letaknya sangat nampak dari pengelihatan kami.

“Iya, Pak.”

“Dari gunung itulah mengalir sungai yang dapat mengaliri sawah petani. Termasuk sawah bapak ini. Tak perlu dijatah, dan berbagi dengan petani lain. Tapi sekarang gunung itu udah mulai diambil sedikit demi sedikit, sungai itu kini tak cukup untuk mengairi seluruh sawah. Sehingga sungai lain harus dibelokkan saluran airnya supaya dapat mengairi sawah. Kamu bisa bayangkan betapa kacaunya kalau gunung itu tidak ada,”

“Memang siapa Pak yang mau mengambil gunung itu?”

“Coba kamu bayangkan, ada orang tiba-tiba datang. Mendekati warga lewat bagi-bagi uang dan sembako. Menurut kamu kenapa orang tadi melakukan itu?”

“Itu sih pasti ada maunya, Pak. Kayak orang Jepang dulu pas mau menjajah Indonesia. Oh jadi yang dimaksud bapak yang mau ngambil gunung itu perusahaan itu ya. Itu kenapa bapak gak mau kerja disana,”

“Persis,”

“Memang gunung itu kenapa pak kok mau diambil?”

“Katanya sih gunung itu mengandung emas, Nak. Mau dikeruk emasnya.”

“Memang warga disini pada gak nolak, Pak? Mosok gunung mau diambil kok diem-diem aja.”

“Dulu semua warga pada nolak. Karena warga gak mau alam kita yang sangat kaya ini jadi rusak dan tercemar. Bayangkan saja bagaimana bisa kita hidup tanpa hutan, laut, dan gunung nantinya.”

“Tapi nyatanya mereka masih disini?”

“Ya itu karena mereka punya cara juga supaya warga ini gak terus-terusan nolak. Mereka melakukan cara supaya mereka bisa diterima. Contohnya, lewat bantuan sekolah, pembangunan, macem-macem, nah salah satunya ngambil warga disini bua kerja di perusahaannya.”

“Mereka memang asalnya darimana, Pak?”

“Wah bapak gak tau persis. Kata teman-temannya bapak yang pada kerja disana, itu bosnya orang kota besar. Tapi katanya ada bos satu lagi, dipanggilnya Mister. Orang negara sebrang, Australia. Nah semua alat-alat dari dia,”

“Kalau gunungnya diambil berarti orang-orang gak bisa kesana dong,”

“Ya iya. Sekarang gak sembarang orang bisa kesana. Ada orang yang jaga. Malah katanya yang jaga itu aparat.”

“Berarti hutan yang ada di dalemnya juga diambil dong?”

“Ya iya, Nak. Hutannya dibabat habis. Makanya air jadi susah. Bahkan beberapa tanah milik warga juga sudah jadi milik mereka, Nak.”

“Mereka rakus sekali, seperti bukan manusia saja. Pantas saja, negeri ini kaya tapi orang-orangnya masih susah. Ya karena orangg-orang rakus seperti mereka itu. Iya kan, Pak?”

Bapak mengangguk.

“Percayalah, Nak. Negeri kita ini kaya, segalanya serba ada dan mencukupi. Kan ada lagunya itu yang liriknya ‘Kain dan jala cukup menghidupimu’. Ya tapi karena orang-orang rakus itu. Sekarang kita bisa lihat, apa yang kita dapat?”

Aku kemudian tersenyum. Sekali lagi, bapak berhasil membuatku malu untuk kesekian kalinya.

 

Penulis: Wakhidatul Rochmawati

Ilustrator: Salsa N. Aisyah