Judul : Nonviolent Soldier of Islam
Penulis : Eknath Easwaran
Penerjemah : Perwira Leo S.
Penerbit : Bentang Pustaka
Halaman : 326 halaman
“Saya orang yang percaya pada antikekerasan dan saya mengatakan bahwa tidak akan ada perdamaian atau keselarasan lahir di tengah-tengah umat manusia di dunia kecuali antikekerasan dipraktikkan, karena antikekerasan adalah cinta kasih dan cinta kasih itu mengobarkan keberanian di hati manusia.” Badshah Khan.
Nama kecilnya Ghaffar. Abdul ialah nama kultural yang diberikan kepada golongan ningrat di suku Pathan, dan Khan merupakan gelar. Semenjak perjuangan antikekerasan melawan Inggris, melalui Khudai Khitmagar, ia dipanggil Badshah Khan. Badshah artinya raja.
Abdul Ghaffar Khan sahabat Gandhi sedih melihat lingkaran kekerasan itu. Ia sekeras batu berusaha memutus rantai kekerasan yang mengakar di kaumnya. Melalui jalan damai yang diajarkan Gandhi.
Saat pendudukan Inggris, Desa Utmanzai terletak di sekitar Provinsi perbatasan Barat Laut India, sekitar 32 kilometer dari Lembah Peshawar. Inggris membagi wilayah perbatasan India menjadi dua bagian geografis untuk kepentingan strategis: wilayah pemerintahan di sebelah Utara, dan wilayah bebas di sepanjang perbatasan Barat tempat Kaum Pathan tinggal dan memerintah diri mereka sendiri menggunakan ‘Hukum Kaum Pathan’. Sekarang desa itu masuk ke wilayah administrasi Pakistan. Kaum Pathan menyebar di perbatasan Afghanistan dan Pakistan.
Timothy Flinders mencatat karaktar kaum Pathan sebagai Mafiosi dari Timur. Yang artinya kejam, kesukuan, penuh dendam, dan tanpa hati nurani. Kaum Pathan bisa membunuh orang semudah kita membunuh ayam atau kambing. Mereka dibesarkan dengan suatu kebebasan keberanian yang merdeka. Sumber dari semua laku tersebut ialah kehormatan. Satu kekuatan yang berakar dalam diri kaum Pathan.
Kondisi demikian dimanfaatkan oleh penjajah Inggris dengan cara adu domba. Meminimalisasi pengeluaran biaya dan tenaga, kaum Pathan sedikit demi sedikit hancur. Inggris mutlak harus manguasai daerah perbatasan karena lokasinya strategis sebagai pintu gerbang antara Asia dan British India.
Dua seni utama kehidupan kaum Pathan: cara membunuh dan cara untuk mati. Kematian karena kekerasan hampir selalu dapat dipastikan, bahkan kerap kali dicari.
Roda Kekerasan Kaum Pathan
Suatu pagi pada tahun 1925, jasad seorang pelanggar hukum (pahlawan) setempat ditemukan di sebelah kincir air Desa Utmanzai. Mayat itu bernama Atta Khan, seorang pemberontak terkenal yang dijadikan idola anak-anak muda di desa. Dia ditembak dua kali oleh sahabatnya, Murtaza. “Darah seorang Pathan tidak bisa dibayar kecuali dengan darah.” Tutur Ghani, saudara Murtaza.
Sekarang roda balas dendam berputar lagi. Dan kali ini giliran Atta yang harus membayar. Atta Khan terlahir tanpa ayah. Sejak kecil ia ditinggal ayahnya karena dibunuh sesama kaum Pathan. Atta berutang darah sejak ia masih muda, ia menyemai dendam dan tumbuh besar. Dia menyaksikan ibunya selalu tertunduk malu, dia melihat saudara-saudaranya menatap tanah ketika hal-hal tertentu atau orang-orang tertentu disebut. Dia terlalu muda, terlalu tampan, dan terlalu kuat untuk merasa malu. Akhirya Atta Khan mengambil senjatanya dan melakukan balas dendam kepada keluarga Murtaza yang telah membunuh ayahnya. Ia menetapkan haknya untuk diperhatikan dan dihargai.
Kisah itu mengilustrasikan seberapa dalam balas dendam dan kekerasan menyusup dalam budaya kaum Pathan. Dari kisah itu, Murtaza ditangkap penduduk kampung yang dibantu oleh polisi di hutan perbatasan. Murtaza berusaha lari sebelum akhirnya menyerahkan diri. Saat ditangkap polisi dan dibawa ke kampung, Murtaza berdiri tegak serta sesekali melambaikan tangan ke penduduk yang melihat penangkapan tersebut. Tiada rasa malu di sana, justru rasa bangga, hormat, dan kepahlawanan menyelimuti diri Murtaza. Ia berhasil membalas dendam kehormatan yang sempat direbut Atta Khan. Seperti roda, lingkar kekerasan berputar lagi.
Transformasi Kekuatan dalam Diri Kaum Pathan
Rintangan terbesar Badshah Khan adalah budaya balas dendam dan kekerasan yang mengakar dalam masyarakat Pathan. Kekuatan nilai-nilai kehormatan yang sudah berusia berabad-abad ini membuat seorang pria hampir tidak mungkin tidak menjawab penghinaan ataupun kesalahan, tanpa memedulikan penderitaan yang mengikutinya.
Penderitaan mengikuti setiap orang. Keluarga terlantar tanpa ayah, orang hidup dengan rasa takut kepada tetangganya, hidup sendiri berlalu dengan cepat tanpa kepastian. Namun, suluk tentang pahlawan pembalas dendam masih tetap menjadi sumber utama roman Pathan, puisi, bahkan status, meskipun itu menjodohkan kaum Pathan dengan tragedi tiada akhir.
Tidak ada yang lebih kuat merasakan kontradiksi-kontradiksi ini daripada Badshah Khan, dan tidak ada yang lebih menyadari harga yang dibayarkan kaum Pathan untuk hasrat ketertarikan mereka terhadap kekerasan. Mereka telah kehilangan kemerdekaan, demikian menurutnya, hanya karena kecenderungan mereka untuk menghancurkan diri mereka sendiri.
Bagi Badshah Khan, kaum Pathan bukanlah pembunuh yang kejam, melainkan hanya korban dari harga diri mereka yang salah kaprah. Dengan kedalaman dan keluasan tertentu, Badshah Khan dapat menyimpulkan kebiasaan yang dilakukan kaum Pathan. Menurutnya kekerasan dan balas dendam sebagai akibat dari takhayul dan beban adat yang sangat berat.
Di sisi lain kaum Pathan mempunyai kapasitas pengorbanan diri, ketahanan, dan keberanian yang luar biasa. Khan menggunakan sikap antikekerasan sebagai alat untuk membentuk ulang dan meremajakan kepribadian manusia. Menggeser laku kebiasaan mereka menjadi kekuatan positif tanpa mengurangi kekuatan yang dimiliki.
Pada awalnya Badshah Khan menggunakan sikap antikekerasan bukan sebagai senjata politik. Melainkan sebagai penawar kekerasan yang telah lama melumpuhkan kaum Pathan yang sangat kuat. Dia dipaksa terjun ke ranah politik karena tindak kekerasan Inggris.
Terjun ke ranah politik ditandai dengan pembentukan Khudai Khitmagar. Khudai Khitmagar ditujukan untuk perang melawan Inggris dengan menanggalkan senjata. Buah dari pembentukan pasukan ini saat Khudai Khitmagar sukses menghancurkan Inggris di perbatasan saat Gandhi mendemonstrasikan gerakan Satyagraha Garam. Seluruh pasukan Khudai Khitmagar setulus hati melakukan gerakan itu. Pasukan Inggris kebingungan menghadapi kaum Pathan yang teguh berjuang tanpa kekerasan.
Mereka berpegang teguh pada ajaran Gandhi, bahwa kekerasan akan menciptakan kekerasan yang lain.
Penulis: Helmi Naufal