Koalisi Masyarakat Sipil bersama Korda Aremania menyelenggarakan konferensi pers daring bertajuk “Usut Tuntas Tragedi Kemanusiaan di Kanjuruhan” pada Rabu, 3 Oktober 2022. Kegiatan ini menghadirkan sejumlah lembaga dan media diantaranya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, LBH Jakarta, Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan lainnya.
Sebagai pembuka, selain ungkapan berbelasungkawa, Hikari sebagai salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil menuturkan penyebab utama tragedi tersebut. “Kita (baca : Koalisi Masyarakat Sipil) menyebut tragedi ini terjadi akibat adanya kekuatan berlebih serta bentuk kekerasan yang tak proporsional,” jelasnya. Selain itu, Ia menyampaikan adanya dugaan teror dari pihak kepolisian pada saksi dan korban. “Saat ini tengah beredar informasi terkait adanya penangkapan, introgasi dan pengancaman pada mereka (baca: saksi/korban) yang menyebarkan video atau mengungkapkan kesaksiannya kepada media maupun publik. Hal ini menambah kabar buruk bagi demokrasi kita, tak hanya perihal kebrutalan aparat namun juga pada kepolisian kita yang tak demokratis,” ungkapnya.
Kronologis dan Upaya Penghalangan Bantuan
Salah satu suporter yang memilih tak menyebutkan namanya, menuturkan kronologis kejadian di hari itu berdasarkan pengamatannya dari tribun VIP. Ia menerangkan bahwa penembakan gas air mata pertama kali diarahkan ke bagian utara stadion, lalu meluas ke arah tengah dan selatan. Menurutnya, penembakan ke arah selatan cukup fatal karena langsung ditujukan ke arah tribun penonton dan dilakukan berkali-kali. “Awalnya ke arah utara, lalu beberapa suporter dari tribun selatan turun untuk membantu supporter di utara. Melihat itu, polisi pun langsung menembakkan gas air mata ke arah tribun selatan juga. Setidaknya ada dua atau tiga kali penembakan. Padahal, pintu 10, 12, 13, dan 14 yang dekat situ masih tertutup,” terangnya.
Selain itu, Ia mengaku melihat adanya upaya pihak kepolisian dalam menolak dan menghalangi bantuan kepada korban. “Dalam keadaan genting itu, saya melihat beberapa suporter menggotong seorang wanita yang tengah pingsan ke mobil polisi. Tujuan mereka jelas ingin mengevakuasi dan memberikan pertolongan pertama. Namun, pihak aparat malah mendorong mereka (baca : beberapa supporter) pakai tameng lalu mengusirnya,” tuturnya.
Tak hanya sekali, Ia melihat penolakan serupa terjadi hingga tiga kali terhadap suporter-suporter lainnya. “Berbeda dengan yang lainnya, penolakan yang ketiga itu menuai cekcok. Ini dikarenakan suporter tersebut melawan sikap aparat seraya berkata bahwa aparat tersebut tidak punya hati,” terangnya. Adapun sewaktu turun dari kursi VIP menuju pintu keluar, Ia mengaku melihat lima korban yang telah meninggal dunia ditutupi kardus tanpa alas.
Selain penembakan gas air mata, Ia membenarkan adanya tindak kekerasan aparat berupa pemukulan secara membabi buta kepada suporter. Sepenglihatannya, tindakan tersebut tak hanya dilakukan pihak polisi, namun juga TNI. Oleh karena itu, Ia menuntut pengusutan tuntas tragedi ini, terkhusus atas sikap arogan aparat dalam penolakan dan penghalangan bantuan kepada korban.
Pelanggaran Hukum dan HAM
Daniel Siagian dari LBH Pos Malang menyampaikan tindakan pengamanan berlebihan aparat saat itu telah melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM). “Dalam aturan FIFA sudah tegas dinyatakan pelarangan penggunaan gas air mata. Maka, tindakan aparat itu jelas menyalahi,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia juga turut mengecam penggunaan gas air mata dalam kejadian tersebut. Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut jelas melanggar aturan persepakbolaan baik secara nasional maupun internasional serta aturan kepolisian yang berlaku.
Lebih lanjut, Daniel Siagian menerangkan secara spesifik beberapa dugaan pelanggaran hukum dalam tragedi tersebut. Diantaranya yakni dugaan penganiayaan oleh aparat sebagaimana yang diatur dari pasal 351 KUHP. Dugaan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 170. Hingga adanya dugaan tindakan kelalaian yang mengakibatkan kematian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP.
Adapun pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Ia merujuk pada peraturan kapolri No 8 Tahun 2009 pasal 7 ayat 1 huruf a,b, dan e yang menyatakan bahwa aparat kepolisian tidak diperbolehkan melakukan tindak kekerasan fisik yang tak berdasarkan HAM. Maka dari itu, Ia menuntut evaluasi menyeluruh atas semua prosedur yang tak berdasarkan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam tragedi di Kanjuruhan.
Pandangan selanjutnya diberikan oleh Julius Ibrani selaku Ketua Badan Pengurus PPHI yang mengkritik penggunaan pendekatan Kemendagri dalam pengamanan di stadion. Ia menjelaskan bahwa pendekatan yang dimaksud mengacu pada bentuk pengamanan yang melibatkan kepolisian serta TNI secara bersamaan. Baginya, pendekatan ini seharusnya dilakukan di level nasional, bukan di level provinsi maupun kabupaten/kota. “Seharusnya, tidak ada pendekatan kemendagri di stadion itu. Kepolisian tak bisa mengomandoi tentara dan sebaliknya. Ini dua institusi yang berbeda dan titik temunya pada keamanan dalam negeri di level nasional. Jadi, pengamanan di stadion itu sudah masuk dalam militaries,” tegasnya.
Baginya, pendekatan pengamanan saat itu seharusnya dikuasai penuh oleh panitia penyelenggara acara baik secara verbal maupun non verbal sesuai SOP. Ia menyayangkan tindakan pengamanan yang bersifat melumpuhkan seperti melalui alat pemukul dan gas air mata sebagaimana yang dilakukan pihak kepolisian saat itu.
Selanjutnya, Julius menuntut adanya tindak pidana bagi seluruh pihak, baik bagi petugas lapangan, maupun pihak yang memberi komando. “Saat itu, gas air mata ditembakkan secara sengaja dengan ritme yang serentak. Tentunya, ada komando dan ini yang harus ditelusuri. Bagi saya, ini tak sesederhana persoalan etika ya, seperti penurunan pangkat saja. Namun juga harus ada tindak pidana yang tegas dan adil,” pungkasnya.
Tuntutan sama juga disampaikan oleh Hussein Ahmad selaku perwakilan dari Imparsial. Baginya, seluruh pihak harus diperiksa mulai dari polisi di lapangan, Kapolda hingga Kapolri dengan mendahulukan prosedur hukum. “Rasanya tidak etis jika kita membiarkan sekian ratus nyawa hilang, namun tak ada pertanggungjawaban secara pidana, alias secara etis saja. Padahal, tindakan mereka ( baca : kepolisian) itu brutal semua,” tegasnya.
Adapun, Feo sebagai perwakilan dari LBH Jakarta menuntut keterlibatan Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak secara aktif dalam mengusut tuntas tragedi ini. Hal ini lantaran menurutnya, tindakan aparat tidak bisa dianggap sebagai kejahatan biasa namun masuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan serangan terhadap HAM. Ia menegaskan bahwa tragedi ini harus diselesaikan dengan seadil-adilnya. Mengingat, kejadian serupa dapat berlanjut bahkan berulang. Selain itu, Feo juga menuntut keterlibatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memastikan perlindungan bagi korban dan saksi serta menindaklanjuti permohonan keluarga korban dan saksi.
Pasca Kejadian
Nurina Savitri menuturkan bahwa terdapat beberapa narasi yang masih simpang siur kebenarannya setelah tragedi. Diantaranya, tudingan bahwa tragedi ini merupakan kesalahan suporter dan adanya disparitas data jumlah korban. Pernyataan Nurina juga diperkuat oleh Daniel Siagian yang menyatakan bahwa pasca tragedi, data-data korban yang tersebar di media sosial masih tak akurat. Daniel menyatakan bahwa ketidakakuratan data tersebut berdampak pada tuntutan pertanggungjawaban kepada korban, baik yang meninggal dunia maupun luka-luka. Oleh karena itu, Nurina serta Daniel menekankan pentingnya sikap kritis masyarakat atas segala bentuk informasi yang beredar.
Lebih lanjut, Daniel menyampaikan teror/intimidasi masih rentan terjadi kepada korban yang selamat maupun saksi yang melakukan pendokumentasian. “Ada beberapa kesaksian namun saya tak bisa menyebutkan namanya. Jadi, ada seorang suporter yang diduga mengalami teror berinisial “I” masih kita (baca : LBH Pos Malang) cari keberadaannya. Selain itu, ada beberapa masyarakat malang yang meminta konfirmasi kepada kita atas suporter yang berinisial “K”. Sebab, pasca tragedi ini terjadi pengaburan posisi korban itu sendiri,” ujarnya.
Merespon itu, Julius mendorong adanya pembentukan tim gabungan pencari fakta yang berperspektif korban. Dengan begitu, Ia mengaku pengusutan segala informasi dalam tragedi ini akan lebih adil karena menitikberatkan keterlibatan korban. Tak hanya itu, tim tersebut dapat menggali sejauh mana pertanggungjawaban Negara atas dampak yang dirasakan korban seperti dari aspek sosial, ekonomi, keamanan dan lainnya.
Gentingnya Reformasi Kepolisian
Hussein Ahmad menuturkan bahwa Tragedi Kanjuruhan bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Baginya, kebrutalan aparat kepolisian kepada suporter sepak bola telah ada sejak lama dan sudah memakan banyak korban. Ia memberikan beberapa contoh kasus, salah satunya sebagaimana yang terjadi dalam pertandingan Persija VS Semen Padang pada 2016 lalu. Ia mengaku telah terjadi tindakan penganiayaan hingga berujung kematian oleh aparat kepolisian terhadap salah seorang suporter asal Jakarta yang merupakan teman dekatnya. Dalam kasus tersebut, Ia mengaku bahwa tidak ada tindak lanjut secara hukum terhadap pelaku hingga saat ini.
Berdasarkan itu, Ia berkeinginan agar negara bertanggung jawab atas seluruh jiwa-jiwa yang hilang, tak hanya di Kanjuruhan namun juga pada kejadian-kejadian sebelumnya. Ia melihat upaya pengusutan tuntas ini menjadi momentum untuk reformasi di tubuh pihak keamanan Indonesia baik kepolisian maupun TNI. Ia juga menegaskan pentingnya evaluasi yang menyeluruh bagi pihak yang dimaksud.
Sependapat dengan Husein, Hikari juga mendorong reformasi kepolisian agar segera dilaksanakan. Reformasi yang dimaksud yakni penegakan dan penindakan yang merefleksikan nilai demokrasi, adab dan kemanusiaan di tubuh kepolisian dan TNI. Setidaknya ada dua alasan dari Hikari terkait gentingnya reformasi saat ini. Pertama, proses reformasi kepolisian akan memperbaiki kemerosotan ruang berpendapat masyarakat sipil dan memperbaiki wajah kepolisian yang krisis keadilan. Kedua, proses reformasi pada institusi militer menjadi titik balik agar militer tak lagi terlibat dalam aktivitas di ruang publik.
Penulis : Nadya Rajagukguk
Editor : Pahlevi Aulia Rahman
Foto: Leonardus Anggara