Written by Pandu Wicaksono
Pornografi adalah publikasi atau penampilan materi seksual secara eksplisit yang tidak berhubungan dengan tujuan sastra, artistik dan seni, ilmu pengetahuan, atau politik.
Perdebatan masalah pornografi dalam rumusan hukum Indonesia dan pemaknaan yang jelas mengenai hal tersebut menjadi perbincangan yang menarik dan berakhir tanpa pemahaman yang jelas selama bertahun-tahun lamanya.
Konstitusi kita tidak memberikan atau menjawab kejelasan itu, ketika ayat 2 pasal 282 menyebutkan bahwa pornografi diartikan sebagai tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, tetapi pada kenyataannya dalam bentuk nyata kita tidak pernah tahu maksud pasal itu apa.
Kaitannya dengan pers, khususnya yang terjadi di Indonesia adalah kebebasan berekspresi dan kebebasan pers yang masih seumur jagung ini dirayakan dengan pemberitaan yang kebablasan. Sebagai contoh, media yang yang menyajikan materi pornografis secara utuh atau media yang menyelipkan materi-materi pornografis, walaupun dalam bentuk penyajian yang sedikit, sebagai upaya mendorong atau menarik pembaca.
Apakah layak media seperti itu dikatakan sebagai media pers?
Tidak bisa dipungkiri bila kehadiran media seperti itu ada dalam masyarakat dan eksistensi mereka terjaga, jadi mereka tidak memberi kesan berita yang mereka bagi kepada masyarakat hanya bertujuan untuk sekadar survival. Walaupun demikian, ada banyak media pers yang cukup professional dalam hal pemberitaan. Umumnya media seperti itu memiliki pembaca, pendengar, atau penonton yang luas (persmainstream). Untuk membedakannya dengan media atau tabloid hiburan, pers mainstream atau pers arus utama merupakan koran harian atau mingguan, tabloid, dan majalah yang telah terbit dalam jangka waktu sedikitnya dua tahun dan dikenal oleh publik yang luas serta jelas pertanggungjawaban pengelolaannya.
Publik menilai bahwa media pornografi adalah media pers, padahal pengertian seperti itu harus dikaji lebih dalam lagi. Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers 2000-2003, beranggapan bahwa media seperti itu tidak termasuk pers, tetapi lebih setara dengan selebaran, media alternatif, atau apa pun namanya. Memang masalahnya, Departemen Penerangan (sekarang bernama Kementerian Komunikasi dan Informatika) memberikan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk media seperti itu. Akibatnya, orang tidak bisa membedakan mana yang media pers dan mana yang media alternatif, tambahnya.
Dengan banyaknya orang yang menyerang terbitan pornografi, beban pers kita semakin berat. Seolah-olah kebebasan pers yang ada sekarang menjadi alasan orang membuat media pornografi. Ditambah lagi, media seperti itu diterbitkan dalam bentuk atau format yang sama dengan media pers pada umumnya, seperti koran atau tabloid dan didistribusikan di tempat yang sama dengan media pers.
Di luar negeri pun, terutama di negara-negara maju, orang jarang meributkan terbitan-terbitan yang dianggap pornografi. Persoalannya, mereka jelas membedakan antara media pers dan pornografi.
Lalu bagaimana bila artis yang difoto atas dasar seni dan mana foto yang memang pornografi. Adolph S. Ochs (1858-1935), penerbit atau pemimpin umum harian The New York Times, pernah mengingatkan pembaca kadang-kadang menyebut suatu kajian pers sebagai pornografi hanya karena dimuat di media yang seleranya rendah. Ochs mengatakan, jika suatu surat kabar memuat laporan kejahatan seksual, orang menyebutnya pornografi, tetapi bila The New York Times menyiarkannya, orang menamakannya studi sociology (If the newspaper prints a sex crime, it™s smut, but when The New York Times prints it, It™s sociological study).
Jika menarik benang merah dari uraian diatas, di Indonesia barangkali suatu tulisan atau foto sensual akan disebut pornografi bila dimuat di tabloid hiburan semacam Lipstik atau Lampu Hijau. Tetapi, tidak akan disebut pornografi bila dimuat di majalah wanita Gadis atau Femina. Dan, itu bila kita hanya melihat siapa yang menerbitkannya, sebenarnya bila kita jeli gaya bahasa atau penulisan yang dipakai oleh media-media diatas kita bisa tahu mana media yang memang memberitakan hal pornografi dan mana yang bukan.
Mengapa lahir media pornografi?
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh pengarang Laurence O™Toole tentang pornografi di Amerika Serikat berkesimpulan bahwa kebanyakan pengguna pornografi tampaknya merasakan waktu yang mereka gunakan untuk pornografi menyenangkan, bukannya menyedihkan, merendahkan martabat, menyebabkan ketagihan, atau membahayakan. Ini bertentangan dengan gosip mengenai pornografi yang diteriakkan oleh kaum feminis bahwa pornografi penuh dengan kekerasan terhadap perempuan dan oleh karena itu pornografi tidak adil, diskriminatif, serta ofensif terhadap perempuan.
Tidak menutup mata bahwa media dijadikan lahan industri yang menjanjikan pada masa sekarang ini. Tidak peduli tanggungan moral yang dibawa dari pemberitaan yang mereka bagi kepada masyarakat. Jika memang fakta di lapangan pornografi jauh dari kata kekerasan atau ofensif terhadap perempuan, maka jelas kehadiran media pornografi di masyarakat adalah buah dari pengamatan yang serius para pemegang kapital besar untuk membaca psikologi pasar tentang pornografi. Sehingga pada akhirnya mereka berani mendirikan media pornografi.
Sekali lagi, penilaian mengenai pornografi haruslah disesuaikan dengan masa, tempat, dan budaya yang berkembang di masyarakat. Bila melihat corak budaya yang berkembang sekarang, kita tidak bisa menyamaratakan apa yang terjadi pada masa lalu dengan apa yang terjadi pada masa sekarang.
Banyak kalangan yang menilai bahwa kebebasan pers kita sedang kebablasan setelah jatuhnya masa orde baru. Ratusan media pers bermunculan dimana-mana, dari tingkat lokal hingga nasional. Beberapa di antaranya tampil dengan kemasan yang sensual atau bahkan mencerminkan sebuah kelompok kepentingan.
Pada hakikatnya kebebasan pers adalah kebebasan bersuara bagi masyarakat. Maka, upaya mendirikan media pers adalah hak mendasar bagi setiap warga negara. Tetapi, ada tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat, setidaknya tanggung jawab kepada pembaca, pendengar, dan penonton media masing-masing.