Penulis : Hesti Rahmadhani
Membaca novel adalah aktivitas yang menyenangkan bagi saya. Melalui novel, saya bisa mengembangkan daya imajinasi saya. Tapi tidak semua genre novel saya suka. Ya, karena saya lebih memilih membaca novel dengan gaya bahasa yang gampang dicerna. Seperti TeenLit misalnya. Meskipun begitu, novel-novel terjemahan pun tak luput dari bacaan saya.
Libur kuliah yang cukup panjang memberikan waktu luang yang begitu panjang pula untuk aktivitas membaca saya. Kali ini saya melangkahkan kaki saya menuju sebuah toko buku. Mata saya tertuju pada tumpukan buku sastra di depan pintu utama.
Sebelum libur kuliah, saya pernah berdiskusi dengan teman saya mengenai sastra dan bahasa Indonesia. Dimana sastra Indonesia mulai pudar dimakan zaman. Saat itu kami berdiskusi tentang perdebatan novel TeenLit dan novel-novel karya sesepuh Indonesia. Menurut saya membaca novel TeenLit itu sah-sah saja, bahkan saya tidak heran banyak novel TeenLit atau novel sejenisnya mendapatkan label best seller. Karena bagi saya novel sejenis itu memang asik.
Salah satu teman saya berpendapat lain tentang hal itu, kalau belum membaca novel sastra Indonesia klasik, pasti nggak akan tahu perbedaan yang luar biasa jauhnya dengan novel TeenLit bahkan TeenLit berlabel best seller sekalipun, dan kini kita kehilangan itu. Hal yang pertama kali terlintas dipikiran saya adalah letak perbedaan itu pasti ada pada gaya bahasa dan kosa kata yang digunakan.
Ketika saya melihat-lihat novel, saya menemukan sebuah novel karya penulis terkenal di Indonesia. Marah Rusli. Saya belum pernah membaca novel Indonesia klasik sebelumnya. Saya pun tak tahu pula penulis pada era itu. Tapi nama Marah Rusli tak asing bagi saya, karena novel Siti Nurbaya karangan Marah Rusli sering saya dengar bahkan sempat dijadikan sinema televisi.
Saya belum pernah membaca novel Siti Nurbaya. Saya hanya sekedar tahu sedikit tentang isi novel itu. Tapi bukan novel Siti Nurbaya yang saya temukan di toko buku itu, melainkan novel terakhir dari Marah Rusli Memang Jodoh. Rasa penasaran saya tentang novel klasik memaksa saya membeli novel itu dan mengabaikan novel TeenLit yang sebelumnya ingin saya beli.
Banyak anak muda yang enggan membaca novel klasik di zaman yang terlanjur modern ini. Dulu pun saya juga enggan untuk membacanya. Marah Rusli telah menancapkan tonggak kebudayaan melalui Siti Nurbaya pada tahun 1992. Siti Nurbaya bercerita tentang sebuah perjodohan antara seorang gadis cantik yang masih belia dengan seorang datuk. Melalui Novel itu Marah Rusli mendapatkan berbagai penghargaan atas karya romannya pada masanya.
Sedangkan novel Memang Jodoh adalah kisah semiautobiografi Marah Rusli. Novel itu bercerita tentang kisah cinta yang begitu kuat antara Marah Rusli dan Istrinya. Marah Hamli adalah tokoh Marah Rusli di dalam novel itu. Keputusan Hamli menerima beasiswa pemerintah Belanda untuk melanjutkan sekolahnya di negeri orang ditentang oleh ibunya. Adat Minang yang mengikat erat membelenggu cita-citanya dan selalu menuntutnya untuk menikah. Hamli adalah keturunan bangsawan Padang yang harus menikah dengan wanita Padang sesuai adatnya.
Beristrikan banyak wanita adalah sebuah kehormatan bagi bangsawan Padang untuk menjaga keturunannya.Banyak wanita yang meminangnya, namun ditolaknya. Hamli tak suka beristri banyak. Hamli pun kemudian memutuskan untuk merantau ke tanah Jawa demi mendapatkan ilmu. Dalam perantauannya dia bertemu dengan wanita Sunda, Radin Asmawati, yang juga keturunan bangsawan Sunda.
Sebuah pilihan yang tak mudah pun terpaksa diambilnya. Hamli rela dibuang oleh keluarganya karena tak menurut pada adat istiadatnya yang kemudian menikah dengan Radin Asmawati. Beragam rintangan yang luar biasa pun tak lepas dari kehidupan pernikahan Hamli. Namun kesabaran yang luar biasa pun membuahkan hasil yang luar biasa pula.
Selesai membaca novel Memang Jodoh, saya rasa saya tak salah, tapi teman saya lebih tak salah lagi. Penggunaan gaya bahasa di dalam novel tersebut akan menjadi sangat formil ketika kita membacanya saat ini. Namun penggunaan bahasa itu tak menjadikan halangan sedikit pun untuk bisa memahami makna yang ingin disampaikan.
Banyak pesan moral yang disampaikan didalamnya yang tentu saja tak kan pernah saya temukan di novel TeenLit bahkan TeenLit yang berlabel best seller sekalipun. Betapa hebatnya sastrawan Indonesia di era itu. Mengangkat adat istiadat ke dalam sebuah cerita novel sebagai bukti protes akan adatnya yang disampaikan secara santun. Tak hanya itu, kekuatan budaya Indonesia saat itu pun diangkat begitu apik. Betapa teguhnya mereka mempertahankan budaya negerinya yang seharusnya menjadi cermin kita saat ini.
Penggunaan bahasa dalam novel TeenLit memang berbeda jauh dengan novel sastra Indonesia klasik. Itu hal yang wajar, beda zaman pasti beda pula bahasanya. Ibarat akulturasi budaya, novel TeenLit adalah buah karya sastra modernisasi zaman sekarang. Penggunaan bahasa dalam novel karya Raditya Dika misalnya, gampang dicerna karena menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari di zaman sekarang. Zaman Marah Rusli menggunakan ananda dan adinda, zaman Raditya Dika menggunakan Gue Elo. Novel TeenLit adalah karya sastra Indonesia bagi saya, apapun bahasa yang digunakan.
Tapi tak saya pungkiri, novel sastra Indonesia klasik adalah karya sastra terbaik yang dimiliki Indonesia dengan bahasa yang kaya akan makna.
Bagi saya, novel TeenLit tetap menjadi novel yang asik. Tapi novel karya sastra Indonesia klasik menjadi novel yang luar biasa hebat. Sastra Indonesia klasik yang tak tahu siapa penerusnya ini akan tetap hidup bagi saya. Beberapa orang mengatakan saat ini sastra Indonesia mulai pudar, bagi saya itu semua karna belum banyak sastrawan sejenis Marah Rusli yang muncul dengan membuahkan novel roman klasiknya.
Jejak sastra Indonesia masih hidup dan akan tetap hidup di negeri ini. Bukan karena akan ada penulis seperti Marah Rusli yang akan bermunculan. Tapi karena novel-novel karya Marah Rusli dan penulis-penulis lainnya di era yang sama telah menjadi jejak klasik yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Jejak klasik yang akan menjadi harta karun yang memperkaya wawasan Indonesia. Sampai kapan pun.