Oleh : Fadillah Putra*

Dalam banyak diskusi seringkali kita membenturkan antara sikap ideologis (idealis) dengan pragmatis. Di mana terma pragmatis dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi negatif seseorang yang tidak memiliki tujuan hakiki dalam hidupnya. Pragmatisme dilekatkan dengan ketidakpedulian manusia atas hal-hal mendasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pragmatisme merupakan kawan akrab dari hedonisme yang hanya bertujuan untuk mencari kesenangan sesaat. Pragmatisme adalah mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa peduli dengan nasib dan rentang masalah jangka panjang dalam peradaban. Sementara sikap ideologis adalah sebaliknya. Term idealis dan ideologis adalah sesuatu yang diharapkan untuk terjadi, dan bertabur dengan kebaikan-kebaikan.

Louis Althusser (1918-1990) mengatakan bahwa ideologi merupakan pengejawantahan hubungan imajiner antara manusia dengan realitas keberadaannya. Ideologi di sini diartikan sebagai cita-cita atau mimpi masyarakat yang muncul akibat kekecewaan mereka atas keserbatidaksempurnaan realitas yang ada di sekelilingnya. Karena dunia pada dasarnya tentang ketidaksempurnaan, maka sampai kapanpun ideologi akan terus hidup dan muncul. Dalam hal ini ideologi menjadi pemberi arah, dan penyadaran bahwa kita tidak bisa begini-begini terus. Harus ada perubahan menuju pada satu titik yang diharapkan dan menjadi mimpi kolektif. Mimpi-mimpi kolektif untuk mengubah keadaan itulah yang disebut sebagai hubungan imajiner antara manusia dengan realitas.

Masalahnya, ketika mimpi kolektif tersebut menjadi dasar atas terbentuknya sebuah entitas politik tertentu, sebut saja negara, maka akan ada proses sistematis (bahkan pemaksaan) yang dilakukan oleh apa yang disebut Althusser sebagai state apparatuses. Aparatus negara menjadi agen pemaksa atas penyepakatan terhadap sebuah mimpi yang mereka klaim sebagai mimpi kolektif. Sehingga siapapun yang akan melakukan tindakan apapun harus sejalan dengan ideologi yang dipaksakan itu. Ideologi dalam konteks ini sudah bukan lagi menjadi alat untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik, tetapi menjadi alat negara untuk memberikan hukuman kepada rakyat yang dianggap tidak patuh dan melawan negara.

Pada titik inilah kemudian kita harus mulai kritis dalam memposisikan Pancasila sebagai sebuah ideologi. Pertanyaannya adalah apakah Pancasila tetap diposisikan sebagai cita-cita bersama masyarakat Indonesia, ataukah Pancasila merupakan alat negara untuk mendemonstrasikan kekuasaannya dalam memberikan hukuman-hukuman pada rakyat yang dianggapnya tidak patuh dan tidak penurut.

Ada saatnya ketika ideologi dalam pengertian ideal, maka ia harus dapat menjawab masalah-masalah riil yang terjadi di masyarakat. Kemiskinan misalnya, tentu akan tampak sekali perbedaan antara idelogi Marxisme dengan ideologi developmentalisme dalam merespon masalah tersebut. Developmentalisme, yang direpresentasikan dengan Growth Theory dari Walt Whitman Rostow (1916-2003), memandang kemiskinan bisa diatasi dengan menggenjot pertumbuhan di sektor industri besar, sehingga dapat merekrut buruh sebanyak-banyaknya, dan oleh karenanya kemiskinan akan teratasi. Sementara Marxisme, sebaliknya, menganggap bahwa industri-industri besar itulah akar masalah munculnya kemiskinan sebagai akibat dari eksploitasi para borjuis (para pemilik industri besar) kapada para buruh (kaum miskin). Kembali pada Pancasila, pertanyaannya adalah: apa yang khas dan membedakan Pancasila dalam merespon kemiksinan, ketika dibandingkan dengan ideologi Marxisme dan Developmentalisme?

Perdebatan kutub-kutub ideologis ini telah jauh mejalar hingga ke ranah politik internasional dan menimbulkan perang dingin antara kutub sosialisme dan liberalisme hingga akhir abad ke-20. Sementara orang memperdebatkan ideologi mana yang harus dipakai untuk mengatasi kemiskinan, orang miskin sudah pada sekarat dan bahkan hampir mati.

Kejengahan inilah yang memicu Carlos Benito mengatakan bahwa sekarang sudah tidak saatnya lagi memperdebatkan soal Ideology, melainkan sekarang saatnya untuk fokus pada Methodology. Artinya, tanpa harus disibukkan dengan memperdebatkan ideologi apa yang harus dipakai dalam mendekati fenomena kemiskinan, seyogyanyalah kita memikirkan cara (metode) yang efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Bila saat ini ada sekelompok orang tidak bisa makan, maka yang harus difokuskan adalah bagaimana agar besok dan seterusnya mereka bisa makan. Pada sisi tertentu ini yang disebut dengan cara berpikir pragmatis.

Kembali pada Pancasila, apakah ada strategi pragmatis dari Pancasila untuk membuat orang yang hari ini tidak bisa makan, maka mereka akan dapat makan keesokan harinya? Bila saat ini terjadi penggundulan hutan, maka solusi pada yang ditawarkan Pancasila untuk mencegahnya? Bila hari ini kemacetan terjadi dimana-mana, sekali lagi, jalan keluar seperti apa yang disodorkan Pancasila untuk mengurai masalah tersebut. Resep teknis apa yang dimiliki Pancasila untuk mengatasi problem-problem riil yang ada di masyarakat. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang disebut sebagai upaya untuk mempragmatiskan Pancasila!

Membuat Pancasila sebagai Ideologi Kerja, bukan sekedar Ideologi Dogmatis.

*Penulis adalah Dosen Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya