Praktik diskriminasi kesetaraan gender hingga kini masih menjadi hal problematik yang masih belum bisa dituntaskan. Sudah menjadi hal yang umum terjadi di dalam masyarakat bahwa seyogyanya sering kali perempuan menjadi sasaran utama dalam berkembangnya praktik diskriminasi. Stereotip ketidaksetaraan gender ini sering kali akhirnya berujung pada permasalahan seperti tindak kekerasan, pelecehan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan di berbagai bidang kehidupan. Bahwasannya dalam stereotip yang berkembang, perempuan dinilai sebagai sosok yang lemah dan dianggap berada di posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Pemahaman ini menjadi salah satu penyebab kurang berdayanya perempuan di banyak bidang kehidupan salah satunya hukum.

Dilansir dari kompas.com, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyatakan bahwa sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 15,2 persen diantaranya adalah kasus kekerasan seksual.

Sungguh memprihatinkan bahwa hanya dalam kurun waktu satu tahun telah tercatat ribuan kasus kekerasan yang telah menimpa perempuan. Data tersebut hanyalah sedikit dari sekian banyak kasus yang belum terdeteksi. Pada kenyataannya, masih banyak di luar sana korban-korban yang belum terjamah perlindungan hukum maupun belum paham betul akan sistematika hukum yang berlaku di negeri ini. Belum lagi nasib mereka yang bungkam akan situasi yang sedang dihadapi.

Hal ini selaras dengan pemaparan menteri PPPA yang dalam wawancaranya, menegaskan bahwa kasus yang menimpa perempuan ini layaknya gunung es. Meski mulai nampak ke permukaan, namun masih banyak permasalahan lebih kompleks seperti kasus pelecehan, kekerasan verbal, kekerasan fisik, KDRT dan diskriminasi lain yang masih terpendam dan belum terungkap ke permukaan.

Hal ini dikarenakan masih banyak faktor yang menjadi penyebab rasa enggan perempuan untuk mengungkapkan keresahannya tersebut, termasuk faktor diskriminasi. Faktor lain yang ditemui seperti kekuasaan patriarkis termasuk di dalamnya keterlibatan relasi keluarga, faktor ekonomi, kekuasaan jabatan maupun pengaruh yang dimiliki oleh pelaku. Selain itu dari sisi korban seperti, kurangnya dukungan atas penyelesaian kasus pada sistem peradilan pidana, penyangkalan kebenaran kekerasan yang diungkapkan korban sehingga akhirnya mengakibatkan korban bungkam, hingga ketidakadilan putusan hukum yang bahkan sampai mengkriminalisasikan korban, juga penyelesaian masalah yang diselesaikan “secara damai” tanpa melalui proses hukum sama sekali.

Menanggapi permasalahan yang ada, pemerintah dengan perangkat hukum sebagai pemegang kuasa dan pengaruh hukum dinilai memiliki andil besar dan diharapkan mampu membuat peraturan dan putusan yang tegas, tepat serta melindungi. Tegas dalam artian menindak para pelaku dan tepat dalam menentukan sasaran pelaku tindak pidana, juga melindungi bagi korban tindak diskriminasi yang notabennya dalam hal ini perempuan.

Secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (1) telah diterangkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Artinya, di sini ditegaskan bahwa seluruh warga negara tanpa pembedaan (diskriminasi) laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan wajib menegakkan hukum. Penegak hukum juga harus memperlakukan warga negara secara adil dan tidak boleh mengesampingkan haknya karena perbedaan ras, suku, agama, bahkan gender dan lain sebagainya.

Namun kenyataan tak seindah pasal yang tersusun rapi di dalam undang-undang. Implementasi yang tak sesuai membuat kita masih mempertanyakan akan kebakuan hukum di negeri ini. Justifikasi perempuan pun seakan berakhir menjadi bumerang yang justru malah menjerumuskannya ke permasalahan baru hingga sampai terjadi kriminalisasi korban yang menyeretnya kembali ke permasalahan panjang.

Seperti misalnya pada salah satu kasus yang pernah menimpa Baiq Nuril pada tahun 2018 lalu. Dilansir dari CNN Indonesia, kasus Baiq Nuril telah menuai sorotan publik setelah dinyatakan bersalah menyebarkan rekaman yang memuat kesusilaan dan dihukum enam bulan penjara serta denda Rp.500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah Agung. Baiq Nuril merasa diperlakukan tidak adil lantaran dirinya adalah korban kasus pelecehan yang dilakukan kepala sekolahnya sewaktu bekerja sebagai guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Bermula dari perbincangan di telepon, Baiq merasa terganggu dengan pembicaran yang bernada melecehkan serta pandangan orang sekitar tentangnya. Baiq pun kemudian merekam perbincangannya di telepon tersebut guna membantah anggapan orang sekitar mengenai hubungannya dengan kepala sekolah. Namun, rekaman percakapan tersebut disebarkan oleh rekan kerjanya ke Dinas Pemuda dan Olahraga di Mataram yang menjadi awal mula permasalahan tersebut menjadi kontroversial.

Tidak terima aibnya diketahui banyak orang, kepala sekolahnya pun melaporkan Baiq atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kasus ini pun berlanjut ke Mahkamah Agung hingga pada 26 September 2018 lalu, MA memutuskan Baiq bersalah melakukan tindak pidana dan terjerat pasal dalam Undang-Undang ITE.

Putusan ini tentu menuai kecaman dari berbagai pihak. Pasalnya, berdasarkan fakta persidangan Baiq tidak pernah menyebarkan rekaman tersebut. Dalam rilisan resminya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut bahwasannya hakim seharusnya berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor (3) tahun 2017 mengenai Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Sesuai dengan pasal 3 huruf (b) Perma, bahwa hakim mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan Diskriminasi Terhadap Perempuan yang dalam hal ini berhadapan dalam hukum.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon

Dalam kasus tersebut sangat tampak adanya diskriminasi dalam proses hukum korban. Bukannya sebagai korban pelecehan seksual mendapat perlindungan, namun nyatanya justru terjadi kriminalisasi korban yang belum tentu benar adanya. Hakim dalam memutus perkara haruslah memiliki perspektif yang jernih terhadap ketidakadilan yang terjadi. Tidak hanya terpaku pada undang-undang, namun rasa keadilan juga merupakan faktor penting dalam memutus perkara.

Kasus yang terjadi pada Baiq tersebut merupakan satu dari sekian banyak jenis diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan. Bahkan dari banyaknya kasus seperti pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, justru proses hukum terlihat diskriminatif dan tidak berpihak pada perempuan sebagai korban. Maka, dalam hal ini reformasi hukum pidana terhadap perlindungan korban perlu diperhatikan kembali. Lalu, dengan berbagai permasalahan kompleks tersebut, sudah tepatkah implementasi hukum terhadap perempuan di negeri ini?

Penulis : Rosyida

Editor : Pahlevi