Jangan Bikin Sampah Saat Pemira dan Pemilwa
Saat-saat paling mengganggu dan menjengkelkan ketika jadi mahasiswa, selain ospek, itu musim pemilihan. Kalau di Universitas Brawijaya (UB) namanya pemilihan mahasiswa raya (pemira) dan pemilihan wakil mahasiswa (pemilwa). Pemira itu sebutan saat memilih eksekutif dan legislatif di tingkat universitas dan pemilwa pada level fakultas. Dua kegiatan ini hampir serempak diadakan. Mereka berebut perhatian, waktu, hingga ruang. Seluruh mahasiswa UB jadi sasarannya. Sialnya semua organisasi yang kadernya terlibat dalam kontestasi ini punya cara-cara kampanye sama. Salah satu cara dominan berkampanye adalah baliho.
Saya sebut dominan karena cara berkampanye relatif banyak. Cuma yang lebih umum, banyak terlihat di lingkungan kampus itu baliho. Tahun lalu sudah ada poster, aktivasi media sosial, dan keliling ke tempat-tempat strategis, termasuk di dalam kelas.
Alat peraga kampanye bisa kalian lihat dengan mudah saat musim pemilihan. Mulai dari taman, jalan setapak, dari awal masuk lingkungan kampus sampai keluar kampus. Yang jadi menjengkelkan saya karena baliho-baliho itu dipasang tak beraturan, jumlahnya banyak, juga sering berjejeran baliho satu dengan lainnya. Menurut wartawan Tirto, Reja Hidayat, baliho yang dipasang tak beraturan di ruang publik (dalam hal ini lingkungan kampus) menjadi timbunan sampah visual.
Akibatnya, timbunan sampah visual menjadi polusi visual. Dan karena mengedarkan di ruang publik, besar kemungkinan jadi vandalisme. Sebabnya, pemanfaatan ruang publik untuk baliho-baliho kampanye sering kali tidak disepakati konstituen. Malah mahasiswa aktif UB sebagai konstituen belum menyadari haknya untuk memanfaatkan ruang publik di UB.
Saya berusaha memaknai vandalisme lebih dari sekedar urusan legalitas. Roy Thaniago, seorang peneliti media berpendapat bahwa vandalisme merupakan manifestasi yang privat pada apa-apa yang publik. Dalam pemira dan pemilwa, pemasangan baliho kecenderungan muatannya lebih menonjol ke akumulasi kemenangan pribadi atau kelompok. Jelas berbeda dengan, misalnya, spanduk aksi. Spanduk aksi memuat narasi-narasi urusan bersama. Narasinya bisa berupa pemiskinan, ketidakadilan sosial, korupsi, layanan publik, dll.
Masalah yang lebih serius muncul saat pemasangan alat peraga kampanye dibuat sporadis. Dipasang bersamaan dalam rentang waktu tertentu. Pada titik tertentu pemasangan baliho mempunyai watak invasi: pendudukan dan penundukan. Baliho yang dipasang berjejer di jalan setapak akan mengambil hak dari pejalan kaki. Baliho merebut ruang publik. Kemudian menundukkan ingatan kolektif terhadap ruang publik mahasiswa UB. Apa kawan-kawan mahasiswa pernah merasa ingat kalau di jalan setapak UB pernah terpasang baliho?
Sebelum masuk musim pemira dan pemilwa sebaiknya kita memahami dulu vandalisme di ruang publik. Dengan memahami betul vandalisme kita juga akan belajar mengenai etika politik, dan lebih jauh perihal idealisme politik. Bagi Plato, etika politik tidak hanya mengenai benar atau salah, tapi standar kepantasan.
Baliho menjadi salah satu alat peraga kampanye dominan, yang sayangnya sangat jadul. Mungkin, melalui pemasangan baliho, para calon wakil mahasiswa berharap dapat berkomunikasi dengan calon pemilihnya. Secara umum di baliho memasang wajah, nama, jargon, visi-misi, dan nomor urut dari si calon wakil. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan TV dan gawai, apa kalian gak enek lihat font, template, pemilihan warna, layout, tempat nempelnya yang ngunu-ngunu wae?
Jangan sampai apa yang dilakukan calon wakil mahasiswa dan tim suksesnya merampas ruang publik untuk kepentingan kelompok. Mereka harus memperhatikan bentuk komunikasi visual saat berkampanye. Sumbo Tinarbuko, Doktor Ilmu Humaniora UGM berpendapat bahwa atribut kampanye berupa poster, spanduk, dan baliho bukan alat komunikasi dua arah. Pesan-pesan yang disampaikan informatif belaka. Saat itu para pemilik suara sah hanya dijadikan objek ketika musim pemilihan umum dan menjadi subjek saat masuk bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS). Persis hanya saat masuk TPS.
Hal selanjutnya yang sangat mengganggu saya karena penunjukan calon wakil mahasiswa tak pernah melibatkan saya sebagai mahasiswa aktif. Padahal saya sebagai mahasiswa pemilik suara sah jika diadakan mekanisme pemilihan umum. Dan hak-hak saya untuk satu periode ke depan akan diwakili oleh mahasiswa lain, yang penunjukannya tak pernah melibatkan saya. “Kok ujuk-ujuk dia yang jadi calon?” Atas dasar apa, nilai yang bagaimana, standar seperti apa dia bisa mewakili saya? Setidaknya mekanisme seperti ini berlaku tiga tahun belakangan. Semenjak saya jadi mahasiswa aktif.
Kedua hal tadi menunjukkan pola mandek juga terjadi saat politik praktis kampus.
Sebaiknya prinsip mahasiswa sebagai agen perubahan mulai diinternalisasi dan diwujudkan saat berpolitik di kampus. Juga cara berkampanye yang memperhatikan ruang publik dan hak-hak sipil. Menurut saya lebih penting untuk membuka dialog di ruang-ruang publik untuk bertukar keluhan. Dan membuka diskursus baru tentang penunjukan calon wakil mahasiswa di tingkat universitas dan fakultas. Kalau ini tidak terjadi, apa yang dikatakan Hilman Farid tentang kemiskinan imajinasi politik usianya pasti bertambah.
Penulis: Helmi Naufal
Editor: Rama Yusuf
Ilustrator: Kare Dog