Tepat sebelum aku memutuskan untuk memulai menulis tulisan ini. Aku yang pada saat itu sedang duduk santai, mengangkat secangkir kopi dengan iringan lagu dari band indie. Tiba-tiba, terdiam. Ketika mendengar bahwa ada kabar peliputan kegiatan yang bernama orientasi pengenalan kampus (Ospek) untuk mahasiswa baru (Maba), dari pimpinan redaksi (Pimred) lembaga pers mahasiswa (Lpm) fakultasku – DIANNS. Sialnya, aku menjadi satu-satunya peliput yang tersedia dan kebagian untuk meliputnya. “Sruputt, glek”. Ku minum secangkir kopi itu. Kemudian, berkata pada Pimred. “Aku enggak bisa. Enggak mau. Toh ospek juga seperti itu. Paling tidak, seperti tahun-tahun sebelumnya. Minim esensi.”
Secara sengaja ataupun tidak, omonganku tentang penolakan itu mengalir layaknya air. Bergerak dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Mengingat pada hari-hari sebelum Pimred mengajakku untuk bertukar pikiran tentang peliputan ini, aku telah melihat, membaca dan tidak sengaja menganalisis pola peliputan ospek pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti misalnya peliputan Ospek yang dilakukan kawan-kawan DIANNS pada tahun 2017, dengan judul berita ‘Nuansa Nasionalisme didalam PKKMU Universitas Brawijaya 2017’. Juga peliputan kawan-kawan dari LPM universitasku (Kavling10) tahun 2015 pada jurnal ospek (Juros) ke-1 dengan judul berita ‘Jumlah Maba Membludak, GOR Pertamina Overload’. Pesan berita yang tersampaikan sama persis. Tidak kurang, hanya sebatas mengambarkan rangkaian panjang kegiatan yang pada saat itu berlangsung. Normatif. Sesekali ada kekritisan, namun dasarnya adalah kendala teknis saat berlangsungnya kegiatan. Artinya, gugatan mendasar mengenai benar-salah konsep ospek, atau persamaan-perbedaan ospek dari tahun ke tahun merupakan hal yang tabu untuk kita bisa belajar memperbaikinya.
Keseharian Ospek
Selasa, Rabu, dan Kamis. Atau yang pada kalender masehi bertepatan di tanggal 14, 15, dan 16 Agustus 2018. Merupakan tiga hari pertama maba atau lebih tepatnya milik maba di tahunku, untuk memasuki dan mengenal kampus dengan mengikuti kegiatan yang bernama Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Universitas (PKKMU) dan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMABA) alias ospek. Harapan kami besar untuk mengetahui bagaimana kehidupan kampus. Terlihat benar dari antusias kami yang rela melakukan sesuatu berbeda dengan kesehariannya. Berupa, berkumpul saat pagi hari di depan pintu masuk kampus dengan berpakaian hitam putih berdasi, lengkap dengan sepatu dan tas punggung yang kami pakai dengan rapi. Kemudian kami dibariskan. Ditata panitia sedemikian hingga kami kondusif. Kondusif dalam artian, ketika ada perintah dari panitia untuk berjalan memasuki kampus, kami berjalan memasuki. Ketika tiba aba-aba dari panitia untuk sarapan, kami sarapan. Hingga tiba waktunya pengenalan birokrat, organisasi yang ada dalam kampus, kami pun kondusif dengan mengikuti alur yang ada serta melihat juga mendengarkannya seraya mantuk-mantuk.
Peristiwa tersebut ternyata pada ospek tahun ini masih terlihat ada bahkan melekat dalam keseharian rangkaian acaranya. Ospek yang tahun ini mulai diselenggarakan pada tanggal 13,14, dan 15 Agustus 2019 masih sama persis dengan ospek pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam banyak kejadian berupa pengarahan maba. Mulai dari memasuki hingga meninggalkan tempat kegiatan. Pola komunikasi instruktif berupa perintah panitia yang bersifat absolut. Harus ditaati oleh mereka yang di perintah. Masih menjadi opsi utama untuk melekatkan kedisiplinan dalam diri maba pada kegiatan ini. Bahkan, jika tidak mentaatinya hukum sebab-akibat akan berlaku.
Hal ini terlihat dari rentetan postingan instagram Lpm Perspektif pada tanggal 13 Agustus 2019 yang memotret pengkondisian panitia terhadap maba yang dimobilisasi. Pun juga tergambarkan didalam buletin LPM Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Indikator, Edisi PK2MU 2019 pada rubrik Klik, terdapat potret panitia yang memobilisasi maba dengan teriak ‘gerak’ sambil menunjuk ke arah rombongan maba yang mereka mobilisasi. Pada kenyataannya tradisi pengkondisian seperti ini, telah ada sejak lama dan terpotret pula didalam buletin LPM Indikator Edisi PK2MU 2016.
Tidak tau saya, mengapa pola seperti ini terus direproduksi setiap tahunnya. Saya tidak sepakat. Apapun dasarnya, entah itu karena jumlah maba terlalu banyak dibandingkan panitia sehingga besar kemungkinan rangkaian kegiatan berjalan tidak tepat waktu. Saya menolaknya. Ada risiko lain yang lebih besar dari pada mencapai tujuan sederhana itu. Satu hal yang pasti terjadi ialah penghilangan rasa kemerdekaan manusia dari dirinya sendiri. Maba menjadi objek ospek. Disuruh ini, harus begini. Disuruh itu, wajib begitu. Artinya, maba tidak merdeka untuk merespon, sealamiah mungkin, kejadian yang mereka timpa. Diatur dalam berekspresi.
Sementara itu, didalam mekanisme diskusi rangkaian kegiatan ini. Maba lagi-lagi hanya menjadi objek. Tidak ada keterlibatan secara intens berupa diskusi dua arah antara maba dengan birokrat kampus. Kalau pun ada, diskusinya hanya berupa interaksi yang bersifat simbolik. Atau hanya karena, sudah saatnya sesi untuk tanya-jawab.
Kegiatan semacam itu tergambar dari live report posting instagram akun resmi PK2MU Raja Brawijaya 2019. Terdapat empat jumlah postingan yang mengambarkan diskusi berjalan secara sentralistik. Yang terlihat bahwa pola diskusinya mempunyai dikotomi subjek dan objek. Birokrat sebagai subjek dan maba ialah objek. Gambaran pola diskusi semacam ini juga terlihat dari foto narasi LPM DIANNS yang memotret kejumudan maba untuk mendengarkan pemateri dari Birokrat.
Pengenalan kondisi kehidupan kampus semacam ini tidak baik untuk memulai peletakkan batu pijakan dalam membangun iklim pendidikan setaraf perguruan tinggi. Birokrat yang berdiri di atas panggung tepat di depan Maba. Hanya mengisi akal pikir maba dengan sambutan atau pun penyampaian materi pengenalan kehidupan kampus. Berupa pengenalan pelayanan kemahasiswaan. Seperti fasilitas kampus. Padahal pada dasarnya hal itu dapat di akses melalui website kampus. Artinya, kesempatan ospek ini selain hanya menganggap maba sebagai objek kegiatan. Ospek ini tidak menyediakan atau setidaknya menyemai benih-benih potensi pikiran kritis maba. Tidak menggerakkan letupan kebebasan berfikir maba. Seperti misalnya, memantik maba untuk mempertanyakan ulang, apa petingnya Ospek? Mengapa mekanisme Ospek harus seperti ini? dan, mungkin, nilai yang ingin dicapai ospek itu apa?
Mencari apa yang benar, bukan siapa yang salah
Satu per satu keganjalan agenda tahunan ini muncul. Keganjalan yang selama ini lupa untuk kita refleksi kembali. Tentang banyak hal yang telah terjadi, seperti: logika dasar ospek, konsep yang tepat untuk memperkenalkan kehidupan kampus pada maba, dan nilai apa yang ingin dicapai.
Sedikit saya mengingat tentang pendidikan Sanggar Anak Alam (Salam) yang berada di Jogjakarta. Sanggar ini merupakan tempat belajar anak didik dari mulai sekolah tingkat dasar hingga menenggah atas. Menurut saya ada satu hal bersifat utama yang membuat Salam berbeda dengan sekolah pada umumnya termasuk perguruan tinggi sekalipun. Namun hal itu sangat mendasar dan mengakar. Salam menganggap anak didik sebagai subjek aktif yang merdeka dan berdaulat untuk belajar apa pun. Pendidik hanya sebagai fasilitator untuk proses belajar anak didik. Artinya tidak ada kuasa lebih bagi pendidik untuk menjadikan anak didik harus begini, begitu, menjadi ini atau menjadi itu. Anak didik berlatih untuk mandiri. Bebas berekspresi dengan kejadian yang dialaminya.
Pungkasnya, atas dasar kekeliruan berupa kemalasan atau tidak adanya keberanian pada diri kita untuk memikirkan kembali secara mendasar dan mengakar tentang ospek yang selama ini telah terjadi. Sehingga pada banyak kejadian ospek hanyalah ceremony tahunan yang minim esensi. Atau jangan-jangan, gambaran ospek semacam ini adalah benar, karena berdasarkan realita kehidupan kampus yang mengobjekan mahasiswanya. Saya pribadi, menyatakan pamit untuk tidak meliput kegiatan ini. Sia-sia rasanya apabila terus berada di pola yang sama tanpa pernah bertanya: benar-salahnya, baik-buruknya, dan indah-tidaknya.
Penulis: Rama Yusuf
Editor: Jo Cigo
Karikatur: wadimsist