“Ini bukan persoalan menang atau kalah. Melainkan kenangan yang tidak dapat dihapuskan walaupun dengan tindakan represif.”
Malang, dianns.Org ー Sabtu, 14 Desember 2019 telah berlangsung diskusi “Malang Bersama Tamansari,” di Kopi Oase. Diskusi ini terdiri dari empat rangkaian acara yaitu diskusi, nonton film, panggung solidaritas, dan kotak donasi. Acara diskusi dipantik oleh Kevin seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Malang. Kevin memantik peserta diskusi dengan pemaknaan kembali tentang ruang hidup dan relasinya dengan manusia yang menempati ruang hidup. Kevin menyatakan diskusi ini dilatarbelakangi oleh munculnya keresahan atas perampasan ruang hidup di Tamansari. Selain itu, adanya acara ini juga bertujuan untuk menyebar keresahan di kalangan masyarakat. Berbagai elemen masyarakat diundang untuk bergabung dalam acara ini. Kevin menambahkan, “peserta yang datang dalam diskusi menunjukkan bahwa masih adanya rasa kepedulian terhadap kasus penggusuran rakyat yang termarginalkan.” Seperti salah satu peserta diskusi yang bernama Gilang. Mahasiswa yang berasal dari salah satu Kawasan industri di Mojokerto tepatnya Kecamatan Ngoro. Menurutnya, salah satu tujuan adanya diskusi ini untuk merapatkan solidaritas dan eling lan waspodo (ingat dan waspada) terhadap penggusuran yang bisa terjadi di kampung halaman masing-masing. Dia mempertegas alasannya hadir di acara diskusi ini karena dia merasa dua tahun atau lima tahun kedepan mungkin rumahnya yang akan digusur.
Provinsi Jawa Barat sedang gencar melakukan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Program ini direncanakan pemerintah dengan dalih kepentingan publik dengan menggusur masyarakat termarginalkan. Gilang mengatakan, “pemerintah selalu melakukan penggusuran dengan alasan demi kebutuhan publik. Kalau memang untuk kebutuhan publik, kenapa menimbulkan kesengsaraan di masyarakat? Karena nyatanya, banyak penggusuran yang dilakukan demi investor.” Dia juga tidak memungkiri bahwa proyek-proyek investasi sudah masuk ke Malang, Singosari dengan proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di mana akan merebut tiga ruang hidup tiga desa yaitu Desa Langlang, Desa Klampok, dan Desa Purwoasri. Di sana terdapat tujuh sumber mata air, apabila kita tidak menjaga dan eling lan waspodo terhadap sekitar maka sumber mata air akan diokupasi oleh para investor. Perebutan ruang hidup tidak hanya persoalan tanah, tetapi juga sumber kehidupan lain misalnya air.
Rangkaian acara sendiri dimulai dengan pemutaran video singkat tentang penggusuran Tamansari Bandung, 12 Desember 2019. Video ini menceritakan tentang pecahnya konflik penggusuran yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat. Setelahnya mulai masuk acara inti, pemutaran film Halo-Halo Bandung yang menceritakan tentang perjuangan masyarakat Tamansari dalam mempertahankan ruang hidup. Film memperlihatkan bagaimana masyarakat mencoba mengaktifkan ruang-ruang hidupnya. Salah satunya dengan mengadakan Festival Tamansari di Masjid Al-Islam Tamansari. Festival ini diisi dengan berbagai kegiatan, misalnya konser musik. Seusai film, dilanjutkan dengan pemutaran video berjudul Kami Bahagia Kami Bertahan. Video ini berisi 16 dari 26 portrait foto keluarga yang memilih memperjuangkan hak ruang hidup mereka di Tamansari.
Cukup dengan film dan video, acara berlanjut dengan diadakan sesi diskusi. Sesi diskusi berjalan tanpa pemateri, hanya ada pemantik. Diskusi dilakukan dengan mengungkapkan keresahan masing-masing peserta. Salah satu peserta diskusi mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan masyarakat adalah untuk didengar. Saat kita turun ke masyarakat, kita harus menghilangkan mental sok pahlawan karena masyarakat yang lebih mengetahui kondisi lingkungan dan sosial mereka sendiri. Saat kita hadir untuk mendengar keluh kesah masyarakat, masyarakat sudah terbantu secara emosional. Menurut Kevin, “kekuatan emosi sangat penting dalam perjuangan masyarakat karena ekspansi kapital tidak bisa menghancurkan emosi komunal yang dimiliki masyarakat untuk bertahan.” Solidaritas yang terbangun dalam masyarakat atas penolakan penggusuran, dikarenakan adanya pemaknaan ruang. Bagas, salah satu peserta diskusi menambahkan, “ruang tidak hanya masalah fisik bangunan, tetapi juga nilai yang sudah terbangun puluhan tahun lebih dalam masyarakat.” Menurut kesaksian Kevin, perjuangan masyarakat Tamansari dilakukan dengan berbagai ide kreatif. Beberapa ide kreatif yang dilakukan masyarakat ialah dengan menjual kaos bersablon tagar perjuangan masyarakat. Selain itu, ide kreatif juga muncul dengan cara berkolaborasi dengan teman-teman musisi marginal, misalnya anak punk yang peduli akan keadaan masyarakat.
Usai berpuas diskusi, acara diakhiri dengan adanya panggung solidaritas dan mimbar yang dijadikan sebagai ruang berkespresi. Ruang berekspresi ini diwujudkan dengan pertunjukan musik dan puisi dari peserta. Peserta menyanyikan berbagai lagu, salah satunya lagu dari Sombanusa yang berjudul Hansinah. Lagu ini bercerita tentang harapan adanya penghilangan penindasan dan perampasan ruang. Selanjutnya, peserta diskusi diberikan ruang untuk membacakan puisi baik karya sendiri maupun karya orang lain. Puncak pembacaan puisi terjadi pada saat pembacaan puisi kemarahan. Puisi dibacakan oleh beberapa peserta diskusi secara bersamaan. Menurut Kevin, “puisi kemarahan ini merupakan sebuah bentuk ekspresi diri. Di mana saat kita marah, kita harus meluapkan amarah tersebut. Kita dapat meluapkan amarah kita melalui puisi”. Pada akhir acara, jumlah uang donasi yang terkumpul dari peserta diskusi mencapai Rp 520.000,00-. Pengisian kotak donasi dilakukan saat acara berlangsung dengan donasi seikhlasnya dari peserta. Pemutaran kotak donasi ini menjadi salah satu bentuk solidaritas kepada masyarakat Tamansari. Selanjutnya, uang yang terkumpul diteruskan ke rekening pihak solidaritas Tamansari.
Penulis: Bunga Heryana dan Dewi Bayu P
Editor: Rifqah Dita
Foto: Antonius Bagas