Penulis: Rama Yusuf

“Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya mampu merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu” – Ki Hadjar Dewantara

Rachel anak kelas 6 Sekolah Dasar (SD) Sanggar Anak Alam (Salam) memiliki grup musik beranggotakan enam anak perempuan termasuk dirinya. Pada satu kegiatan di Salam, Rachel dengan grupnya berkesempatan tampil dalam acara tersebut. Sebelum itu, mereka sepakati jadwal latihan di bawah bimbingan fasilitator Salam. Namun, jadwal tersebut tidak selalu ditepati oleh setiap anggota. Kondisi seperti ini akhirnya membuat Rachel menggerutu, sebab baginya latihan ini penting untuk persiapan pentas yang ada di Salam. Hingga, pada akhirnya, melalui grup musik Rachel belajar tentang bagaimana menepati janji dan komitmen, dengan membuat sebuah catatan kecil yang akan dibahas pada rapat grup. Catatan tersebut kurang lebih bertuliskan: kesepakatan grup; komitmen grup; grup itu nggak mikirin diri sendiri; dan yang lanjut ayok, yang enggak kenapa?

Sebuah cerita perjalanan belajar Rachel, anak didik kelas 6 SD Salam, yang mampu menemukan dan mencari solusi secara mandiri terhadap keseharian hidupnya. Ada hal yang berbeda terhadap bagaimana Rachel menemukan solusi masalahnya. Rachel benar-benar menemukan sendiri solusinya karena refleksi atas keadaan yang dialaminya. Tampaknya di titik ini Salam sebagai salah satu sekolah alternatif yang berada di kampung Nitiprayan, Kelurahan Ngestiharjo, Yogyakarta dalam proses pembelajarannya menerapkan metode pendidikan partisipatif.

Pendidikan Partisipatif
Anak didik di sekolah Salam merupakan subjek aktif. Anak didik dibiasakan mandiri dalam mencari dan menemukan solusi atas permasalahannya. Menurut Ki Hajar Dewantara, anak didik hidup dan tumbuh di dunia mempunyai kehendak untuk berencana, memilih bahan untuk belajar yang dianggapnya bermanfaat, berfikir merdeka tentang segala hal, kemudian menyimpulkan sesuai nilai yang ada pada dirinya dari hasil refleksi kritis.

Fungsi pendidik sebagai fasilitator untuk menemani anak didik belajar tentang apa yang anak didik inginkan. Fasilitator sebagai tandem proses belajar anak didik. Seperti cerita Rachel, fasilitator tidak mengguruinya. Fasilitator justru membiarkan Rachel untuk mengalami proses belajar menggerutu terhadap masalahnya. Pun, pada titik ketika Rachel mampu untuk merefleksikan permasalahan di dalam sebuah catatan, fasilitator sebagai tandemnya masih memberi kebebasan dia untuk berusaha mandiri. Hingga pada akhirnya ketika fasilitator melihat proses belajar Rachel yang sudah mandiri, fasilitator pun membantu permasalahannya dengan mencoba mengumpulkan anggota band yang lain.

Berbeda dengan pendekatan pendidikan kita hari ini, pendidikan yang meletakkan guru sebagai subjek dalam proses pendidkan. Pendekatan yang menurut Malcolm Knowles: pendidikan sentralistik. Artinya, anak didik hanya dijadikan objek dalam pendidikan. Dikubur potensi dalam dirinya, dibatasi rasa ingin tahu dan kodrat alamiahnya. Dan, sistem kurikulum nasional yang dibuat oleh pemerintah bagian dari bentuknya. Pendidik berhak menentukan materi apa yang menurutnya bermanfaat, dan dalam pengambilan kesimpulan pada anak didik, pendidiklah yang mempunyai kewenangan dalam hal itu.

Sebagai contoh, jenjang pendidikan nasional, mulai dari tingkat SD, menengah pertama, hingga menengah atas menuntut standarisasi bagi anak didik. Standarisasi itu dilakukan mulai dari baju sekolah yang seragam, mata pelajaran dibentuk sedemikian rupa, serta sistem evaluasi belajar yang seragam melalui ujian nasional. Akibat dari sistem tersebut yang menerapkan pendekatan sentralistik, dimana anak didik hanya objek dari proses pendidikan, adalah anak didik hanya mengalami proses belajar dari hasil menabung dengan cuman mendengar apa kata bapak atau ibu guru katakan.

Paradigma Kritis dalam Pendidikan
Pendidikan dengan paradigma kritis lahir dari filsuf Brazil bernama Paulo Freire. Baginya, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya. Dalam artian, nilai kebenaran pada proses pendidikan terletak pada dialektis yang berkaitan antara ilmu pengetahuan yang manusia pelajari dengan dirinya sendiri serta realitas kehidupan yang manusia alami.

Kondisi pendidikan hari ini, menurut Emha Ainun Nadjib, bersifat fakultatif. Artinya, setiap disiplin ilmu tidak ada kaitannya satu dengan yang lain. Apalagi dengan kehidupan. Paradigma ini disebut pendidikan paradigma liberal. Paradigma liberal, menurut Schroyer T 1973 meyakini bahwa kebenaran terletak pada kebenaran yang bersifat objektivitas, empiris, serta detachment dan bebas nilai. Secara sederhana, dalam paradigma pendidikan liberal, pendidikan yo pendidikan. Pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik, ekonomi, bahkan spiritual.

Menurut paradigma pendidikan liberal, tidak ada keterkaitan antara belajar menepati janji dan komitmen bermain musik. Bermain musik yo bermain musik, pertama-tama adalah mengetahui tentang nama-nama alat musik, bunyinya, hingga menggunakan alat musik tersebut.

Sebaliknya, pada paradigma pendidikan kritis, kisah Rachel dalam belajar menepati janji dan komitmen bermain musik adalah suatu hubungan dialektis. Artinya, ketika permasalahan yang dihadapi grup musik Rachel pada awalnya tentang bagaimana grup itu dapat tampil maksimal saat pementasan. Kemudian muncul kesepakatan dari setiap anggota grup musik, yaitu: latihan rutin. Namun, pada prosesnya, ada permasalahan kehadiran dalam latihan rutin pada kesepakatan awal yang telah disepakati tadi. Perihal emosional dan psikologis yang dialami Rachel dengan realitasnya, merupakan proses tentang bagaimana orientasi pendidikan kritis untuk mengenalkan realitas diri manusia dan dirinya sendiri.

Kekeliruan pada pendidikan nasional hari ini yang menjadikan paradigma liberal, serta pendekatan sentralistik dalam proses pendidikan hari ini. Memberikan teguran kepada pendidik agar memaknai kembali tentang apa, bagaimana, dan untuk apa pendidikan berada. Pendidikan yang mampu merawat dan menuntun kodrat alamiah dari anak didik. Dengan harapan anak didik tidak merasa jauh dari kehidupan kesehariannya, dengan lingkungan keluarga dan budayanya, serta mampu untuk mengenal kembali dirinya. Pada akhirnya, sekilas kutipan Ki Hadjar Dewantara yang bermimpi untuk manusiakan manusia, tidak hanya menjadi kutipan tanpa makna yang entah kapan menjadi suatu realita.

 

Ilustrator: Aulia Nurus Qistie