Kota Malang acap kali dianugerahi gelar “kota pendidikan” yang disandingkan
dengan D.I. Yogyakarta. Tak ada yang salah dengan julukan ini, tercatat sebanyak lebih
kurang 62 kampus berdiri, baik swasta maupun negeri. Tak ayal, hal ini kemudian juga
berkontribusi terhadap meningkatnya pertumbuhan penduduk yang signifikan di Kota
Malang. Bertambahnya jumlah penduduk dengan status pendatang yang sebagian besar
usianya masih berada pada kategori usia produktif tak hanya membawa dampak yang positif
semata. Tetapi juga menyimpan boomerang di dalamnya. Tanpa disadari, kehadiran
mahasiswa yang jumlahnya ribuan tiap tahunnya juga turut meningkatkan jumlah kendaraan
bermotor di Kota Malang.
Tercatat lebih kurang sebanyak 330 ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di
Kota Malang. Bisa ditebak, seberapa besar pula pertumbuhan kendaraan bermotor yang ada
di Kota Malang. Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Malang, jumlah kendaraan bermotor roda dua mencapai angka 361.329 kendaraan.
Sedangkan kendaraan roda empat, sebanyak 91.299 kendaraan pada tahun 2020. Lalu
bagaimana di tahun 2024? Tentu jumlahnya sudah lebih besar daripada angka-angka tersebut.
Mungkin saja hal ini bisa untuk dipandang bukan sebagai masalah, tapi bagi saya pribadi ini
adalah masalah yang cukup besar dan membutuhkan penanganan segera. Mengapa demikian?
Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang tidak sebanding dengan infrastruktur
pendukungnya justru akan menimbulkan masalah baru, seperti kemacetan, polusi udara, dan
permasalahan lain yang menyertai.
Selain kemacetan dan polusi udara, permasalahan parkir juga menjadi masalah yang
menarik untuk dibahas. Bukan soal 2.000 rupiah yang dikeluarin waktu parkir, karena di
wilayah lain juga ada tempat-tempat yang menarik biaya parkir. Tidak, bukan soal itu. Tapi
perihal banyaknya tempat parkir yang sudah tidak masuk akal. Bahkan di tempat-tempat yang
sewajarnya tak dipungut parkir-pun, kalau di Malang, ada biaya parkirnya. Misal, di halaman
minimarket, tempat nongkrong a.k.a cafe, bahkan di depan bank atau layanan Anjungan
Tunai Mandiri (ATM). Saking tak masuk akalnya jumlah tempat parkir berbayar ini, Kota
Malang pun dianugerahi gelar “Kota parkir” atau status “Malang darurat parkir” oleh
sebagian orang. Tak salah memang, tapi saya kurang sepakat dengan status darurat parkir.
Karena sepertinya, Kota Malang memang didesain untuk menjadi “Kota Parkir”.
● Regulasi sih ada, tapi implementasinya?
Mekanisme pengelolaan parkir di Kota Malang sebetulnya telah diatur dalam Perda
Kota Malang No. 4 tahun 2009 tentang Pengelolaan Tempat Parkir serta dalam Perda
Kota Malang No. 3 tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Umum. Dalam kedua peraturan
daerah tersebut jelas disebutkan bahwa pengelolaan tempat parkir dilakukan oleh
pemerintah daerah maupun perorangan yang mendapatkan rekomendasi atau izin dari
dinas terkait di Kota Malang dengan memperhatikan beberapa pertimbangan, seperti
rencana umum tata ruang, analisis dampak lalu lintas, serta memperhatikan kemudahan
bagi pengguna jasa. Tidak hanya itu, juru parkir juga wajib mengikuti pelatihan dan
mematuhi standar pelayanan parkir sebagaimana yang tercantum dalam peraturan daerah
tersebut. Namun, mirisnya kepatuhan atau implementasi terhadap peraturan daerah
tersebut seakan hanya omong kosong belaka.
Salah satu syarat yang paling terlihat dan “harus” ada sebenarnya rambu atau penanda
bahwa tempat tersebut merupakan tempat parkir resmi atau legal yang berkontribusi
kepada daerah melalui retribusi uang parkir. Namun, jumlah tempat parkir di Kota
Malang yang memiliki ini mungkin hanya bisa dihitung jari alias tak sebanding dengan
jumlah tempat parkir secara keseluruhan. Hal lainnya yang paling dikeluhkan oleh
masyarakat adalah kemunculan secara tiba-tiba dari oknum juru parkir yang bertugas.
Padahal sudah semestinya juru parkir membantu masyarakat sejak kendaraan tersebut
datang sampai dengan kendaraan yang diparkir meninggalkan tempat, bukan hanya
muncul saat “ada” uang semata. Melihat fenomena ini, Dinas Perhubungan justru hanya
seakan hanya memberikan solusi normatif, bukan solusi konkret yang berorientasi pada
penyelesaian persoalan.
Permasalahan terkait parkir mungkin akan banyak sekali ragamnya. Namun, kesan
ketidakseriusan pemerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan ini patutlah jadi
sorotan. Peraturan daerah yang tidak dijalankan atau hanya dijalankan setengah-setengah
akan memantik permasalahan untuk timbul, seperti maraknya parkir liar yang
bermunculan, juru parkir yang semena-mena, dan lainnya. Kesan ketidakseriusan ini
mungkin juga terlihat pada solusi yang ditawarkan. Pemda Kota Malang melalui dinas
perhubungan bahkan lebih sering mengatakan kalau akan membina, membina, dan
membina mereka, dibandingkan dengan memberikan sanksi yang berimplikasi pada
munculnya efek jera. Lambat laun, bisnis parkir akan menjadi bisnis yang seksi dan
menjadi salah satu profesi menggiurkan. Sementara yang ada dalam masyarakat hanyalah
keresahan yang tak terselesaikan.
● Praktis cuma ada angkota aja
Sampai dengan saat ini, lebih kurang dua tahun sudah saya tinggal dan hidup di
Malang. Tentu dengan status sebagai mahasiswa. Label kota pendidikan dengan tingkat
mobilitas penduduk yang tinggi nyatanya tidak berhasil mengetuk pemerintah Kota
Malang untuk berusaha menyediakan akses transportasi publik yang memadai dan
terintegrasi. Padahal, penyediaan akses layanan publik merupakan amanah dari UU No.
25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Keberadaan Angkutan Kota atau Angkot memang bisa mengurangi pengguna
kendaraan pribadi. Tapi itu jika dikelola dengan benar. Nyatanya, angkot di Kota Malang
yang menjadi satu-satunya transportasi publik tidak demikian. Banyak orang, terutama
perantau yang kebingungan ketika hendak menaikinya. Bukan tanpa alasan, karena
biasanya informasi tempat keberangkatan dan tujuan hanya diinformasikan dengan kode 2
sampai 3 huruf. Padahal, sudah selayaknya informasi tersebut bisa disediakan dengan
berbasis elektronik atau lainnya yang berorientasi pada kemudahan pengguna.
Selain karena informasi yang tak jelas, sarana dan prasarana pendukungnya juga
kurang lebih sama kondisinya. Banyak halte yang seharusnya menjadi tempat menunggu
dan turunnya penumpang dalam kondisi yang memprihatinkan. Keadaan ini tentu saja
menambah daftar masalah yang menyebabkan penggunaan angkot semakin tak diminati
untuk bepergian. Walaupun adanya patut disyukuri, tapi pada akhirnya orang akan lebih
memilih moda transportasi yang paling memudahkan bagi dirinya.
Seperti di awal, pilihan paling tepat adalah dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Mengapa? Karena kita bisa bebas bepergian kemanapun yang kita mau tanpa harus
berpikir “kalau mau kesana, naik yang kodenya apa ya?”. Masalah paling umum di jalan
ketika menggunakan kendaraan pribadi ya kemacetan, toh kalau naik angkot juga bakal
kena macet juga. Hal-hal demikian akan membentuk perilaku masyarakat yang lebih suka
menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan menggunakan kendaraan umum.
Transportasi publik memadai dan terintegrasi yang tak kunjung tersedia akan
meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi untuk bepergian. Penggunaan kendaraan
pribadi yang meningkat secara tidak akan langsung akan meningkatkan kebutuhan lahan
untuk parkir. Akibatnya, permasalahan parkir tak akan pernah terselesaikan. Justru
bisnisnya akan semakin menarik untuk menjadi investasi di masa depan.
● Pejalan kaki said: kalo mau jalan kaki lewat sebelah mana ya?
Menjadi pejalan kaki rasanya bukan sesuatu yang ideal untuk berkegiatan sehari-hari
di Kota Malang. Bagaimana tidak, jumlah trotoar atau pedestrian yang ramah terhadap
pejalan kaki tak terlalu banyak tersedia. Bahkan seringnya tak ada fasilitas itu. Menjadi
pejalan kaki di Kota Malang seakan adalah sebuah mimpi buruk. Trotoar yang tak layak
atau bahkan tidak ada, pengguna kendaraan bermotor yang egois, dan lainnya. Hal itu
adalah sebagian masalah yang dialami oleh pejalan kaki di Malang. Bahkan yang lebih
parah, untuk menanggulangi kemacetan yang sering terjadi di sekitar daerah Sigura-gura
atau lebih tepatnya di belakang Universitas Islam Malang misalnya, Pemerintah Kota
Malang menyiasatinya dengan melakukan pelebaran jalan. Tapi pembangunannya justru
menghilangkan trotoar yang dulunya sudah tersedia. Sudah ditebak bagaimana akibatnya?
Tentu pejalan kaki akan berjalan di jalan raya. Artinya, selain tak aman bagi pejalan kaki
dan pengguna kendaraan, tapi juga tidak menyelesaikan persoalan sama sekali.
Mungkin itu hanya beberapa hal yang bisa dijadikan gambaran begitu tidak ramahnya
Kota Malang terhadap pejalan kaki. Ketidakramahan ini juga akan mengakibatkan hal
yang hampir sama terhadap perilaku masyarakat. Masyarakat yang merasa tidak aman
dan tidak nyaman ketika berjalan kaki kemudian akan memilih menggunakan motor
misalnya untuk menuju ke suatu tempat, walaupun jaraknya relatif dekat. Rasanya, itu
akan semakin menguntungkan bisnis parkir yang sudah menjamur di Kota Malang.
Permasalahan terkait parkir mungkin akan banyak sekali ragamnya. Namun, kesan
ketidakseriusan pemerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan ini patutlah jadi
sorotan. Peraturan daerah yang tidak dijalankan atau hanya dijalankan setengah-setengah
akan memantik permasalahan untuk timbul, seperti maraknya parkir liar yang
bermunculan, juru parkir yang semena-mena, dan lainnya. Kesan ketidakseriusan ini
mungkin juga terlihat pada solusi yang ditawarkan. Pemda Kota Malang melalui dinas
perhubungan bahkan lebih sering mengatakan kalau akan membina, membina, dan
membina mereka, dibandingkan dengan memberikan sanksi yang berimplikasi pada
munculnya efek jera. Lambat laun, bisnis parkir akan menjadi bisnis yang seksi dan salah
satu profesi menggiurkan. Sementara yang ada dalam masyarakat hanyalah keresahan
yang tak terselesaikan
Penulis: Alvian
Editor: Sabilla