Penulis: Helmi Naufal
Ujian Akhir Semester (UAS) dijadikan salah satu cara untuk mengukur pemahaman materi yang telah diajarkan dalam bangku perkuliahan. Suatu metode pengulangan materi-materi perkuliahan berbentuk butir-butir soal yang ditata rapi, hitam di atas putih. Hampir semua perguruan tinggi di Indonesia menggunakan metode tersebut sebagai sumbangan nilai, selain dari nilai tugas terstruktur, kuis, Ujian Tengah Semester (UTS), dan praktikum. Sumbangan angka-angka dari hasil UAS tersebut, berpengaruh banyak dalam penentuan Indeks Prestasi (IP) mahasiswa. Selama ini mahasiswa menjadikan IP sebagai acuan dalam keberhasilannya menyelesaikan proses pendidikannya. Nahas, ketika nilai UAS dijadikan indikator terbesar dalam penghitungan IP. Ribuan bahkan jutaan mahasiswa yang memiliki latar belakang dan tingkat kemampuan yang berbeda, harus dipukul rata oleh sistem UAS. Disamaratakan layaknya jalan tol Anyer-Panarukan dalam hal keberhasilan proses pendidikannya. Sistem ini diperparah dengan pola pikir mahasiswa yang mengejar IP untuk mendapatkan kursi pegawai di perusahaan.
Keadaan ini membuat orientasi mahasiswa kebanyakan berubah. Mereka mengejar hasil akhir pada ketepatan-ketepatan uraian yang ditulis saat UAS. Tekanan sumbangan besar nilai UAS mengalir deras, menjadi tumpukan-tumpukan beban tersendiri saat pekan-pekan ujian berlangsung. Pengulangan materi-materi yang telah diajarkan dengan intensitas tinggi, membentuk gumpalan-gumpalan baru pemahaman yang menerobos otak dalam bingkai-bingkai penghafalan. Ya, mereka harus hafal semuanya. Karena butiran soal tidak memandang siapa yang akan dituju kelak! Seni pemahaman materi yang harusnya dilukis nyata dengan warna-warni kehidupan makin menjauh. Karena sesungguhnya, bukan itu yang memberikan penghargaan atas keberhasilan mahasiswa. Nilai-nilai yang muncul sebagai akhir dari perjalanan belajarnya tanpa sedikit pun membagi teori-teori yang dibutuhkan masyarakat.
Dengan keadaan seperti ini mahasiswa tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Mereka selalu dibayangi rasa gelisah saat waktu UAS tiba. Mengurung diri dengan tumpukan-tumpukan buku pada satu waktu. Berangsur-angsur dilemahkan dengan besarnya nilai UAS yang mereka yakini akan merubah hidupnya. Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara berkata, tujuan pendidikan adalah penguasaan diri, sebab di sinilah pendidikan memanusiakan manusia. Selain itu, pendidikan juga harus membantu peserta didik menjadi manusia yang merdeka. Merdeka secara fisik dan mental. Dengan menjadi manusia merdeka kalian berhak menentukan keberhasilan kalian sendiri, bersama tanggung jawab sesama manusia.
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. UAS yang hanya menguji pemahaman mahasiswa tentang teori-teori sesuai keilmuan yang dipilihnya. Merah, putih, hijau, cokelat, dan kuning kemampuan mahasiswa dipaksa masuk sedalam-dalamnya ke lingkaran pendidikan. Lingkaran-lingkaran yang seharusnya tidak hanya terbatas pada pengakuan nilai-nilai teori. Secara langsung mahasiswa sebagai manusia merdeka, direbut oleh keberhasilan semu yang diciptakan oleh sistem UAS dalam pendidikan. Sistem UAS seakan-akan tidak merestui mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan pribadinya, sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS. Mahasiswa mencatat, menghafal, mengulangi ungkapan-ungkapan tersebut tanpa membuktikan langsung teori yang didapat di ruang serba mewah ke lorong-lorong kumuh ruang kehidupan. Hanya sekedar memenuhi nafsu dengan predikat “baik”.
Daya tarik UAS dalam pendidikan hanya dapat mengurangi bahkan menghapuskan daya kreasi mahasiswa, serta menumbuhkan sikap mudah percaya. Mahasiswa memiliki pola pikir yang terkotak-kotak dalam kemampuan mistik nilai UAS. Akan terjatuh ke dasar paling bawah tumpukan jerami sambil mengurai-ngurai dan menghafalkan teori tentang cara keluar dari tumpukan jerami. Padahal dia hanya perlu mencoba untuk membuktikan satu teori yang dapat mengeluarkannya dari tumpukan jerami. Mengurai satu per satu tumpukan jerami dan menghafalnya hanya membuat dia semakin jauh, lupa, tidak sadar bahwa yang dilakukan tidak akan menyelesaikan masalah.
Mahasiswa yang sering membesar-besarkan predikatnya sendiri harus berani menjauhkan langkahnya dari sistem UAS. Berani agar tidak terjebak sebagai obyek dalam lingkaran pendidikan. Mahasiswa seharusnya berani memposisikan diri sebagai subyek dalam lingkaran pendidikan. Membuka jalan ke arah pembebasan dalam konteks kesadaran kritis akan fakta-fakta yang ada di lingkungan sekitar. Indikator tertinggi keberhasilan pendidikan pun sewajarnya diubah. Tidak lagi dengan sistem nilai-nilai yang keluar dari UAS. Selain menekan mental sebagian mahasiswa, indikator itu pun menjauhkan mereka pada masalah-masalah mengakar di masyarakat. Teori-teori yang mereka dapat tidak pernah secara dini dibenturkan dengan realitas. Proses kreatif mahasiswa dalam kegiatannya di dalam maupun luar kampus lenyap terbawa mengikuti arus kekuatan UAS. Indikator praksis harus juga dilibatkan menjadi salah satu bagian penting dalam tingkat keberhasilan mahasiswa menempuh pendidikan. Indikator praksis bisa berupa kegiatan-kegiatan keterampilan mahasiswa. Percobaan nyata dengan laboratorium raksasa. Laboratorium berupa masyarakat sekitar. Mendekatkan diri kepada realitas sosial yang terjadi dengan teori-teori yang didapat.