Foto: ANTARA/Eric Ireng/ED/ama/08
Penulis : Pandu Wicaksono
Dalam pidato kenegaraan menjelang perayaan HUT Ke-25 RI, 16 Agustus 1970, Presiden Soeharto secara eksplisit menyatakan perang melawan korupsi. Kemudian, 28 tahun setelahnya dominasi Soeharto dijatuhkan oleh rakyat. Akar kemarahan rakyat adalah korupsi yang terinstitusionalisasi secara sistemik dan mengakar yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya pada zaman orde baru.
Bahkan, pada pidato tersebut beliau secara jelas menyebutkan bahwa ia siap memimpin langsung perang melawan korupsi. Sungguh ironis. Gerakan demokrasi 1998 membawa harapan baru bagi pemberantasan korupsi dan menjadi prioritas dalam upaya perbaikan bangsa secara komprehensif dan tuntas. Kenyataannya, demokrasi di negara berkembang rentan terhadap praktik korupsi. Yang terjadi justru elite politik memanfaatkan otoritas dan sumber dayanya untuk mengamankan kepentingan pribadi dan loyalitas pengikutnya.
Data Bank Dunia (2009) menunjukan bahwa kecenderungan negara berkembang dalam hal pemberantasan korupsi saat ini meningkat signifikan. Namun, proses investigasi, penuntutan, dan penjatuhan hanya menyentuh koruptor kelas bawah dan sulit sekali menyentuh kalangan elit atas (big fishes).
Area peradilan yang seharusnya berada dalam koridor hukum kini berubah menjadi area tarik ulur kepentingan para elite kekuasaan. Pemberantasan korupsi sendiri lebih sering diselesaikan dengan metode kompromi politik.
Kepentingan penguasalah yang akan menentukan siapa yang akan menjadi target dan tidak menjadi target dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian, pemberantasan korupsi rentan terhadap manipulasi, intervensi, dan tekanan politik.
Salah satu faktor yang menyulitkan masyarakat politik mendapatkan politisi dan pimpinannya yang bersih dari korupsi adalah orientasi kepentingan mereka untuk berkuasa. Mereka berkepentingan menduduki jabatan-jabatan politik dalam aparatur negara-baik dalam pemerintahan maupun parlemen agar akses memperebutkan sumber daya negara semakin mudah.
Karakter oportunis yang mempengaruhi pandangan, sikap, dan tingkah laku politik melemahkan relasi-relasi politik dalam kelompoknya. Bahkan, tak jarang memaksa mereka seperti kutu loncat ke kelompok lain yang dianggap bisa memberikan posisi penting bagi mereka.
Orientasi politik seperti itu pada dasarnya tak berguna bagi kemajuan demokrasi. Untuk mengeliminasi perilaku elit politik yang terjerumus dalam sebuah sistem yang merugikan negara tersebut, dibutuhkan hadirnya pemimpin yang kuat. Yaitu, seorang pemimpin yang selalu memberikan dorongan politik yang positif untuk menjaga independensi, dan memperkuat kekuatan lembaga antikorupsi.
Pidato Presiden SBY dalam merespon polemik KPK-Polri pada hari Senin (8/10) lalu, setidaknya mampu meredam konflik KPK-Polri dalam penanganan kasus simulator SIM dan pengadaan material pelat nomor yang membelit salah satu Jenderal Polri. Komitmen moral-politik pemimpin tertinggi sebuah negara dibutuhkan sebagai perisai bagi munculnya serangan balik dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
Ketika elemen-elemen nondemokratis yang berseberangan dengan agenda pemberantasan korupsi tersebut mampu menguasai kekuatan politik dan birokrasi, gerakan antikorupsi sebaiknya menjadi elemen penting dalam melawan dan memberikan perubahan nyata dalam proses pemberantasan korupsi.
Tanpa upaya membendung dan memperbaikinya, masyarakat politik kita akan terjerumus dalam situasi yang semakin gawat. Secara moral, diperlukan gerakan sosial untuk mencegah lebih jauh kerusakan itu, selain kebutuhan akan pemimpin yang berani tampil dan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi.
Berkembangnya suatu sistem politik yang korup bukan saja tumbuh dari dalam kepentingan aktor-aktornya, melainkan juga karena ketiadaan gerakan sosial yang berada di luarnya. Namun, fakta yang terjadi sekarang menunjukan tren positif. Kehadiran gerakan sosial hingga ke daerah-daerah secara sporadis menunjukan keinginan nyata mereka dalam mengawal jalannya demokrasi secara sehat, secara jelas mereka menyatakan dukungannya kepada KPK untuk terus memberantas korupsi secara menyeluruh.
Pembentukan suatu gerakan sosial di luar sistem politik yang korup itu sangat penting untuk mengimbangi aktor-aktor yang menikmati keuntungan pribadi dan kelompok dari dalam. Dengan gerakan ini, berbagai elemen masyarakat dapat bergabung untuk menyuarakan keprihatinan politik mereka.
Dalam lingkup gerakan sosial ini tak cukup hanya membatasi pada isu korupsi, tetapi juga HAM dan kepentingan masyarakat bawah seperti buruh dan isu lainnya di tataran akar rumput. Tanpa melibatkan elemen masyarakat bawah, kontrol sosial dan tekanan mereka akan bersifat elitis belaka.
Meletakan KPK sebagai bagian dari gerakan antikorupsi dan melibatkan publik secara meluas sangat mendesak. Ibarat puzzle, informasi yang kita miliki sudah meyakinkan bahwa upaya pembubaran dan pembusukan terhadap KPK akan selalu terjadi.