Salah satu inisiatif dalam Perguruan Tinggi di Indonesia adalah program Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang mana program tersebut bertujuan untuk memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa dalam menggunakan pengetahuan akademis mereka di lingkungan masyarakat dan memperluas wawasan mereka. Universitas Brawijaya merupakan salah satu contoh perguruan tinggi yang saat ini melaksanakan KKN di tahun 2023 dengan program bernama Mahasiswa Membangun Desa 1000 Desa di Jawa Timur (MMD-1000D). Program MMD ini merupakan salah satu mata kuliah Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang harus diselesaikan oleh seluruh mahasiswa, termasuk mahasiswa dengan penyandang difabel. Hal ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan tugas akhir dan persyaratan gelar sarjana mahasiswa.

Berdasarkan Mahalli (2023), diketahui terdapat 24 mahasiswa difabel yang mengikuti program MMD dan mereka tersebar di 24 kelompok dan masing-masing tersebar di 24 desa Jawa Timur. Peserta difabel ini terdiri dari difabel tuli, daksa, netra, dan mental. Para peserta difabel ini akan menjalankan suatu program kerja yang disumbangkan kepada desa sesuai prodi atau keahlian yang dimilikinya.

Meskipun program ini terbilang baik karena memberikan kesempatan kepada mahasiswa difabel untuk mengikuti program MMD ini, akan tetapi hambatan yang ditimbulkan kepada mereka sewaktu melaksanakan kegiatan MMD ini seharusnya perlu dipertimbangkan kembali. Peserta difabel cenderung akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan peserta non-difabel. Salah satunya environmental barriers yakni lingkungan yang tidak aksesibel dan hambatan komunikasi/informasi. Hambatan lingkungan yang dihadapi peserta difabel adalah ketidakmampuan untuk mengakses fasilitas publik, transportasi yang tidak ramah difabel, dan kekurangan fasilitas yang dapat membantu mereka berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kendala dalam komunikasi dan akses informasi membuat sulit bagi mereka untuk berinteraksi dengan orang lain dan memperoleh informasi penting.

Sebagai contoh, kasus sebelumnya berasal dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arif Maftuhin tahun 2017 terhadap 4 jenis disabilitas yang diikutsertakan dalam kegiatan KKN menghasilkan bahwa, disabilitas fisik atau tunadaksa adalah kelompok yang mengalami tingkat kesulitan tertinggi dibandingkan dengan mahasiswa lain. Salah satu responden penelitian adalah Sinta, seorang mahasiswa tunadaksa yang sepenuhnya mengandalkan kursi roda untuk mobilitas. Sinta merasa khawatir mengenai aksesibilitas kebutuhan pokok, seperti kamar mandi sehari-hari, jika ia harus menginap di rumah lokasi KKN di mana ia ditempatkan dan tidak ada kamar mandi yang aksesibel. Oleh karena itu, bagi Sinta, tinggal di lokasi tersebut menjadi mustahil.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) No. 30 Tahun 2006 di antara syarat kamar mandi aksesibel untuk difabel daksa adalah: (1) Toilet memiliki ruang gerak yang cukup untuk gerak kursi roda; (2) Ketinggian tempat duduk kloset sekitar 45-50 cm; (3) Dilengkapi dengan pegangan rambat/handrail yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi roda. Selain itu, ada sejumlah syarat lain yang membuat toilet ramah dan aman bagi difabel, terutama yang menggunakan kursi roda.

Lantas apakah Universitas Brawijaya telah mempertimbangkan hal ini? Belum lagi selama tahap pembekalan yang diberikan kepada seluruh mahasiswa semuanya diberikan dengan melalui zoom meeting dan hanya dalam bentuk buku panduan teks. Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang difabel tunanetra? apakah akses informasi tentang pembekalan dapat sepenuhnya diterima ?

Selanjutnya, hambatan ‘Internalised barriers’ adalah hambatan yang muncul dari keyakinan atau kepercayaan yang keliru tentang difabel. Hal tersebut mencakup persepsi negatif dan stereotip yang diyakini oleh individu atau masyarakat terhadap orang dengan difabel. Hal ini dapat menyebabkan diskriminasi, rasa rendah diri, dan ketidakpercayaan diri pada penyandang difabel.

Berdasarkan opini penulis menyatakan bahwa peserta MMD tidak diberikan pembekalan teknis untuk menghadapi teman difabel dan kebanyakan peserta MMD juga tidak memiliki pengalaman bergaul dengan teman difabel. Minimnya pengetahuan dan pengalaman bergaul dengan teman difabel mengakibatkan muncul anggapan-anggapan yang keliru tentang apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh teman difabel.

Misalnya, menurut pendapat Arif Maftuhin seorang pengamat terhadap kaum difabel mengatakan bahwa dari beberapa kasus yang diceritakan oleh mahasiswa terdapat salah satu mahasiswa difabel tunanetra menceritakan tentang hubungannya yang tidak harmonis dengan anggota kelompoknya. Dalam kasus ini, si difabel mempunyai kepribadian yang mandiri. Misalnya ketika si difabel merasakan rumah itu kotor, ia memutuskan untuk menyapu. Ketika ia menemukan bahwa bak di kamar mandi kotor, ia putuskan untuk menguras air dan membersihkannya. Perbuatan-perbuatan itu, baginya merupakan sikap mandiri dan kegiatan biasa. Tetapi bagi orang-orang baru di sekitarnya, yang tidak mengenal difabel dan memiliki kepercayaan yang keliru tentang difabel, kemampuan si difabel itu dianggap berlebihan. Ada dua jenis sikap orang terhadap kemampuan si difabel ini. Pertama, bersifat ‘positif’ karena menimbulkan rasa kasihan dan mengundang tindakan untuk mengambil alih pekerjaan yang mereka anggap tidak boleh dikerjakan oleh difabel (karena dianggap tidak mampu). Kedua, menimbulkan prasangka buruk dan memusuhinya dan berkata, “Ah, dia itu kalau ada warga saja menunjukkan kalau bisa menyapu. Pencitraan, agar dipuji oleh masyarakat.” (Bima, 2017)

Tidak hanya mahasiswa difabel yang akan menghadapi berbagai hambatan dalam melaksanakan program MMD, tetapi orang tua mereka pasti merasa khawatir terhadap anaknya yang difabel selama mereka berpartisipasi dalam kegiatan ini. Hal ini bisa dipahami, karena sebagai orang tua, mereka merasa tanggung jawab untuk melindungi dan memastikan kesejahteraan anak mereka, terutama ketika mereka berada di lingkungan yang baru dan mungkin tidak terbiasa dengan kebutuhan anak difabel.

Orang tua dapat memiliki beberapa kekhawatiran terkait partisipasi anak difabel dalam program MMD seperti keamanan dan kesehatan pada anaknya. Mereka mungkin mempertanyakan apakah lingkungan tersebut aman dan apakah ada fasilitas yang memadai untuk mengatasi kebutuhan kesehatan anak difabel. Kemudian tentang aksesibilitas di mana orang tua mungkin prihatin tentang aksesibilitas fasilitas dan lingkungan di lokasi MMD. Mereka mungkin akan bertanya siapa yang akan mengurus anaknya jika tempat tinggal anaknya tidak memiliki akses yang memadai ke fasilitas seperti kamar mandi, tempat tidur yang nyaman, atau transportasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Tidak hanya itu, orang tua mungkin juga khawatir bahwa anak mereka akan menghadapi stigma dan diskriminasi dalam lingkungan MMD yang berdampak terhadap mental anak. Orang tua mungkin akan khawatir bahwa anak mereka akan diperlakukan secara tidak adil atau dianggap tidak mampu melakukan tugas-tugas tertentu karena disabilitas mereka.

Oleh karena itu penting bagi Universitas Brawijaya dan institusi pendidikan lainnya untuk memperhatikan dan mengatasi hambatan-hambatan yang akan dihadapi oleh mahasiswa difabel sebagai solusi untuk mengurangi rasa kekhawatiran orang tuanya. Pertama, aspek aksesibilitas fisik seperti kamar mandi yang ramah bagi difabel harus menjadi prioritas dalam memilih lokasi MMD. Dalam hal ini, melibatkan ahli aksesibilitas dalam penentuan lokasi dan perencanaan program MMD dapat membantu memastikan lingkungan yang aksesibel bagi semua mahasiswa, termasuk difabel. Kedua, penting untuk memberikan pembekalan teknis kepada peserta program MMD, terutama mereka yang tidak memiliki pengalaman bergaul dengan difabel. Pelatihan dan sesi pemahaman tentang keberagaman dan inklusi dapat membantu mengatasi keyakinan atau kepercayaan yang keliru tentang difabel. Tidak hanya itu hal ini juga dapat membantu dalam penyampaian informasi kepada teman kelompoknya yang terdapat mahasiswa difabel. Dengan pemahaman yang lebih baik, anggapan-anggapan negatif atau berlebihan dapat dikurangi, dan kerja sama tim yang lebih harmonis dapat terbentuk.

Dalam menghadapi rasa kekhawatiran orang tua terhadap anaknya difabel Universitas Brawijaya bisa menerapkan aturan khusus seperti memperbolehkan kunjungan orang tua secara berkala ke lokasi MMD anaknya berada. Ajak mereka untuk berkontribusi dalam bentuk dukungan moral, bantuan praktis, atau menjadi anggota tim pendamping. Ini tidak hanya memberikan rasa aman bagi orang tua, tetapi juga dapat memperkuat partisipasi dan keterlibatan mereka dalam program MDD.

Penulis: Ramos Christofer

Editor: Farras Nabilah